Chapter 1: --Harum Bunga Prem--
Aku sedang
bermimpi tentangnya.
Bahkan
ketika kau berniat untuk melupakannya, mimpi itu akan terus menusuk bagian
paling rapuh di hatimu—tanpa ampun.
Sesaat
sebelum aku terbangun,
"Aku
sudah menunggu begitu lama."
Aku merasa
seperti dia sedang membisikkan kalimat itu.
Kepalaku
terasa nyeri sepanjang waktu saat pelajaran berlangsung—mungkin karena situasi
yang terasa menegangkan.
Bahkan
setelah jam sekolah berakhir, rasa sakit itu belum juga hilang.
“Aikawa-kun,
ayo ke klub.”
Haruchika
Seiko memanggil Keito yang berdiri dari kursinya dengan gerakan lambat.
“Maaf, aku
pulang dulu. Nggak enak badan.”
“Kamu nggak
apa-apa?”
“Bukan hal
besar, cuma sakit kepala.”
Musim hujan
telah berlangsung cukup lama, dan hampir setiap hari hujan turun. Hari ini pun,
sejak pagi awan tampak menggantung rendah—jadi bisa dipastikan hujan akan
turun. Kalau bisa, Keito ingin pulang lebih awal.
“Mau kuantar
pulang?”
“Nggak usah
repot. Lagipula arah rumah kita juga beda, kan?”
“Itu sih
benar ….”
“Kamu cepat
pergi ke klub. Wakil ketua nggak boleh telat, kan? Tolong sampaikan ke yang
lain juga soal kondisiku.”
“Oke, jaga
diri baik-baik dan langsung istirahat di rumah, ya! Ngerti?!”
“Iya,
ngerti. Sampai ketemu besok.”
Ketika Keito
melambaikan tangan pelan, Seiko masih tampak ragu, namun akhirnya menjawab
juga,
“Sampai
ketemu besok.”
Lalu ia pun
meninggalkan ruang kelas.
Setelah
menunggu beberapa saat, mengambil tasnya, dan melangkah ke lorong,
“Satu hal
lagi, hey Keito.”
Takumi, yang
keluar dari kelas sebelah, bertemu dengannya.
“Kenapa
wajahmu murung begitu? Kamu baik-baik saja?”
“Aku nggak
apa-apa. Jangan khawatir.”
“Sepertinya
Haruchika-san lagi jalan ke klub. Kau yakin gak mau ikut?”
“Hari ini
nggak dulu.”
“Begitu
ya …. Kalau gitu, sampai nanti.”
Keito
memandangi punggung Takumi yang ramping tapi kuat saat temannya itu berlalu.
Takumi adalah anak yang sudah lama bermain bisbol. Pasti masih ada banyak
latihan dasar yang harus dilakukan, meski hujan mungkin akan segera turun.
Bahkan
setelah jam pelajaran usai, tubuhnya tetap aktif bergerak. Untuk Keito yang
tidak akrab dengan olahraga, hal seperti itu terasa jauh dari realita.
Ia mengganti
sepatunya, lalu menuju ke sepeda. Dengan awan kelabu yang menutupi langit,
rasanya hujan benar-benar akan datang sebentar lagi. Dan kalau turun,
kemungkinan akan cukup deras.
Keito mulai
mengayuh sepedanya, menerima kelembapan angin yang menerpa wajahnya, sambil
menuju pulang.
◇◇◇
Kota
Soumiya, tempat tinggal Keito, adalah kota provinsi yang memiliki sejarah kuno.
Meskipun terkenal karena warisan sejarahnya, kenyataannya kota ini hanya
berkembang secara moderat—dan kini, perlahan-lahan mulai menua, seperti
kota-kota lain di era modern ini.
Sungai
Nagase membelah kota di bagian tengah. Menjulang di sisi hulu sungai, lebih
dari tiga ratus meter di atas permukaan laut, berdiri Gunung Kinpo, tempat di
mana Kastil Somiya didirikan di puncaknya. Tiga elemen inilah—sungai, gunung,
dan kastil—yang menjadi simbol kota ini, sekaligus saksi bisu sejarah panjangnya.
Rumah tempat
Keito tinggal terletak di sisi utara Sungai Nagase.
Sementara
itu, sekolahnya—SMA Kikusui—berada di sisi selatan sungai. Ia harus mengayuh
sepeda setiap hari untuk menempuh perjalanan itu. Waktu tempuhnya kira-kira dua
puluh menit.
Dan tentu
saja, untuk menyeberangi sungai, ia harus melalui jembatan. Jembatan yang cukup
besar untuk membentang di atas sungai, dengan tanjakan dan turunan yang cukup
menguras tenaga—sesuatu yang memang menantang, apalagi bagi orang seperti
Keito.
Mengayuh
sepeda saat menuruni tanjakan memang terasa mudah. Tapi saat harus mendaki,
dibutuhkan stamina yang tidak sedikit.
Sebenarnya
ada pilihan lain untuk berangkat ke sekolah, yaitu naik bus. Tapi bus di pagi
hari dan sepulang sekolah selalu penuh sesak. Akhirnya, tetap saja butuh
tenaga. Karena itu, Keito memutuskan lebih baik naik sepeda saja.
Saat
melintasi jembatan, ia memperhatikan aliran jernih di bawahnya. Aliran Sungai
Nagase yang berubah mengikuti musim tampak menawan, dan ketika menengadah
sedikit, hijaunya Gunung Kinpo bisa terlihat jelas dari tempat ini. Momen itu
hanya berlangsung satu hingga dua menit saja, tapi bagi Keito, itu sudah cukup
menjadi penyegar di tengah perjalanan pergi dan pulang sekolah.
Musim hujan
membuat volume air sungai meningkat drastis. Hujan yang mengguyur sejak malam
kemarin membuat arusnya cukup deras, hampir menyerupai banjir lumpur.
Keito
sendiri lahir di Tokyo. Tapi karena pekerjaan ayahnya, ia pindah ke Soumiya
saat masih kecil.
Jadi, secara
teknis, kota ini bukan tempat kelahirannya. Namun Keito menyukai kota ini.
Memang
benar, dulunya kota ini punya kawasan pertokoan yang kini mulai sepi—banyak
toko yang hanya menyisakan pintu besi yang tertutup rapat. Industri utama
daerah ini pun telah lama meredup. Kini, Soumiya hanya menjadi kota komuter
bagi Narumi, kota besar di sekitarnya.
Namun
meskipun begitu, transportasinya masih cukup memadai, ada tempat untuk bermain,
dan sisa-sisa alam yang masih tersisa cukup untuk menikmati hari-hari yang
damai.
Banyak teman
sekelasnya berkeinginan untuk pindah ke Tokyo segera setelah lulus nanti.
Keito
sendiri belum tahu apa yang akan ia lakukan di masa depan. Tapi ia merasa,
meskipun nanti kuliahnya di luar prefektur, akan menyenangkan rasanya jika bisa
pulang ke kota ini.
SMA Kikusui
adalah salah satu sekolah negeri unggulan di prefektur ini—sekolah dengan
sejarah panjang yang berdiri megah di kaki Gunung Kinpo. Namun, kalau
membicarakan sejarahnya yang panjang, itu juga berarti sekolah ini sudah tua.
Tapi baru-baru ini mereka menyelesaikan proses penguatan struktur tahan gempa,
dan jendela besar yang menghadap ke selatan memungkinkan sinar matahari masuk
dengan leluasa.
Kadang-kadang,
cahaya itu terlalu menyilaukan. Tapi selain itu, tidak ada keluhan yang
berarti.
Menjaga
jarak yang wajar dari teman-teman sekelasnya, Keito biasanya menghabiskan waktu
di klub seni tempat ia bergabung, melukis dan membuat sketsa. Hari ini ia harus
absen karena merasa kurang sehat, tapi itulah keseharian Keito.
Tidak ada
kejutan besar dalam hidupnya. Ia menjalaninya dengan tenang, normal, seperti
seekor ikan di air. Itulah cara hidup yang telah dipilih oleh Keito.
◇◇◇
Setelah
melewati tanjakan di jembatan, rumahnya sudah tak jauh lagi.
Sakit
kepalanya entah sejak kapan sudah mereda, namun bayangan mimpi yang ia alami
pagi tadi masih membekas di pikirannya. Begitu sampai rumah, Keito ingin segera
tidur. Tanpa mimpi. Tanpa apa pun.
Angin dari
arah utara membawa aroma hujan yang khas. Bau itu bercampur dengan wangi tanah
merah dan rumput liar sebelum benar-benar turun.
Kelembapan
udara menempel pada tubuhnya, membuat kayuhan kakinya terasa berat walaupun ia
masih mengayuh dengan stabil.
Tanpa sadar,
ia menghela napas.
Sayangnya,
hujan pun mulai turun. Dari balik awan hitam pekat yang menutupi langit,
setetes air pertama jatuh tepat di ujung hidungnya.
Dan di sana,
seorang nenek sedang jongkok di pinggir jalan.
Ah … aku
melihat <<Bayangan>> lagi.
Perempuan
tua itu mungkin berusia sekitar tujuh puluh tahun. Kira-kira seumuran neneknya.
Rambutnya
yang memutih tampak kusut, kotor, dan tak terawat. Pakaian yang ia kenakan
sebenarnya bersih, tapi tampak tidak biasa—terlalu tebal untuk musim panas,
padahal sekarang sudah bulan Juni.
Ia memeluk
lututnya, duduk di pinggir jalan sambil menatap langit yang kelabu.
Orang-orang
lain berlalu begitu saja, tidak peduli hujan mulai membasahi wajah mereka.
Namun perempuan tua itu tak bergerak, seolah tak sadar akan air hujan yang
jatuh.
Keberadaannya
begitu samar, seperti sudah melebur bersama hujan. Jika Keito terus mengayuh
dan melewati jalan ini, mereka tak akan pernah bertemu lagi. Dan mungkin,
memang hanya sampai di situ saja.
Sejak musim
semi ini dimulai, Keito kadang melihat sosok seperti
itu—<<Bayangan>>.
Wujud dari
<<Bayangan>> itu beragam—ada yang anak laki-laki dan perempuan, ada
pula pria paruh baya hingga orang tua.
Sekilas
mereka tampak hidup. Namun nyatanya, tak ada satu pun orang selain Keito yang
bisa melihat keberadaan mereka.
Contohnya,
pernah ada seorang anak laki-laki yang menangis di tengah jalan. Bocah kecil
itu tampak seperti belum masuk sekolah dasar. Apa ia terpisah dari orang
tuanya? Terjatuh? Atau kehilangan mainan kesayangannya?
Namun, semua
orang berlalu begitu saja tanpa menoleh sedikit pun. Keito mendekati anak itu
dengan perasaan heran dan sedikit kesal pada sikap sekitar.
Anak itu
tetap berjongkok saat seorang siswi SMA—yang juga seperti Keito—tampak
menyapanya dan berdiri di sampingnya dengan ekspresi bingung.
Anak itu
terus menangis tak peduli berapa kali dia ditanya.
Tak terlihat
siapa pun yang bisa jadi wali atau keluarganya, Keito berinisiatif membawanya
ke kantor polisi terdekat.
Namun,
setelah berjalan beberapa saat… anak itu tiba-tiba menghilang begitu saja.
Keito
melihat sekeliling dalam kepanikan, tapi bocah itu sudah tidak ada di mana pun.
Bahkan tak ada jejak keberadaannya sedikit pun.
Kalau dia
hanya salah lihat… maka berarti yang mulai gila itu adalah Keito sendiri. Tapi
ia tak mungkin melupakan hangatnya tangan kecil yang sempat ia genggam.
Meskipun begitu, kenyataannya hanya Keito yang bisa melihat mereka.
<<Bayangan>>
itu tidak selalu muncul. Tapi Keito memang terkadang melihat mereka. Dan saat
mereka menghilang, tidak ada yang bisa ia lakukan.
Berkomunikasi
atau memahami perasaan <<Bayangan>> bukanlah sesuatu yang mungkin.
Mereka hanya menunjukkan ekspresi terbatas—menangis sedih, bergumam pelan
seolah mengucap monolog tanpa suara, atau diam membisu.
Meskipun
Keito mencoba berbicara, mereka tak pernah membalas. Tak ada reaksi.
Awalnya,
Keito berpikir mereka itu mungkin hantu. Tapi anehnya, ia tak merasa takut.
Yang ia rasakan hanyalah rasa iba, diam-diam menyedihkan, atas sosok
<<Bayangan>> yang seperti telah ditinggalkan seseorang.
Keito tahu,
sebaiknya ia tidak terlibat terlalu jauh.
Lagipula,
tak ada orang lain yang bisa melihat mereka. Maka ketika ia menyapa mereka,
yang tampak hanyalah seorang remaja yang berbicara sendirian—aneh di mata orang
lain.
Namun tetap
saja, membiarkan mereka menangis atau berada dalam kesulitan … rasanya menyakitkan.
Rasanya
seperti saat kau melihat seekor anak kucing kecil di pinggir jalan atau di
lahan kosong.
Aku juga
tahu bahwa yang bisa kulakukan hanyalah mendoakan agar mereka tetap baik-baik
saja.
Namun
begitu――pada akhirnya, Keito tidak bisa memilih untuk tidak melakukan apa-apa.
Yang membedakan mereka dari kucing adalah kenyataan bahwa mereka terlihat
seperti manusia.
Hari ini
pun, Keito turun dari sepedanya dan mendekati <<Bayangan>> nenek
tua itu.
“Ada apa,
Nek?”
Nenek tua
yang tengah berjongkok itu menoleh ke arah Keito, namun dari ekspresinya
terlihat bahwa dia bahkan tak mengenali keberadaannya sendiri.
Seperti
biasa, tentu saja tak ada jawaban.
Kalau saat
itu dia menghilang, Keito akan menganggapnya sudah takdir.
Beberapa
<<Bayangan>> yang pernah menyapanya sejauh ini juga telah lenyap
entah ke mana. Apa yang terjadi pada mereka setelah itu, tetap menjadi misteri.
Namun
sekarang, Keito tidak akan tega membiarkan seorang nenek tua duduk diam di
tengah hujan, bahkan jika dia bukan manusia sungguhan. Setidaknya, ia ingin
menemaninya sampai sosok itu menghilang.
Hujan terus
turun.
Keito
berdiri diam sambil memayungi si nenek dengan tangan kirinya.
Tetesan air
menetes dari lengan pendek bajunya, menelusuri kulitnya hingga ke ujung jari.
Setelah
beberapa saat, sang nenek perlahan-lahan berdiri. Gerakannya pelan, seolah
tubuhnya sudah berat dan renta. Setelah berhasil berdiri, ia mulai
berjalan—langkahnya goyah dan tak mantap.
Keito
menaruh sepedanya di pinggir jalan dan menguncinya.
Arah tujuan
nenek tua itu adalah sebuah kawasan kota lama yang terletak di bawah jembatan.
Pertama, dia berbelok ke kiri, lalu menoleh sejenak ke arah bendungan kecil
Sungai Nagase di sebelah kanannya, sembari terus berjalan.
Jalan itu
melengkung ke kiri, menjauh dari sungai. Di sepanjang jalan berdiri deretan
rumah-rumah tradisional.
Seorang
perempuan paruh baya tampak sedang jalan-jalan sambil memegang payung dan
menggiring anjing semak besar di belakang nenek itu. Namun baik si wanita
maupun anjingnya tidak menyadari keberadaan si nenek tua sedikit pun.
Apakah nenek
tua di depannya itu familiar dengan jalanan ini?
Meskipun
langkahnya lambat seolah merangkak, tidak tampak adanya keraguan dalam setiap
langkahnya.
Pemandangan
kota yang memadukan rumah bergaya Jepang dan deretan toko-toko tua menyuguhkan
pesona tersendiri. Beberapa restoran terlihat memanfaatkan bangunan klasik
untuk menciptakan suasana yang tenang dan menenangkan.
Tanpa
menyadari bahwa Keito mengikutinya dari belakang, nenek itu terus berjalan
lurus ke depan, tanpa sedikit pun menunjukkan minat pada toko-toko di sepanjang
jalan.
Apa sudah
sekitar sepuluh menit mereka berjalan?
Normalnya,
Keito hanya butuh lima menit untuk jarak sejauh ini. Tapi berjalan dengan
kecepatan yang sangat lambat ternyata jauh lebih melelahkan dari yang
dibayangkan.
Saat nenek
itu kembali berhenti, ia pun berjongkok lagi di pinggir jalan.
Mungkin
saja, ia memang selalu mengulang siklus ini: berjalan, lalu jongkok. Dari mana
sebenarnya dia berasal? Dan ke mana dia ingin pergi? Apakah dia punya tujuan?
Di saat itu,
Keito mengambil tindakan yang tak terduga.
Ia
menggendong nenek tua itu di punggungnya. Setengah memaksa, Keito mengangkat
tubuhnya yang berjongkok.
Dia tidak
terlalu berat, tapi juga bukan tanpa bobot. Sekitar seberat anak kecil. Di
balik pakaiannya, Keito bisa merasakan kelembutan tubuh si nenek dan hangatnya
ujung jari yang menyentuhnya.
"Apakah
begini baik-baik saja?"
Langkah
pendek yang telah mereka tempuh tadi kini terasa jauh lebih lurus dan jelas ke
arah depan.
Tak ada
jawaban. Tapi Keito terus melangkah maju.
Dia bisa
merasakan napas si nenek di telinganya. Seolah dia benar-benar hidup. Namun
Keito tahu betul, kenyataannya tidaklah seperti itu.
Berapa jauh
lagi harus ia berjalan?
Saat Keito
mulai bingung, si nenek hanya menjawab dengan sebuah helaan napas.
"[Chikako]"
Saat
mendengar suara itu untuk pertama kalinya, Keito merasa dadanya seakan diremas
dari dalam. Lemas. Lirih. Seperti seluruh tenaga dihisap oleh satu kata itu
saja.
◇◇◇
Mereka tiba
tepat di depan sebuah bangunan saat nenek tua itu mulai berbicara.
Nuansa barat
pada bangunan itu terasa berbeda dari rumah-rumah tradisional Jepang di
sekitarnya, dengan dinding berwarna putih susu yang tampak relatif baru dan
mencolok.
Bangunan dua
lantai yang nyaman ini memancarkan atmosfer tenang yang secara ajaib menyatu
dengan lingkungan sekitar.
Di sisi kiri
dari pintu kayu berat itu, terdapat sebuah ruang pamer kecil dengan kaca yang
dihiasi satu lukisan, seolah menyambut para tamu. Lukisan itu menggambarkan
beberapa bunga biru kecil yang sedang mekar.
Jika dilihat
ke atas, tertulis juga kata [Tsuyukusa] pada papan nama kayu bangunan tersebut.
Itu berarti
bunga yang tergambar dalam lukisan itu kemungkinan besar adalah Tsuyukusa
— bunga Asiatic dayflower (Commelina communis). Aku sendiri tidak
begitu familiar dengan bunga hias, tapi sekarang setelah dilihat-lihat, memang
terlihat seperti bunga yang singkat umurnya, seperti embun pagi yang segera
lenyap.
Tirai di
lantai dua tertutup rapat, jadi tak bisa melihat bagian dalamnya. Namun,
kemungkinan besar bangunan ini adalah tempat tinggal si pemiliknya juga.
Keito
kembali menatap lukisan bunga tsuyukusa itu.
Tiga bunga
biru manis yang dilukis dengan cat minyak. Dua kelopak besarnya mekar dan
terbuka, menggantung seolah menundukkan kepala. Daunnya hijau terang, dan
bunganya berwarna biru cerah. Sebuah lukisan yang sederhana, namun menyentuh
hati.
Di manakah
bunga ini mekar? Seperti apa cuaca saat lukisan ini dibuat? Pertanyaan-pertanyaan
itu tidak dijawab oleh lukisan ini. Semuanya dibiarkan terbuka, menyerahkan
interpretasinya kepada kepekaan si penonton.
Rasanya
ingin melihat karya-karya lain dari orang yang melukis ini.
Di sudut
lukisan, terdapat tanda tangan berupa huruf “M”. Mungkin itu inisial, tapi
tetap saja—tak memberikan informasi berarti.
Dan
kemudian—beban di punggungnya menghilang.
Keito
akhirnya sadar bahwa nenek tua itu telah menghilang. Rasa sepi muncul lebih
dulu daripada rasa lega. Lalu muncul penyesalan, karena ia merasa seharusnya
bisa melakukan lebih.
Ia jadi
penasaran dengan rumah yang ada di depannya. Mungkin saja nenek tua itu berada
di dalam. Entah apa yang ada di dalam rumah itu, tapi kemungkinan besar ada
sebuah toko—nama di papan tadi sepertinya benar-benar menggambarkan tempat ini.
Mereka sepertinya tidak melarang pengunjung, dan kebetulan Keito juga membawa
uang.
Saat ia
membuka pintu yang mengeluarkan suara berderit, bunyi lonceng
menyambutnya—dengan nada yang nyaring namun suram.
Suara hujan
yang deras terdengar dari belakang. Entah bisa dibilang untung atau tidak, tapi
hujan malah bertambah lebat saat ia melangkah masuk.
Ruangan
diterangi cahaya lampu berwarna oranye terang, namun tak tampak seorang pun.
Tak ada suara yang menyambut Keito, hanya suara hujan deras yang menggema
dengan kasar.
Separuh
ruangan di hadapannya dipenuhi dengan empat meja dan kursi. Sepertinya ini
adalah sebuah kedai kopi.
Bagian
interior lainnya dibagi oleh sebuah partisi, dan tidak bisa dilihat langsung.
Di bagian atas dinding terlihat retakan, dan cahaya menyinari lewat celah
tersebut. Di sisi kanan partisi, ada pintu masuk menuju bagian dalam bangunan.
Tak ada pintu yang menutupnya, jadi tampak seperti bisa dimasuki begitu saja.
Namun, jika
tidak ada staf di tempat ini, maka masuk ke dalam akan dianggap sebagai
menerobos. Keito ragu apakah ia boleh tetap berada di sana.
“Permisi.”
Ia berseru
cukup keras beberapa kali, tapi seperti yang diduga—tak ada reaksi.
Ia sempat
berpikir untuk pulang, namun lukisan di dinding masih membekas di benaknya.
Ada total
sembilan lukisan yang menghiasi ruangan—tiga di sisi kiri, tiga di sisi kanan
area kedai kopi, dan tiga di dinding belakang.
Tampaknya
lukisan di atas meja itu adalah karya dari salah satu seniman yang diberi nilai
lima oleh seseorang, sementara lukisan lainnya dinilai empat oleh orang lain.
Masing-masing memiliki ciri khas tersendiri, tapi rasanya semua cocok untuk
dinikmati dari kejauhan.
Momen ketika
ia dikritik adalah momen yang menentukan bagi Keito. Ia pun mendekati
lukisan-lukisan itu, membawa salah satunya lebih dekat untuk diamati.
Dari semua
seniman, salah satunya adalah orang yang melukis bunga tsuyukusa yang
dipajang di meja, dan meninggalkan tanda ‘M’. Dalam lukisan yang mendapat nilai
lima itu, lukisan potret mendapat tiga poin, sedangkan lukisan benda mati (still
life) dan pemandangan masing-masing mendapat satu poin.
Namun, objek
dalam lukisan potret dan latar belakangnya terkesan acak, sehingga tidak tampak
ada kesatuan yang utuh.
Ekspresi
wajah yang tergambar memang sama-sama lemah, namun menariknya, dari sedikit
variasi pada gradasi warnanya, seseorang bisa menafsirkan pikiran si model.
Apa yang sebenarnya mereka pikirkan? Itu pun bergantung pada penikmat lukisan.
Keito
kembali teringat pada sosok <<Bayangan>> yang sesekali ia
lihat—seperti saat ia melihat nenek tua itu tadi.
Orang yang
melukis gambar ini memiliki keberadaan yang serupa dengan <<Bayangan>>
itu. Ia terus menatapnya, sementara hatinya bergetar. Lukisan ini penuh dengan
kegelisahan.
Lukisan
pemandangan yang menggambarkan hutan lebat memberikan kesan yang sama dengan
lukisan still life berupa beberapa buku yang ditaruh di atas meja.
Salah satu
pelukis lainnya menandatangani karyanya dengan menuliskan huruf ‘朗’ di dalam sebuah kotak. Melihat dari tanda tangan itu, mungkin pelukisnya
laki-laki? Lukisan pemandangan dengan sentuhan halus itu mendapatkan nilai empat.
Dengan
suasana cerah seperti satoyama—daerah pedesaan Jepang yang penuh
kedamaian—lukisan yang menggambarkan sudut kota, dan induk kucing bermain
bersama anaknya, terasa begitu cocok dengan selera Keito.
Saat melihat
lukisan-lukisan itu, Keito menjadi tertarik pada pintu masuk menuju bagian
belakang. Ketika ia mengintip ke dalam, pintu itu ternyata merupakan lorong dengan
lukisan-lukisan yang dipajang di sepanjang dinding. Seperti ruang pameran.
Haruskah ia
masuk ke sana? Rasanya canggung untuk melangkah lebih jauh, apalagi saat tidak
ada orang.
Haruskah aku
pulang saja?
Tepat saat
ia berpikir seperti itu, terdengar suara keras yang memecah kesunyian di dalam
toko.
Terkejut,
Keito mendongak. Tapi tak ada siapa-siapa di sana. Sepertinya suara itu berasal dari atas—dari lantai dua.
Entah
kenapa, suara itu terasa seperti sedang berkata padanya: “jangan pulang
dulu.”
Akhirnya,
Keito melangkah maju.
Penerangan
di dalam lebih redup dibandingkan bagian kafe, membuatnya bisa melihat
lukisan-lukisan dengan lebih tenang dalam cahaya oranye hangat.
Seperti yang
diduga, pameran ini berisi karya dari dua orang pelukis sebelumnya. Namun,
terdapat begitu banyak lukisan dengan tanda tangan ‘朗’.
Setelah
merasakan kesan yang jelas dari beberapa lukisan itu, suasana hatinya
terguncang lagi saat lukisan-lukisan dengan tanda tangan ‘M’ muncul. Perbedaan
nuansa itu sangat terasa.
Saat
berhenti di depan tiap lukisan, suara langkah kakinya sendiri terdengar seperti
derai hujan yang mengikutinya setiap kali ia melangkah pelan.
Akhirnya, langkah demi langkah itu mengantarnya pada bagian terakhir dari
seluruh lukisan yang dipamerkan.
Kebetulan
saja lukisan itu dipasang di sana.
Menghadap ke
laut. Hamparan pasir membentang di hadapannya. Sebuah mercusuar berdiri di
kejauhan, dan laut yang terbentang di bawah langit senja yang kelam memberikan
kesan suram.
Keito merasa
mengenal pemandangan ini.
Ini adalah
laut di kota Tohoku tempat kakek-neneknya tinggal. Pantai tempat ia bermain
bersama lima orang lainnya waktu kecil.
Pantai
tempat dia—beristirahat.
Dan――di
sana, berdiri sosok seorang gadis. Sama seperti hari itu.
Takamori
Shizuka.
Teman masa
kecilnya yang seharusnya sudah meninggal dua tahun lalu, saat musim semi.
Kenapa――Shi-chan
ada di sana?
Pandangan
Keito sedikit goyah.
Ah… jadi
begitu. Dia juga seorang <bayangan>, ya?
Itu sudah
cukup bagiku. Aku merindukanmu.
Sejak musim
semi, Keito mulai melihat <<Bayangan>>. Mungkin, di suatu tempat
dalam hatinya, dia terus berdoa;
Agar suatu
hari, dia bisa melihatnya lagi.
Namun――apa
yang harus aku lakukan?
Meminta
maaf?
Menolongnya?
Mengulurkan
tangan padanya?
Benar…
tangan itu――
◇◇◇
Mungkin
Shi-chan sendiri sedang menungguku.
Suara yang
sebelumnya ia dengar dari belakang, kini terasa berasal dari gadis yang berdiri
di depannya.
“Maaf.
Abaikan saja. Aku kira tadi dipanggil ke lantai dua, tapi sepertinya hanya
perasaanku saja. Aku telat karena sibuk membereskan barang-barang yang terjatuh
tadi.”
Orang yang terus berbicara itu adalah seorang gadis.
“A-Ah-Ah,
e-er, Shi…”
Keito tahu,
secara logika, suara itu bukanlah milik Shizuka.
Namun rasa
curiga tetap mengganjal.
Karena
itulah dia tak sanggup membalikkan badan.
Ia takut
jika ia sedikit saja merusak keseimbangan ini, maka Shizuka yang ada di
hadapannya akan lenyap bersama gadis di belakangnya.
“Ada apa
dengan lukisan itu?”
“Eh? … Lukisan?”
Sudah jelas,
tentu saja ada lukisan di depan Keito.
Yang mati
tak bisa hidup kembali. Namun dalam lukisan itu, seorang gadis berdiri terpaku.
Dan hal itu membuatnya merasa sedikit lega.
Namun, tidak
salah lagi—gadis dalam lukisan itu sangat mirip dengan Shizuka.
Tak mungkin
ia lupa mata itu, hidung itu, rambut itu, dan bibir itu. Bahkan seragam yang
dipakai pun sama dengan seragam SMP tempat Keito dan teman-temannya dulu
bersekolah. Dia tak memakai cardigan putih karena cardigan itu sudah tenggelam
di dasar laut.
Tatapannya
mengarah jauh ke depan, sulit menebak apa yang sedang ia pikirkan.
“Kamu tidak
apa-apa? Apa kamu merasa tidak enak badan?”
Tanya gadis
asing dari belakangnya. Tidak apa-apa. Itu bukan suara Shizuka yang ia ingat.
Setelah menyadari itu ....
“Siapa itu?”
Keito
akhirnya mengalihkan pandangan dari lukisan dan berbalik.
Meski belum
lama meninggalkan sekolah, rasanya sudah cukup lama sejak ia terakhir melihat
orang lain.
Yang berdiri
di sana adalah seorang gadis cantik.
Mungkin
usianya tiga atau empat tahun lebih tua dari Keito. Dengan ekspresi tenang, ia
menatap Keito. Untuk ukuran seorang perempuan, ia cukup tinggi. Sedikit lebih
pendek dari Keito, tapi pasti tingginya melewati 170 cm.
Rambutnya
bergelombang lembut, berwarna kemerahan seolah menyerap cahaya senja. Bukan
karena pencahayaan atau pewarna, itulah warna rambut aslinya.
Wajahnya
memiliki kejelasan fitur yang khas. Mata berwarna amber pucat mengintip dari
balik sorot mata Keito yang kecil, dalam dan penuh tanya. Kulitnya yang pucat,
nyaris transparan, memperlihatkan urat halus di baliknya—seolah ada darah asing
yang mengalir dalam dirinya.
Namun,
terlepas dari warna-warna yang menghiasi penampilannya, ekspresinya sulit
ditangkap dalam bayangan.
Seolah,
gadis itu sendiri memiliki aura yang sama dengan <<Bayangan>> yang
muncul dalam lukisan sebelumnya—membuat Keito kehilangan kata sesaat.
“Mungkinkah
kamu mengenal orang yang digambar dalam lukisan itu?” gadis itu bertanya padanya.
“Iya.”
Keito
mengangguk, masih diliputi kebingungan.
“E-eh…… Maaf
sudah masuk tanpa izin. Tadi pintunya terbuka jadi aku…”
“Tidak
apa-apa. Tempat ini tidak menolak siapa pun. Aku memang sedang menunggumu.”
Akhirnya,
gadis itu menyipitkan mata dan tersenyum. Transisi yang aneh itu justru membuat
Keito merasa lega.
“Kamu bilang
tadi sedang menungguku …. Apa kamu mengenalku?”
“Tidak, aku
tidak mengenalmu. Tapi banyak orang datang ke tempat ini karena mereka menginginkannya. Mungkin ada sesuatu yang bisa kubantu. Itulah sebabnya aku
menyambut semua pengunjung baru.”
Tak aneh
kalau kamu menanyakannya.
Namun Keito belum sepenuhnya pulih dari keterkejutan awal tadi.
Meski gadis itu masih menyimpan banyak misteri, lukisan di depannya lebih dulu
menarik perhatiannya.
“Kalau
begitu, aku ingin bertanya tentang lukisan ini.”
“Aku
benar-benar minta maaf.”
Gadis itu
memotong ucapan Keito. Alisnya mengernyit di antara glabelanya, seolah sedang
menatap sesuatu dengan intens.
“Aku juga
ingin bertanya tentang orang yang ada di dalam lukisan ini. Selain itu, aku
ingin memberitahumu apa yang kutahu. Tapi ... bisakah kamu menunggu sebentar?
Sebelumnya, aku ingin memastikan satu hal padamu. Apakah orang dalam lukisan
ini adalah orang yang terlibat dalam kecelakaan itu?”
Keito
langsung memahami maksud dari pertanyaannya hanya dengan kalimat itu.
“Iya.”
“Begitu, ya.
Lukisan ini adalah peninggalan ibuku.”
Peninggalan.
Keito penasaran dengan makna kata itu, namun gadis itu tidak memberi celah
untuk bertanya.
“Aku rasa
setelah ini akan terasa agak aneh. Tapi, tolong jangan terlalu dipikirkan.”
“Agak aneh?”
“Seperti
bergumam sendirian, atau mengulurkan tangan ke arah yang kosong. Hal-hal
semacam itu.”
Memang
terdengar aneh, tapi setidaknya Keito bisa mempersiapkan diri kalau sudah
diberi tahu sebelumnya.
“Kalau
begitu…”
Gadis itu
mulai melangkah ke arah kanan belakang Keito, area yang tadi terus-menerus ia
tatap.
Secara
alami, Keito pun mengikuti arah pandangnya.
“Eh!?”
Gadis itu
mengangkat wajahnya saat Keito bersuara kaget, dan mata mereka pun bertemu.
Di depan gadis itu—berdiri sosok nenek tua yang tadi Keito bawa ke depan
bangunan ini. Nenek tua itu yang sempat menghilang entah ke mana.
Sudah jelas
sekarang—gadis itu bisa melihat <<Bayangan>> nenek itu.
“Aku
mengerti sekarang. Sepertinya … kamu juga bisa melihat mereka, ya.”
Tampaknya
dia—gadis itu—juga menyadari keberadaan Keito dan si nenek tua. Ia menatap mata Keito dengan matanya yang berwarna kuning amber, seolah-olah
tatapannya menelan seluruh dirinya.
Keito ragu
harus menatap siapa—gadis itu, atau <<Bayangan>> si nenek tua.
Ia membuka mulut, hendak meminta penjelasan. Namun di saat yang sama, gadis itu—Utaha—melangkah mendekati sang nenek.
Keito tidak melewatkan satu gerakan pun. Ia memperhatikan tiap langkahnya, tiap
isyarat kecil yang ia lakukan.
“Halo.
Namaku Utaha, Umegae Utaha.”
Utaha. Ia
memperkenalkan diri sambil membungkuk menghadap si nenek tua, berbicara dengan
lembut seakan tengah membujuk seseorang yang tersesat.
Sampai
sekarang, belum pernah Keito menemukan cara untuk bisa saling memahami dengan <<Bayangan>>
seperti itu. Tapi… apakah mungkin dengan Utaha?
Sayangnya,
si nenek tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
Tak jelas ke
mana ia menatap, atau apa yang ia pikirkan. Ia hanya berdiri termenung, dengan
wajah sedih dan alis yang menurun lemah. Seolah tak mendengar suara Utaha sama
sekali.
Utaha pun
berpaling ke arah Keito.
“Namaku
Umegae Utaha. Maaf, boleh aku tahu namamu?”
“Aikawa.
Aikawa Keito.”
“Aku punya
permintaan, Aikawa-san. Bisakah kau menjaga beliau sebentar saja?”
Setelah
mengucapkan kalimat itu dengan nada tenang namun serius, Utaha pun pergi
meninggalkan tempat tersebut.
Suara hujan
terdengar samar dari luar, sesekali saja terdengar.
Umegae
Utaha. Siapa sebenarnya dia? Pertanyaan demi pertanyaan berdesakan menuntut
jawaban.
Gadis yang
mirip dengan Shizuka dalam lukisan itu. Dan pelukisnya—ibu dari Utaha. Pertama
kalinya ia bertemu seseorang selain dirinya yang bisa melihat
<<Bayangan>>. Apakah Utaha tahu siapa sebenarnya para
<<Bayangan>> itu?
Jadi——apa
yang akan dia lakukan sekarang?
Si nenek tua
masih berada di sana. Selain sesekali terlihat berkedip, dia tetap diam. Tak
bergerak, tak berbicara. Tak ada gerakan mencolok sama sekali.
Saat Keito
menatap si nenek lekat-lekat, sakit kepala yang sempat reda kembali terasa
menghantam.
Ia diminta
untuk tidak mengalihkan pandangan darinya, tapi akhirnya ia menurunkan
tatapan—tak sanggup menahan sakitnya. Dengan begitu, ia malah bisa bergantian
menatap antara lukisan Shizuka dan sosok si nenek tua.
… Shizuka.
Apakah benar
itu Shizuka yang tergambar dalam lukisan itu? Ataukah hanya kebetulan yang
menyerupai?
Namun,
terlepas dari wajahnya, seragam yang dikenakannya benar-benar sama. Tak mungkin
hanya kebetulan.
Waktu yang
aneh pun mengalir, seakan terhenti sementara.
Di bawah
cahaya buatan, hanya ada nenek tua yang polos, potret sahabat masa kecil yang
telah tiada, dan aku—Aikawa Keito.
Seolah dunia
telah berhenti. Seolah aku satu-satunya yang tersisa di dunia ini, dihantui
bayangan ilusi yang tak pernah berakhir.
Aku merasa
seakan tersesat dalam senja yang tak menentu, di mana segalanya samar,
menggantung di antara mimpi dan kenyataan.
Dan ketika suara
langkah kaki memecah keheningan itu dengan tegas, kesadaranku pun beralih.
“Maaf telah
membuatmu menunggu.”
Ia muncul
dari dalam kegelapan, dengan tatapan seolah berasal dari alam baka.
Utaha datang
membawa secarik kertas dan sebuah kuas lukis besar di salah satu tangannya.
Sepertinya ia pergi tadi untuk mengambil benda-benda itu. Tapi, Keito tak tahu
apa yang akan dia lakukan dengannya.
“Nenek,
bisakah kau ceritakan lebih banyak tentang dirimu?”
Utaha
mencoba berbicara padanya, tapi seperti yang sudah diduga, sang nenek tak
menunjukkan minat apapun terhadap sekitarnya.
Setelah
memastikan reaksinya, Utaha mengambil kuas di tangannya dan mulai menulis di
atas kertas.
"Ketika
angin timur bertiup,
mekarlah kalian sepenuhnya,
bunga premku!
Walaupun kalian kehilangan tuan kalian,
janganlah melupakan musim semi."
*[Cana: Ini puisi/syairnya
Sugawara No Michizane.]
Lalu ia
membacanya dengan suara yang nyaring dan merdu.
Itu adalah
sebuah puisi waka yang terdiri dari tiga puluh satu suku kata.
Kata “angin
timur” terasa asing di telinga Keito. Namun saat Utaha melafalkannya, Keito
merasa seolah angin lembut benar-benar berhembus di dalam ruangan itu.
Lebih dari
itu—angin itu, aroma bunga prem, dan kata-kata yang disampaikan Utaha … Musim
semi itu, musim yang merenggut Shizuka darinya—seolah kembali menguar di udara.
Di pelupuk
matanya, ia melihat cahaya laut di musim semi. Walau hanya sekejap, namun ilusi
itu begitu nyata hingga membuatnya limbung.
Semuanya
hanyalah bayangan semu. Tapi itu membuktikan satu hal: kata-kata Utaha punya
kekuatan sebesar itu.
Begitu Keito
sadar kembali, Utaha dan sang nenek telah berdiri di hadapannya. Penampilan
nenek itu telah berubah, samar—namun pasti.
Sedikit
cahaya mulai tampak di matanya. Mulutnya yang selama ini terkatup rapat,
perlahan terbuka, mengeluarkan suara serak yang nyaris tak terdengar.
“Chikako…”
Ia
mengucapkannya sekali lagi.
◇◇◇
"Apakah
kau mendengarkan, Aikawa-san?"
"Ya."
"Itu
nama orang itu? Aku benar, kan, Chikako-san?"
Ketika
dipanggil oleh Utaha, si nenek mengangguk pelan sambil gemetar.
"Atau
mungkin itu nama keluarga seseorang?"
Untaian kata
itu juga memicu reaksi serupa.
"Sayangnya
aku tidak bisa memastikan. Mungkin itu bukan nama, melainkan punya makna lain. Namun
bisa jadi ini petunjuk besar untuk membantu kita mengungkap identitas orang
ini. Aikawa-san, bisakah kau membantu?"
"Apa
yang… bisa kulakukan? Dan, memangnya kau butuh bantuan untuk apa sih? Aku ini yang malah punya segunung pertanyaan, aku yang harusnya nanya—apa yang
boleh kutanyakan sebenarnya?"
"Itu
memang benar…"
"Kalau
begitu, mari kita istirahat sebentar. Kau suka kopi?"
Ketika Keito
menjawab “nggak masalah,” Utaha langsung menimpali, "Kalau begitu, mari
ikut ke sini. Bisakah kau bawa juga si nenek?"
Keito
menarik tangan si nenek dengan lembut dan mengikuti Utaha dari belakang. Langkah
kaki si nenek terasa lebih mantap dari sebelumnya, seolah sedikit lebih ringan.
Saat aku
mengecek jam tangan dengan tenang, ternyata sudah lebih dari satu jam sejak aku
keluar dari sekolah.
Begitu kami
kembali ke kafe, cahaya di dalam terasa menyilaukan sedikit. Hujan gerimis
masih turun, dan langit bersinar lembut. Karena titik balik matahari musim
panas sudah mendekat, matahari belum juga tenggelam.
"Tolong
tunggu di sini sebentar."
Atas ajakan
itu, Keito dan si nenek duduk di salah satu dari empat meja. Tak lama kemudian,
Utaha kembali.
"Mungkin
rasanya pahit, tapi coba minum dulu tanpa menambahkan apa-apa."
Ada dua
cangkir di atas baki. Utaha akhirnya mengambil salah satunya dan meletakkannya
di depan Keito sebelum ia duduk.
Ketika ia
menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, aku tanpa sadar menghela napas. Ternyata
dia jauh lebih berhati-hati dari yang aku perkirakan.
Kopi di
depanku menguar aroma yang menggoda.
Ketika aku
menyeruputnya, rasanya memang pahit. Biasanya aku tak terbiasa minum kopi, dan
kalaupun minum, aku selalu menambahkan gula dan susu. Tapi… memang beginikah
rasa kopi hitam?
“Kau suka?”
“Pahit,” Jawabku
jujur.
Ada aroma
khas yang unik. Sepertinya dia menggunakan biji kopi yang dipanggang dengan sangat
cermat.
Awalnya
hanya terasa pahit, tapi setelah lewat tenggorokan, ada sedikit rasa manis yang
samar.
“Makan ini
sebagai pembersih rasa.”
Aku mulai
merasa lapar. Ketika aku menggigit cokelat mungil yang disodorkan, manisnya
langsung meleleh di mulut.
“Silakan
makan sesukamu nanti.”
Mengambil
kesempatan itu, aku memasukkan porsi gula dan susu yang agak banyak, lalu
mengaduknya. Sendok menyentuh sisi cangkir, menghasilkan suara kling.
“Silakan
santai saja.”
Saat aku
menyeruput kopi lagi, rasa pahit yang tadi muncul sudah menghilang. Bersama
dengan kelembutan susu, aroma kopi itu menyebar lembut di mulutku. Rasanya jauh
berbeda dibanding kopi instan yang biasa kupakai.
“Agak asam
tapi menyegarkan.”
“Aku senang
kau menyukainya. Tapi apakah kau merasa sedikit lebih rileks sekarang?”
“Ya.”
“Harusnya
aku jelaskan semuanya dari awal. Tapi memang ini pertama kalinya semuanya
berjalan seperti ini.”
Utaha
menatap Keito, seperti sedang mengonfirmasi sesuatu yang terpantul di balik
tatapan itu.
“Aikawa-san,
apakah akhir-akhir ini kau bisa melihat mereka?”
“Sejak musim
semi ini.”
Keito mulai
menceritakan semuanya dengan rinci—tentang bagaimana ia melihat seorang nenek
tua berjongkok di pinggir jalan, lalu membawanya ke tempat ini.
Tentang
bagaimana saat ia menggendong nenek itu, si nenek mengucapkan kata [Chikako].
“Begitu ya.
Jadi saat Aikawa-san menggendongnya juga ….”
“Apa itu ada
makna khususnya?”
“Aku belum
tahu,” katanya sambil menggeleng pelan.
“Sebagai
perwakilan dari orang itu, izinkan aku mengucapkan terima kasih karena telah membawanya
ke sini.”
“Jadi … ini
tempat yang ingin nenek itu datangi?”
“Mungkin.”
Kelihatannya
Utaha tahu alasannya. Tapi Keito, seperti biasa, masih merasa buta arah.
“Kalau
begitu, dari mana harus aku mulai menjelaskannya ya? Apa pun yang akan
kujelaskan, sebaiknya aku mulai dari <<kata-kata yang hilang>>.”
*[Cana: Lost Words. bakal kuterjemahin sebagai 'kata-kata yang hilang' aja demi fungsi emosional.]
“Kata-kata
yang… hilang?”
“Ya.
Kata-kata yang hilang. Bukan anak hilang. Ditulis ‘kata-kata yang hilang’.”
“Kayak hantu
aja.”
Keito
melirik ke arah nenek yang masih berdiri. Ia biasa menyebut mereka <<Bayangan>>
dalam pikirannya, tapi sejujurnya, mereka lebih cocok disebut sebagai hantu
karena muncul dan menghilang begitu saja.
“Tentu saja
wajar kalau kau mengira mereka hantu. Tapi kami tak menyebut mereka hantu, melainkan
‘kata-kata yang hilang’, <<lost words>>—yang berbeda dari
roh biasa.”
“Kata-kata
yang hilang? …. Aku nggak paham.”
“Aikawa-san,
apakah kau pernah dengar istilah ‘roh kata-kata’?”
“Roh
kata-kata?”
*[Cana: Kotodama(言霊),
Intinya
semacam kekuatan mistik atau ghaib yang ada di dalam kata-kata. Ibaratnya kayak chanting
para penyihir di series fantasi generik, barisan kata-kata yang mengandung
kekuatan spesial. Contoh paling dekat, ada di series RokuAka. Tergantung penyusunan kata-kata, kekuatan yang dihasilkan akan berbeda.]
“Ya. Roh
dari kata-kata, jiwa dari kata-kata—dengan kata lain, bahasa jiwa. Ada
pemikiran lama bahwa di dalam kata-kata, bersemayam roh.”
“Ada contoh
yang cukup sederhana, yaitu kata-kata yang tabu untuk diucapkan secara norma. Kau
tak akan mengatakan kata ‘gagal’, atau ‘kalah’ kepada siswa yang sedang bersiap
menghadapi ujian, bukan?”
“Karena itu
dianggap pertanda buruk, kan?”
“Benar.
Keyakinan bahwa itu membawa sial adalah salah satu bentuk dari bahasa jiwa. Bahkan
jika kau tak punya pilihan selain berbicara tentang ‘gagal ujian’, mengatakan
‘terjatuh dari tangga’, ‘terpeleset di lantai’, atau ‘bunga sakura akan
berguguran’ juga dianggap tidak baik. Apa yang kau ucapkan bisa menjadi
kenyataan. Itulah bukti dari kekuatan yang tersimpan dalam kata-kata.”
“Di masa
lalu, Yamanoue no Okura pernah menuliskan puisi dalam <<Kumpulan Sepuluh Ribu Daun>> seperti ini:
"Telah diceritakan turun-temurun,
sejak zaman para dewa,
bahwa negeri Yamato ini,
adalah negeri para dewa agung,
Yang Mulia,
sebuah negeri yang diberkahi roh dari kata-kata."
Yamato,
dengan kata lain Jepang, adalah negeri keberuntungan yang dibentuk oleh roh-roh
kata.”
*[Cana:Yamanoue no Okura (山上 憶良) (660–733), <<Kumpulan
Sepuluh Ribu Daun>> (万葉集 Manyoshu)]
Keito
tercengang oleh keluasan pengetahuan Utaha dan bagaimana ia bisa mengucapkan
puisi itu dengan lancar.
Dia sendiri tidak membenci membaca buku, dan tahu sedikit-banyak soal itu, tapi
menghafal puisi adalah hal yang sulit baginya.
“Utaha-san,
puisi yang barusan kau bacakan... apa maknanya?”
"Saat
angin timur bertiup,
mekarlah dengan indah,
wahai bunga plum!
Meski kau kehilangan tuanmu,
janganlah melupakan musim semi."
Ketika Utaha
membacakan puisi itu, Keito benar-benar bisa merasakan aroma, angin, dan
pertanda musim semi. Seolah Utaha sendiri telah memanggil musim semi itu
datang.
Apakah itu
yang disebut roh kata-kata? Sepertinya memang ada kekuatan yang bersemayam di
dalam ucapannya.
“Itu adalah
puisi yang ditulis oleh Sugawara no Michizane saat dia dibuang ke Dazaifu. Kau
tahu tentang Michizane?”
“Dewa ilmu
pengetahuan, bukan?”
Sugawara no
Michizane adalah seorang bangsawan dari zaman Heian—seorang cendekiawan hebat
dalam menulis dan menciptakan puisi, juga seorang politisi yang dipercaya
kaisar saat itu. Namun karena rasa iri dari lawan-lawan politiknya, ia
dijatuhkan dan dibuang ke Dazaifu, yang sekarang dikenal sebagai Fukuoka.
Setelah
meninggal, ia dipercaya menjadi arwah penasaran yang ditakuti karena dianggap
membawa kutukan.
Kini, ia
dihormati sebagai Tenjin-sama, dewa ilmu pengetahuan yang disembah di
seluruh Jepang.
Saat Keito
menjelaskan hal itu kepada Utaha.
“Kau
ternyata cukup belajar juga, Aikawa-san.”
“Aku hanya
mendengar dari teman yang suka baca buku. Nggak sebanding denganmu, Utaha-san.”
Wajah
seorang gadis terlintas di benak Keito.
“Saat
Michizane meninggalkan rumah yang selama ini ia tinggali, ia menciptakan puisi perpisahan
untuk pohon plum kesayangannya di halaman. Kalau angin dari timur bertiup di
musim semi, ia ingin agar wanginya sampai ke Dazaifu. Agar pohon itu tidak
melupakan musim semi meski sang tuan tidak ada.
Itulah harapan yang ia
titipkan. Dan hingga kini, pohon plum yang mengikuti sang tuan masih ada di
Dazaifu Tenmangu, Fukuoka. Aku ingin membagikan kisah rakyat itu. Itulah alasan
dari jimat keberuntungan ini.”
“Jimat
keberuntungan?”
“Ya. Inilah
kata-kata yang hilang yang pertama akan kuberikan.
Aku akan
mengantarmu dengan selamat. Kau akan bisa menyampaikan perasaanmu.
Dan kata-kata itu akan sampai pada orang yang kau tuju—seperti bunga plum yang
aromanya terbawa angin, tak peduli sejauh apa.”
“Siapa yang
kau antarkan? Dan sebenarnya, apa itu kata-kata yang hilang?”
“Kata-kata
yang hilang adalah sesuatu yang bisa diucapkan oleh siapa pun. Itu adalah
kata-kata yang menyimpan kekuatan besar—seperti pikiran, harapan, dan doa—namun
pada akhirnya tak pernah sampai pada orang yang seharusnya mendengarnya. Kata-kata
yang tak tersampaikan itu akhirnya berkeliaran di dunia dalam wujud orang yang
ingin menyampaikannya.”
“….”
Keito tak
mampu membalas penjelasan yang terdengar tak masuk akal itu.
“Aikawa-san,
aku adalah seorang <<pengirim pesan>>.”
◇◇◇
“Seorang
pengirim pesan?”
“Aku bisa
melihat kata-kata yang hilang. Lebih dari itu, aku bisa menyampaikan kata-kata
itu kepada orang yang seharusnya mendengarnya. Aku adalah seorang pengirim
pesan—seorang utusan dengan kemampuan dan tugas untuk mengirimkan kata-kata
yang hilang. Ibuku juga dulu adalah seorang pengirim pesan.”
Dalam
benaknya, Keito mengganti karakter dalam kata “orang yang menyampaikan”
menjadi “pengirim pesan”.
“Jadi ibumu
yang melukis lukisan itu?”
“Namanya
Umegae Mari. Ibuku menuangkan kata-kata yang hilang yang ia temui ke dalam
lukisan. Semua potret yang dipajang di sini adalah hasil karyanya. Dan setelah insiden
itu, ia melukis lebih banyak lagi.”
Insiden itu.
Keito
langsung tahu apa maksudnya hanya dari kata-kata itu. Itu adalah tragedi kapal terbakar dua tahun lalu yang menelan banyak korban
jiwa.
“Orang yang
dilukis dalam potret tadi adalah teman masa kecilku.”
Tubuh Keito
bergetar.
“Bisa kau
beri tahu namanya?”
“Namanya
Takamori Shizuka.”
Utaha
menghela napas singkat dan bergumam, “Ah...”
“Kau mengenalnya?”
Utaha
menjawab, “Hanya namanya saja,” lalu melanjutkan:
“Ibuku
sangat terpukul dengan kecelakaan itu. Ia sering mengunjungi pesisir dekat
lokasi kejadian. Sepertinya ia bertemu dengan banyak kata-kata yang hilang. Banyak
dari kata-kata itu datang dari orang-orang yang telah tiada. Makanya, setelah
tragedi besar, selalu lahir banyak kata yang tak sempat terucap.”
“Jadi... kau
bilang lukisan itu adalah kata-kata terakhir Shizuka...?”
“Ibuku telah
menyampaikannya lewat lukisan itu. Tapi karena ia tak tahu siapa yang seharusnya
menerima kata-kata itu, pada akhirnya, kata-kata itu kehilangan tujuannya dan mungkin
saja masih mengembara sampai sekarang.
Aku tahu
wajah dan nama korban itu dari berita. Jadi aku tahu yang dilukis itu adalah
Takamori Shizuka. Tapi ketika aku mengunjungi rumahnya, sudah tidak ada siapa
pun di sana. Dan aku tak tahu di mana kata-katanya sekarang. Tak ada lagi yang
bisa kulakukan.”
“Kalau kau
bisa bertemu kata-kata terakhir Shizuka, apa kau bisa tahu apa yang ingin ia
katakan?”
“Itulah
tugas seorang pengirim pesan—mendengarkan kata-kata itu.”
“Bagaimana
aku bisa bertemu dengan Shi-chan!?”
“Saat ini ...
kita hanya bisa menunggu. Mencari kata-kata yang hilang secara acak...
itu seperti menggenggam segenggam pasir di pantai luas dan berharap butir
tertentu tidak terjatuh.”
“Menunggu?
Di mana?”
“Di sini—di [Tsuyukusa]. Kalau kau
menunggu di sini, aku yakin suatu hari nanti, Shizuka-san akan tertarik ke
lukisan itu.”
“Benarkah?”
“Aku sudah
bilang sebelumnya, tempat ini memang tempat untuk hal-hal seperti itu. Sekitar
dua tahun lalu, aku menyambut kata-kata terakhir dari seseorang yang juga
menjadi korban dalam kecelakaan itu. Dia berhasil menyampaikan perasaannya
kepada teman-temannya.”
“Shi-chan……”
Akankah hari
itu benar-benar datang?
Meski bukan
orangnya langsung, bentuk yang tersisa masih menyimpan kata-kata itu.
Pikiranku
mendadak kosong.
Apakah aku
melihat secercah harapan?
Ataukah itu
hanya fatamorgana...?
“Kau
benar-benar ingin bertemu dengan Shizuka-san?”
Keito tak
bisa mengalihkan pandangan dari mata Utaha. Tatapannya seolah mampu menembus
hingga ke dasar hatinya.
“Ya.”
Dia menjawab
tanpa pikir panjang. Perasaannya itu tak mengandung kebohongan sedikit pun.
“Apapun yang
ingin dia katakan, apakah kau tetap ingin tahu perasaan orang yang begitu
berarti bagimu?”
Apa
sebenarnya maksud dari pertanyaan yang terus diulang itu?
Saat ia
hendak menjawab, ponselnya berdering. Telepon dari rumah. Ketika dilihat,
ternyata waktu sudah menunjukkan lewat pukul tujuh. Ibunya bertanya di telepon
di mana dia berada. Keito menjawab bahwa dia akan segera pulang.
“Aku harus
pulang dulu .… Tapi aku akan datang besok.”
“Aikawa-san,
kau tidak keberatan membantuku besok, kan?”
Memang, itu
adalah pembicaraan mereka sejak awal. Nenek tua itu masih duduk di kursi tak
jauh dari tempat mereka berada sekarang, menatap keduanya dengan mata kosong
yang dalam.
“Baik.”
Bahkan jika
pikirannya masih dipenuhi rasa cemas dan harapan yang belum pasti, jika benar
dia bisa bertemu dengan Shizuka dan mendengar kata-kata terakhirnya, maka tak
diragukan lagi—ia harus tetap berada di sisi Utaha.
Saat
melangkah keluar, hujan turun semakin deras. Langit masih tertutup awan, tapi
bintang-bintang sudah mulai bermunculan saat matahari terbenam. Jumlahnya,
sinarnya, dan getarannya memang tak sebanding dengan bintang-bintang yang ia
lihat dari atas kapal hari itu. Namun begitu, Keito tetap menatap ke langit
malam.
Apakah hari
ini benar-benar nyata?
Bagaimana
jika saat ia menoleh, bangunan tempat mereka bertemu tadi telah menghilang bagai
mimpi?
Rasa takut
itu terus membayangi.
Utaha—gadis
misterius.
Kata-kata
yang mengembara, kata-kata yang hilang. Dan Shizuka....
Semuanya
terasa seperti sebuah kebohongan.
Pada
akhirnya, Keito pulang tanpa sempat menoleh ke belakang.
Ia menjawab
pertanyaan ibunya seadanya, lalu duduk untuk makan malam. Rasa bersalah
menghampiri saat ia melihat adik perempuannya tersenyum dengan wajah kesepian.
Setelah
kembali ke kamarnya, ia kembali menatap langit malam. Jumlah bintang semakin
banyak, namun tetap belum bisa menandingi malam itu.
◇◇◇
Kemungkinan
hujan hari ini rendah, dan ia menatap langit yang mulai biru cerah.
Ia tak bisa
berkonsentrasi selama pelajaran berlangsung. Bahkan saat pelajaran matematika, bahkan
di tengah pelajaran musik, pikirannya terus melayang ke kejadian kemarin.
Umegae
Utaha.
Apa yang
sebenarnya ingin Utaha lakukan padanya?
Apa yang
bisa Keito bantu?
Apakah ini
semua berkaitan dengan menyelamatkan kata-kata yang hilang?
Apakah ia
benar-benar bisa bertemu dengan Shizuka lagi jika melakukannya?
“Masih nggak
enak badan, Aikawa-kun?”
Saat jam
pulang tiba, Seiko mendekatinya dengan wajah khawatir.
“Sudah
lumayan. Tapi aku nggak ikut kegiatan klub hari ini juga.”
“Memangnya
hari ini ada kegiatan? Nggak ada, lho.”
“Ah, iya
juga.”
Aku sampai
lupa jadwal dasar karena terlalu kalut.
“Pokoknya,
aku harus buru-buru. Sampai jumpa.”
Ia pun
meninggalkan kelas tanpa menunggu jawaban Seiko.
“Oh, Keito.
Mau langsung pulang?”
Seperti
kemarin, ia bertemu Takumi saat berjalan di lorong. Kenapa waktunya selalu pas?
Padahal akhir-akhir ini mereka jarang bicara. Tak bisa dipungkiri, Keito memang
sedang menghindarinya.
Bagaimana
reaksi Takumi kalau tahu kejadian kemarin soal Shizuka? Ada dorongan untuk
menceritakan semuanya, tapi Keito merasa Takumi takkan percaya.
“Kau ke
klub, Takumi?”
“Latihan
hari ini sukarela.”
Saat Takumi
menjawab, bunyi chime pengumuman terdengar di seluruh sekolah.
“Wakil ketua OSIS,
Irifune Sarasa-san, Wakil kepala sekolah memanggil Anda. Harap segera ke ruang
guru”
Begitu
mendengar nama Sarasa, keduanya langsung saling menatap.
“Irifune-senpai
kita sepertinya sibuk juga hari ini, ya. Kau sempat bicara dengannya belakangan
ini?”
“Enggak sama
sekali. Bukan cuma ‘belakangan’, sejak masuk sekolah ini pun aku belum pernah
sekalipun bicara dengannya.”
“Sama.
Padahal dia dulu sering main bareng kita. Sekarang dia jadi orang paling pintar
di sekolah dan wakil ketua OSIS pula. Rasanya kayak masa kecil itu cuma mimpi.
“Itu sudah
masa lalu. Lebih penting, kau yakin nggak telat, Takumi?”
“Waduh! Aku
bakal dimarahi senior … Padahal latihannya cuma sukarela, ya. Nggak masuk akal
banget.”
Takumi
tersenyum kecut lalu lari kecil menjauh.
Di saat yang
hampir bersamaan, Sarasa muncul dari ujung lorong, seolah baru saja berpapasan
dengan Takumi.
Sebagai
wakil ketua OSIS yang dipercaya penuh oleh para guru, Keito yakin ia akan
segera diberi beberapa tugas atau permintaan.
Mereka
berjalan saling melewati. Keito memberi anggukan kecil.
“ … Hm.”
Sarasa
menggumam pelan, tanpa senyum sedikit pun.
Dengan
rambut panjang yang dikepang, kacamata tebal, dan tubuh ramping yang nyaris mungil,
ia berjalan dengan tegak, dadanya dibusungkan, penuh percaya diri. Langkahnya
seperti menciptakan batas tak kasatmata—seolah siapa pun yang mencoba mendekat
akan ditolak mentah-mentah.
Sulit
membayangkan bahwa ia adalah gadis kecil yang dulu melompat ke kolam tanpa ragu
dan membuat anak-anak laki-laki takjub.
Mungkin
karena itulah ia sekarang seolah sengaja mengabaikan Keito dan Takumi.
Lima sahabat
masa kecil—Gotanda Takumi yang sekelas dengan Keito, Irifune Sarasa yang satu
tahun lebih tua, Ezaki Junichi yang juga setahun lebih tua tapi sekolah di
tempat lain, Takamori Shizuka yang kini telah tiada, dan Keito sendiri.
Mereka
berlima sering bermain bersama saat masih kecil. Bahkan pernah berlibur bersama
ke rumah kakek-nenek Keito saat masih SD.
Namun
seiring berjalannya waktu, minat mereka mulai berbeda, pergaulan berubah, dan
hubungan mereka pun perlahan memudar. Hingga akhirnya, segalanya benar-benar
berubah dua tahun lalu—saat Keito, yang untuk pertama kalinya dalam waktu lama
ingin mengulang kenangan lama, justru dihadapkan pada tragedi.
Kini, Takumi
masih satu sekolah dan seangkatan, bahkan kelasnya berada di sebelah Keito. Jadi
mereka masih sering bertemu. Tapi, sejak masuk sekolah ini, mereka tidak pernah
lagi membahas Shizuka … ataupun kejadian itu. Kalaupun bertemu, mereka hanya
sekadar berbicara seadanya.
Sarasa
bahkan tak pernah sekadar lewat di dekat Keito, apalagi menyapa. Seolah
benar-benar menghindar. Seolah Keito adalah luka yang ingin ia lupakan.
Padahal
dulunya ia sangat dekat dengan Shizuka. Bahkan, yang mengajak Sarasa untuk ikut
liburan waktu itu adalah Shizuka sendiri.
Ezaki
Junichi adalah satu lagi dari mereka berlima. Kini ia sekolah di tempat lain
dan satu tahun lebih tua. Sejak masuk SMA, mereka tidak pernah saling
berinteraksi lagi.
Dulu,
Junichi adalah pemain bisbol hebat waktu SMP. Ia dan Takumi sama-sama anggota
tim.
Harusnya,
Junichi masuk SMA yang pernah lolos ke Koshien dan ikut klub bisbol di sana. Tapi
dua tahun terakhir, sekolah itu belum pernah lolos lagi. Musim panas ini
seharusnya jadi yang terakhir baginya.
*[Cana: Koshien adalah
turnamen bisbol nasional kelas SMA di Jepang, yang dianggap sangat prestisius.]
Dari lima
sahabat masa kecil itu, satu telah tiada, dan empat lainnya kini berjalan di jalannya
masing-masing.
◇◇◇
Setelah
melewati gerbang sekolah, Keito mengayuh sepedanya menuju tempat Utaha.
Matahari
menyengat wajahnya, tapi udara terasa lembap. Beberapa menit kemudian, peluh
mulai menetes dari dahinya dan seragamnya menempel ke tubuhnya.
Sambil
sesekali mengipasi dadanya dengan satu tangan, ia terus mengayuh dan sampai di
bawah jembatan sekitar dua puluh menit kemudian.
Begitu
membuka pintu kafe [Tsuyukusa], lonceng berdenting lembut menandakan kedatangannya.
Namun tak
ada jawaban dari Utaha. Tidak seperti kemarin, kali ini ada tamu yang sedang
duduk bersamanya, tampak sedang berbincang. Wanita langsing berbaju setelan jas
itu terlihat lebih seperti teman daripada pelanggan. Ia berbicara panjang
lebar, sementara Utaha hanya diam mendengarkan.
Keito agak
terkejut—ternyata Utaha punya teman juga.
Begitu Keito
mendekat, keduanya mengangkat kepala. Wanita itu berkata pada Utaha,
“Kalau
begitu, aku akan mampir lagi, ya, Utaha-chan. Lain kali kita ngobrol lebih
lama,” ujarnya sambil menjabat tangan lalu pergi.
Saat
berpapasan dengan Keito, wanita itu menambahkan, “Tempat ini indah sekali,”
lalu tertawa kecil sebelum melangkah pergi.
“Apa aku
datang di waktu yang salah?”
Keito
bertanya pelan, merasa tak enak sudah menyela. Tapi Utaha hanya menggeleng
pelan, memberi isyarat bahwa tak masalah.
“Misora-san
juga punya pekerjaan,” jelasnya.
Sepertinya wanita
bernama Misora itu mampir di sela-sela tugasnya.
“Dia sedang
mengerjakan editing untuk majalah.”
“Jadi dia
meliput tempat ini?”
“Kurasa
tidak. Orang tuaku bukan siapa-siapa, cuma pelukis yang tak dikenal.”
Keito
memperkirakan usia Misora dan Utaha seumuran.
Tapi tetap
saja, rasanya aneh mendengar Utaha bicara begitu formal padahal Keito sendiri
lebih muda.
“Utaha-san,
jadi … aku harus ngapain sekarang?”
Kalau mereka
terlalu santai, waktu akan cepat habis. Padahal ada banyak hal yang ingin ia
tanyakan—hal-hal yang tak bisa ia tunda.
“Baiklah.
Aku mengandalkanmu, Aikawa-san. Nenek itu juga sedang menunggu.”
Nenek tua
yang menjadi awal dari semua ini tengah berjalan pelan dan tak tentu arah di
dalam bangunan. Cara mengatakannya agak tidak sopan, tapi memang begitu
kesannya—seperti sedang mengembara.
“Kata-kata
yang hilang yang kulihat biasanya akan lenyap jauh lebih cepat.”
Selama ini,
kebanyakan kata-kata yang hilang hanya muncul sebentar di pinggiran pandangannya,
lalu lenyap. Tapi yang muncul paling lama hanya bertahan sekitar sepuluh menit.
“Mungkin
Aikawa-san belum terbiasa melihat kata-kata yang hilang. Meski terlihat seperti
tak tampak, sebenarnya mereka ada di dekatmu. Sampai sekarang, semua yang kau
lihat masih belum jelas. Tapi dengan memberi kata-kata yang hilang nama dan makna,
kau seperti merasa lega. Jadi, rasa cemasmu akan kata-kata yang hilang mungkin
akan mereda seiring kau terbiasa melihatnya.”
Kalau
begitu … apakah semua anak-anak yang pernah aku temui sejak bisa melihat
kata-kata yang hilang masih ada di luar sana? Mungkin karena aku sudah
terbiasa, aku jadi tidak terlalu takut saat melihatnya lagi.
Tapi…
bisakah aku benar-benar terbiasa, sementara aku belum memahami mereka yang
sudah kehilangan kekuatannya?
Keito
mengutarakan keraguannya.
“Aku juga
pernah merasa seperti itu. Tapi sayangnya, beberapa kata yang hilang memang
benar-benar lenyap. Orang ini pun … hanya stabil untuk sementara waktu.”
“Eh, tunggu.
Lenyap? Kata yang hilang bisa … hilang selamanya? Jadi maksudmu Shizuka … dia
mungkin sudah tidak ada lagi?”
Kalau
begitu, semua ini tidak sesuai dengan kesepakatan mereka kemarin. Bukankah
kalau ia menunggu di sini, suatu hari ia akan bertemu Shizuka lagi? Bukankah
itu harapannya?
“Seperti
kita, keberadaan kata-kata yang hilang juga tidak abadi. Suatu hari nanti,
mereka akan lenyap. Hanya sedikit sekali dari mereka yang berhasil sampai ke
orang yang dituju—entah dengan kekuatannya sendiri atau karena dibantu. Tapi
kebanyakan dari mereka gagal.
Mereka tidak pernah sampai, dan akhirnya
kehilangan kesadaran, ingatan, perasaan, dan bahkan kata-kata yang ingin mereka
sampaikan… Mereka menghilang begitu saja, tanpa ada yang tahu. Itulah kenapa
aku ingin membantu sebanyak mungkin kata-kata yang hilang, agar hal itu tak
terjadi. Itulah doaku.”
“Kalau
begitu… Shizuka juga sudah….”
“Bukan hal
aneh kalau kata-kata yang hilang bisa tetap hidup selama beberapa tahun … bahkan
lebih lama dari itu. Makanya, aku percaya kata-kata milik Shizuka masih
baik-baik saja.”
Utaha
berkata bahwa kata-kata yang hilang yang baru muncul dua bulan lalu juga ada yang
datang ke tempat ini.
Kalau
begitu, masih adakah waktu untuk tenang?
“Tapi…
mencarinya sendiri itu sangat sulit.”
Tak peduli
seberapa keras kau mencarinya—kalau dikatakan ia bisa lenyap sewaktu-waktu—kau
pasti dihantui rasa cemas yang terus-menerus.
“Kalau kamu
ingin bertindak atas kehendak sendiri, aku tidak bisa menghentikanmu,
Aikawa-san. Tapi seperti yang kukatakan kemarin, aku tidak menyarankannya.”
Nada bicara
Utaha terdengar tegas, matanya sedikit menunduk, seperti mengingat pengalaman
yang tak ingin ia ulangi.
Keito sempat
berpikir—mungkin Utaha pernah mencoba mencari lost words sendiri dan
gagal.
“Boleh aku
mendahulukan untuk mengantar si nenek dulu?”
Tak ada
bantahan dari Utaha. Kalau tidak tahu apa-apa soal kata-kata yang hilang, maka
mencari tanpa arah hanya buang-buang waktu.
“Pertama-tama,
aku harus mencari tahu siapa dia dan dari mana asalnya. Aku ingin minta
bantuanmu dalam hal ini, Aikawa-san.”
“Tidak bisa
langsung ditanya saja?”
“Sampai
sekarang dia tidak menunjukkan reaksi apa pun. Meski sebenarnya, hal itu juga
berlaku pada kebanyakan kata-kata yang hilang yang berhasil sampai ke sini.”
“ … Apa itu
juga berlaku ke Shizuka? Apa mungkin kita benar-benar bisa bertemu dengannya
dengan cara seperti ini?”
Kalau bukan
karena bantuan Keito, nenek itu mungkin akan tetap mengembara tanpa arah.
“Shizuka-san
dulu tinggal di sekitar sini. Kalau dia kembali ke lingkungan ini, aku yakin
dia akan tertarik datang ke tempat ini, apalagi ada lukisan dirinya. Lukisan
ibuku pasti akan jadi penanda yang kuat.”
“Lalu …
bagaimana dengan nenek itu?”
“Dia bukan
korban kecelakaan, dan juga bukan bagian dari kata yang hilang yang pernah
ditemui ibuku sebelumnya. Tapi aku rasa, dia punya semacam hubungan batin
dengan tempat ini—atau dengan sekitarnya. Mungkin karena itu, dia tertarik ke
tempat ini … ke lukisan-lukisan di Tsuyukusa.
Makna bunga Tsuyukusa
(Asiatic dayflower) adalah <<Hubungan Penuh Nostalgia>>. Lukisan itu digunakan sebagai poros untuk
menghubungkan kenangan dan emosi, agar kata-kata bisa tersampaikan. Itu adalah
kekuatan ibuku. Meski beliau sudah tiada, lukisan-lukisan yang ia buat masih
menyimpan kekuatan itu.”
Ia
mengatakannya tanpa ragu sedikit pun. Dari caranya berbicara, bisa dipastikan
bahwa ibu Utaha memang sudah tiada.
“Ngomong-ngomong,
Aikawa-san … kamu bisa menggambar?”
Keito agak
bingung dengan arah pertanyaannya. Tapi melihat pembicaraan tadi, kemampuan
menggambar sepertinya penting.
“Aku … ya,
aku ikut klub seni, kurang lebih.”
“Wah, itu
kebetulan sekali. Ini pasti takdir. Kalau begitu, tolong gambar wajah nenek
itu.”
“Eh, eh, eh,
tunggu dulu! Nggak bisa! Aku memang bisa gambar, tapi bukan berarti aku bisa
bikin gambar yang punya kekuatan misterius kayak ibumu! Kenapa bukan kamu aja
yang gambar?”
“Aku tidak
pandai menggambar. Aku tidak bisa memalsukan yang seperti itu.”
Utaha
menunduk sedikit, menahan rasa malu atau mungkin rasa kehilangan.
“Aku ingin
kamu menggambarnya, Aikawa-san … agar bisa digunakan untuk mencari tahu siapa
dia.”
Intinya, ini
semacam pengganti foto. Kata-kata yang hilang tidak bisa tertangkap kamera.
Tapi kalau ada gambar buatan tangan dari seseorang yang bisa melihat mereka,
itu bisa membantu melacak asal-usulnya.
Kalau memang
begitu, maka Keito—meskipun masih awam—bisa berguna.
“Baiklah …
aku akan coba.”
Kebetulan,
menggambar potret memang keahliannya.
Utaha
menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan. Ia menatap sang nenek dengan saksama.
Keberadaannya memang samar, tapi tetap nyata. Tanda-tandanya bisa terlihat dari
napas yang teratur, tatapan, kedipan mata, gerakan kecil di lengan, pundak, dan
pipi.
Tak peduli
seberapa diamnya seseorang, tetap saja mereka tidak bisa menyembunyikan
keberadaan fisiknya.
Rambut
keriting pendeknya sudah mulai memutih dan agak berantakan. Pakaian yang ia
kenakan bersih tapi tidak rapi, dan terlalu tebal untuk musim ini—jelas sekali
sudah tak sesuai waktu.
“Aku yakin
dia dulu adalah orang yang modis,” ucap Keito, setengah kagum, setengah sendu.
Karena sang
nenek tidak memakai riasan, kerutan di wajahnya pun tampak jelas, dan Keito pun
menggambarkan rupa aslinya ke dalam sketsa di buku gambarnya.
“Luar biasa.
Hasilnya seperti foto.”
“Kamu
melebih-lebihkan saja ….”
Keito tahu,
gambarnya tidak bisa dibandingkan dengan lukisan ibu Utaha. Bahkan di klub seni
pun, karyanya bukan yang paling menonjol. Memang benar, hanya orang berbakat
yang bisa menggambar dengan detail setajam foto hanya dengan pensil. Tapi kalau
begitu, bukankah lebih cepat dan praktis pakai kamera saja?
Gambar
seharusnya menampilkan sesuatu yang hanya bisa ditangkap oleh si penggambar. Tapi
kalau mengacu pada contoh sebelumnya, gambar Keito tidak memiliki kehadiran tersembunyi
seperti yang ada dalam karya ibu Utaha.
Bahkan dalam
sebuah foto pun, orang biasa yang menjadi objeknya, hubungan mereka dengan si fotografer,
serta emosi yang muncul di dalamnya—semuanya bisa terasa.
Tapi Keito belum mampu menyampaikan hal seperti itu.
Meski
begitu, itu bukan masalah. Yang ia perlukan saat ini hanyalah meniru rupa sang
nenek seakurat mungkin.
“Boleh aku
menyentuh orang ini?”
Setelah
mendapatkan anggukan dari Utaha sebagai tanda persetujuan, Keito pun menyentuh
lembut tangan kiri sang nenek.
Tangannya
terasa keras dan bertulang, kulitnya kering dan kasar. Rasanya persis seperti
saat ia memegang tangan neneknya sendiri—dan jujur saja, Keito tidak terlalu
suka dengan perasaan itu.
Sketsa
potret itu selesai kira-kira dalam dua puluh menit. Selama ia menggambar, si
nenek menatapnya tanpa henti.
Apakah ia
mengerti apa yang sedang mereka lakukan?
“Terima
kasih banyak. Seperti yang kuduga, hasilnya luar biasa,” kata Utaha.
◇◇◇
Ini bukanlah
pujian yang diucapkan tanpa perasaan, karena bagi seseorang seperti Utaha yang
menghabiskan waktunya menghias lukisan di sekelilingnya, Keito yakin ia tidak
mungkin salah dalam menilai kualitas sebuah gambar. Kalimat itu memang
terdengar seperti pujian, tapi ia menyimpannya dalam hati. Sekarang bukan waktu
yang tepat untuk merasa senang karena hal itu.
“Apa yang
akan kau lakukan dengan ini?”
“Aku berniat
menyalinnya, mencetaknya sebagai poster, dan bertanya ke orang-orang.”
“Seperti
sedang mencari kucing hilang, ya.”
“Fakta bahwa
dia tak bisa bicara pun membuktikan kesamaannya. Kau pasti sudah lelah, dan
sekarang juga sudah cukup larut. Mari kita akhiri sampai di sini dulu. Aku akan
mengambil kopi lagi.”
Seperti
kemarin, kopi itu memiliki rasa yang luar biasa. Dan berkat itu, rasa lelahnya
perlahan menghilang.
“Ngomong-ngomong,
ini sebenarnya kafe ya? Aku belum bayar kopi kemarin, lho.”
Keito
membuka tasnya dan mengambil dompet, berniat membayar untuk kopi hari ini dan
kemarin.
“Tak perlu
repot-repot,” jawab Utaha.
Namun saat
Keito tetap bersikeras, Utaha kembali menggelengkan kepalanya dengan lembut.
“Terima
kasih banyak,” ucap Keito, lalu menyimpan kembali dompetnya.
“Jadi, para kata yang hilang tidak makan?” tanya Keito, mengingat rasa manis dari cokelat yang
tadi sempat ia makan.
“Orang itu
tak akan menjadi dirinya sendiri lagi jika hanya tubuhnya yang tersisa,
sedangkan emosi di masa lalunya sudah menghilang.”
“Hari ini
dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.”
Kemarin,
sang nenek sempat berkata “Chikako,” tapi hari ini ia hanya diam ketika Keito
menggambarnya.
“Setelah
dilahirkan, kata-kata yang hilang perlahan akan kehilangan ingatan, perasaan, dan
kata-kata mereka seiring berjalannya waktu. Tapi kurasa orang ini belum lama
menjadi kata-kata yang hilang. Mereka yang sudah cukup lama di sini akan tampak
kurang ekspresif dan kehadirannya pun terasa makin samar.
Mungkin dia
mengenakan pakaian itu sekitar dua bulan sebelum musim semi? Kalau begitu,
berarti sudah lewat sekitar empat bulan. Dalam rentang waktu itu, seharusnya
ekspresinya masih cukup kaya dan ia mungkin masih bisa mengingat siapa dirinya.
Karena itulah, mengantarnya seharusnya tak terlalu sulit … tapi ….”
Ucapan Utaha
menggantung. Tampaknya ada kekhawatiran yang belum ia utarakan sepenuhnya.
“Mungkin
saja orang ini mengidap demensia. Ada kemungkinan wujud dirinya sudah mengabur
saat ia meninggal dunia.”
“Dengan kata
lain, bisa jadi ingatannya takkan pernah kembali?”
“Aku rasa
tak masalah, karena keinginan kuatnya untuk menyampaikan sesuatu pada orang
yang penting telah terpatri begitu dalam di hatinya.”
Keito
mendengar suara Utaha. Biasanya ia terdengar datar dan berjarak, namun kali ini
terdengar bahwa ia memiliki ikatan mendalam dengan para kata yang hilang.
Keito
kembali menatap sang nenek. Dalam keseharian, ia jarang berinteraksi dengan
para lansia. Ia memang tinggal bersama kakek-nenek dari pihak ayah, tapi
keluarga dari pihak ibu tinggal di wilayah Tohoku, dan sudah beberapa tahun
tidak ia temui. Ada juga seorang kakek di lingkungan rumah, tapi Keito tidak
pernah berbincang dengannya secara khusus.
Di luar
keluarganya, orang tua adalah sosok yang terasa jauh, bahkan asing baginya.
Itulah
sebabnya, saat berdiri di hadapan sang nenek, ia pun tak tahu harus merasakan
apa.
“Untuk saat
ini, satu-satunya petunjuk yang kita punya adalah ‘Chikako’.”
Begitu Keito
menyebutkan nama ‘Chikako’....
"[Chikako]"
"[Chikako]"
"[Chikako]"
"[Chikako]"
"[Chikako]"
Sang nenek
akhirnya mengucapkannya, berulang kali, dengan suara yang jelas.
“Akhirnya
aku mengerti betapa pentingnya nama 'Chikako' bagimu. Apakah itu namamu,
atau nama anggota keluarga, atau mungkin teman? Aku belum tahu … tapi aku pasti
akan mengantarmu pulang.”
Utaha lalu
memeluk sang nenek, seolah turut merasakan perasaannya.
Keito juga
merasa bahwa dirinya ingin menolong seseorang yang sedang dalam kesulitan. Mungkin
itu adalah suara hati nurani, yang dimiliki oleh sebagian besar orang.
Namun,
kekuatan untuk bertindak menurut hati nurani berbeda-beda bagi tiap orang.
Keito tidak pernah menganggap bahwa sikap semacam itu adalah tanda kelemahan.
Tapi, cara Utaha menghadapi para kata yang hilang itu terasa … berbeda. Mungkinkah
Keito bisa merasakan kedekatan dengan kata-kata yang hilang lain, selain yang
sedang diurus Utaha?
◇◇◇
Keito
membawa pulang sketsa gambar yang ia buat. Setelah membuat salinannya, ia
memutuskan untuk mengunjungi Utaha lagi. Ia berencana menggunakan mesin
fotokopi yang ada di ruang klub.
Keesokan
harinya, hujan turun lagi sejak pagi. Masih pertengahan bulan Juni, dan musim
hujan belum akan berakhir dalam waktu dekat.
“Kamu akan
pergi ke klub hari ini?”
Begitu
sekolah selesai, Seiko bertanya pada Keito, seolah ingin tahu lebih jauh.
Saat Keito
menjawab bahwa ia memang akan ke klub, Seiko tampak puas.
Mereka
berjalan bersama dari lantai dua kelas tahun kedua menuju lantai tiga, tempat
klub seni berada.
“Haa ….”
Saat di
tangga, Seiko turun satu anak tangga lalu menghela napas dalam-dalam. Tampaknya
ia sedang tidak enak badan.
“Kau merasa
tidak enak badan, Haruchika?”
“Eh? A-Ah …
maaf ya. Sampai menghela napas di depan Aikawa-kun … Soalnya aku kurang tidur
semalam.”
“Ada yang
mengganggu pikiranmu?”
“Tidak,
tidak sama sekali. Cuma begadang sedikit saja kok.”
Ia menjawab
dengan malu-malu, seperti ingin menutupi rasa malunya.
Keito sudah
sekelas dan seklub dengan Seiko sejak tahun pertama. Tubuhnya kecil dan sedikit
berisi, berkepribadian ramah, dan bisa berbicara dengan siapa pun tanpa
membeda-bedakan. Ia cukup disukai banyak orang.
Entah apakah
ia menyukai kenyataan bahwa orang-orang menganggapnya seperti anak anjing kecil
yang menggemaskan.
Sampai
sekarang, Keito hampir tidak pernah melihat ekspresi murung di wajahnya. Tapi
sejak masuk tahun kedua, Seiko tampak sering melamun dan lebih sering menghela
napas. Bahkan para senior di klub pun tampaknya ikut khawatir padanya.
Kalau
dipikir-pikir, wajahnya memang terlihat lelah. Karena itulah Keito memutuskan
untuk bertanya saat ia menghela napas tadi, tapi jawabannya tetap sama.
Apa ia
sedang berusaha berpura-pura kuat agar tak ada yang melihat sisi rapuhnya? Atau
memang benar-benar tidak terjadi apa-apa? Keito merasa tak bisa berbuat banyak
terhadap kemungkinan itu.
“Ngomong-ngomong,
Aikawa-kun … kertas apa yang kau bawa itu?”
“Itu gambar
yang aku buat kemarin. Aku mau menyalinnya di ruang klub.”
“Gambar apa
itu? Boleh aku lihat?”
Tepat
sebelum membuka pintu ruang klub, Keito menyerahkan kertas itu pada Seiko tanpa
pikir panjang.
Setelah itu,
ia pun masuk ke dalam ruang klub. Bau cat basah langsung menyapa hidungnya.
“ … Haruchika?”
Keito
menoleh ke arah Seiko yang seharusnya masuk setelahnya. Tapi ia masih berdiri
diam di ambang pintu.
Beberapa anggota
klub yang sudah ada di dalam menatap mereka dengan tatapan bingung.
“Aikawa-kun …
siapa ini?”
Hanya satu
kata yang bisa menggambarkan ekspresi Seiko saat itu—terpana. Air mata sudah
mulai mengalir dari sudut matanya.
“Aku juga
tidak tahu siapa dia. Aku memang berencana mencarinya setelah ini…”
Namun
sekarang, setelah sampai sejauh ini, satu kesimpulan terlintas di benak Keito.
Selama ini,
nama lengkap Seiko: Haruchika Seiko, tidak terlihat berkaitan dengan ‘Chikako’.
Tidak, Seiko (誓子) memang tidak dibaca Chikako (せいこ). Kalau begitu, mungkinkah ini hanya kesalahan dalam membaca nama?
“ … Mungkinkah dia ada hubungannya denganmu, Haruchika?”
Keito
bertanya perlahan, mencoba memastikan dengan hati-hati.
“Mengapa
nenekku …? Kenapa Aikawa-kun …?”
Seiko
menggenggam erat kertas yang ada di tangannya. Tampaknya, orang yang tergambar
di sana adalah neneknya.
“Ayo ikut
aku, Haruchika.”
Keito
menarik tangan Seiko dengan paksa, sementara gadis itu masih belum bisa
memahami sepenuhnya situasi yang sedang terjadi.
“Maaf, tapi
kami pergi dulu hari ini.”
Saat ia
mengangkat suaranya di dalam ruang klub, ketua klub tampak terkejut, tapi
langsung membalas, “Hati-hati di jalan.”
◇◇◇
“Aikawa-kun, aku bisa jalan sendiri!”
“Maaf.”
Setelah meninggalkan ruang klub selama beberapa saat dan Seiko sempat
memprotes, Keito buru-buru melepaskan genggamannya.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Jelaskan padaku.”
“Ah…”
Keito tidak bisa langsung memberikan penjelasan. Situasinya terlalu
mengejutkan. Baru saja ia hendak mencari petunjuk tentang sang nenek, tapi
orang yang dicari justru muncul sendiri di hadapannya.
“Maaf, untuk sekarang ikut saja dulu.”
Seiko mengangguk dan berjalan di samping Keito. Saat sedang mengambil sepatunya
dari rak,
“Aku biasanya naik sepeda ke sekolah, tapi kamu tadi datang naik bus kan?”
Setelah ia memberitahu halte terdekat dari rumah Utaha dan menyarankan agar
mereka menuju ke sana,
“Kita naik bareng aja.”
ucap Seiko tegas.
“Itu melanggar peraturan sekolah.”
“Sekarang
bukan waktunya mikirin itu. Setelah keluar dari gerbang sekolah, kita jalan
sebentar lalu aku duduk di belakang, oke?”
Sudah berapa
lama sejak terakhir kali ia membonceng seseorang seperti itu? Mungkin sejak SD.
Jalanan dipenuhi daun-daun basah oleh hujan pagi. Seiko duduk di belakang
dengan salah satu kakinya menjulur ke samping. Merasakan beban di pedal, Keito
mempercepat kayuhannya.
“Hei,
Aikawa-kun.”
Seiko
membuka pembicaraan lebih dulu.
“Aku akan
ceritakan semuanya setelah kita sampai.”
“Sampai di
mana?”
“Ke tempat
nenekmu berada.”
“ .... ”
Seiko
terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi sepertinya sedang berusaha menahan diri
dan mencerna semuanya.
“Baiklah,
aku percaya padamu, Aikawa-kun.”
Setelah ia
berbisik di telinganya, mereka tak lagi menyebut-nyebut soal sketsa tadi.
“Ini pertama
kalinya kita pulang bareng seperti ini ya?”
“Meski kita
nggak benar-benar pulang.”
“Anggap saja
jalan memutar? Yang jelas, ini pertama kalinya kan?”
“Memangnya
boleh membonceng dan jalan-jalan gitu? Bukannya kamu ketua panitia sekolah?”
“Kita bukan
keluar buat main, ini keadaan darurat, jadi nggak apa-apa. Lagipula aku
biasanya anak baik kok, jadi panitia pasti maklum. Aikawa-kun, kamu tahu nggak
apa keuntungan jadi orang yang selalu serius?”
“Mana
kutahu.”
“Keuntungannya,
meskipun dia sesekali bolos atau nakal sedikit, orang-orang akan tetap percaya.
Kalau dia, pasti ada alasannya.”
Begitu ya …
rasanya ingin menegur Sarasa yang selalu terlalu keras pada dirinya sendiri
tanpa arah yang jelas.
“Itu
sebabnya kamu akhir-akhir ini sering melamun di kelas?”
“Eh? U-umm …
begitu ya … Aikawa-kun peduli juga rupanya?”
“Aku dengar
dari kakak kelas di klub. Tadi juga kamu sempat menghela napas. Menurutku itu
nggak seperti biasanya dari kamu, Haruchika.”
“Ya … begitu
ya. Jadi orang lain juga menyadarinya. Sampai-sampai kakak kelas khawatir
padaku, aku gagal sebagai junior mereka.”
Setelah itu,
pembicaraan mereka beralih ke arah yang sangat berbeda. Mereka mengobrol
tentang klub seni, para anggotanya, rencana liburan musim panas, dan juga
festival budaya yang akan digelar setelah liburan.
Kalau Keito
mengayuh sepeda sendirian, ia bisa mencapai rumah Utaha dalam waktu sekitar dua
puluh menit. Tapi karena membonceng Seiko, ia harus mengayuh lebih pelan dan
perjalanan pun jadi lebih lama dari biasanya.
“Haa, haa .…”
Begitu
mereka tiba di tujuan, Keito terengah-engah.
“Kau
baik-baik saja, Aikawa-kun?”
“Enggak
juga. Aku memang jarang olahraga, sih .…”
“Yah, kalau
begitu kita istirahat sebentar. Aku akan jalan di belakang.”
Seiko turun
dari boncengan, tepat di depan jembatan.
“Aku hampir
nggak pernah ke daerah sini. Bisa tunjukin jalannya?”
“Jalannya
lurus kok, nggak bakal nyasar.”
Sambil
mengatur napas, Keito melanjutkan mengayuh sepedanya pelan-pelan.
“Sungainya
ada di ujung sana. Kayaknya bakal asyik ke sini pas musim panas.”
Seiko
menyusul di sampingnya dengan cepat. Gerak-geriknya persis seperti anjing kecil
yang penuh semangat.
“Aku pengin
ke sini buat menggambar gunung itu. Cantik juga ya.”
“Kalau nggak
salah, klub seni sempat ke taman sini musim panas lalu, kan?”
Di kaki
Gunung Kinpo, ada air mancur dan taman bermain. Selain itu, ada taman besar bernama
Taman Somiya yang dilengkapi fasilitas umum seperti perpustakaan untuk tempat
bersantai.
Waktu kecil,
di sana juga ada kebun binatang dan akuarium mini. Ada singa, penguin, dan
merak. Aku sering ke sana bareng Shizuka. Aku kasihan padanya, karena bahkan
sejak kecil dia sudah seperti terkunci dalam kandang.
Meski
disebut akuarium, isinya cuma ikan air tawar yang hidup di Sungai Nagase,
seperti ayu dan ikan lele. Tapi di tengah ruangan ada monumen alami seekor
salamander raksasa—tubuhnya yang licin dan berlendir masih terbayang sampai
sekarang.
Anehnya,
Shizuka sangat menyukai bangunan itu, walau semua fasilitas itu sudah lama dihancurkan.
◇◇◇
Seiko
memandangi bangunan di depan mereka dari atas sampai bawah, lalu menatap gambar
bunga tsuyukusa (Asiatic dayflower) yang menghiasi pintu masuk dan
bergumam dengan nada kagum,
“Lukisan
yang indah sekali …. ”
Lalu, “ … Apakah
nenekku ada di sini?”
Seiko
sebenarnya tak pernah melupakan tujuan mereka datang. Hanya saja, dia memaksa
dirinya untuk bersikap ceria demi menyembunyikan wajahnya yang ketakutan.
Bunyi
lonceng berdentang, menandakan kedatangan mereka saat pintu dibuka dan wajah
Utaha menyambut mereka.
“Selamat
datang, Aikawa-kun. Dan untukmu juga, aku sudah menunggu.”
“Halo. Aku
Haruchika Seiko, teman sekelas Aikawa-kun.”
Suara Seiko
terdengar gugup saat menyapa Utaha.
“Apakah dia
orang yang kita cari?”
Seiko
menatap Keito dengan bingung, tapi Keito mengangguk pelan.
“Begitu ya.
Jadi dia temannya. Mungkin ini yang disebut takdir juga.”
“ … Aikawa-kun,
siapa orang ini sebenarnya?”
“Oh, maafkan
aku. Namaku Umegae Utaha, pengelola utama tempat ini, [Tsuyukusa]. Kali ini, aku meminta bantuan
Aikawa-kun untuk mencari seseorang bernama ‘Chikako’. Ini demi nenekmu.”
“ … ’Chikako’?
Dari mana kau tahu nama itu …?”
Seiko
terkejut hingga menahan napasnya.
“Hei,
Aikawa-kun, sebenarnya ada apa ini? Apa nenekku benar-benar ada di sini? Kenapa
kamu punya potret nenekku? Hanya sedikit orang yang memanggilku 'Chikako', jadi dari mana kamu tahu nama itu?”
Setelah
berkata demikian, Seiko terus bicara seperti air yang memancar deras dari
bendungan yang jebol. Tampaknya dia sudah mencapai batas kesabarannya dan
sekarang sedang meluapkan segalanya.
“Bahkan aku
sendiri belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi di sini,” kata Keito sambil
menatapnya, menerima luapan emosi Seiko dan mulai menjelaskan.
“Percaya
atau tidak, roh nenekmu … ada di sini.”
Lebih
tepatnya, ia adalah kata yang hilang. Tapi penjelasan tentang itu bukan
sesuatu yang bisa dilakukan dengan cara biasa.
“Kamu nggak
sedang mengerjaiku … kan?”
“Utaha-san
dan aku … kami bisa melihatnya. Aku tahu ini sulit dipercaya.”
Hanya Utaha
dan Keito yang bisa melihat kata-kata yang hilang. Bahkan, bentuk roh
yang diduga neneknya belum terlihat dengan jelas.
Tepat saat
ia berpikir begitu, seorang wanita tua mulai berjalan perlahan. Meskipun
caranya berjalan terlihat agak berbahaya, dia jelas-jelas sedang menuju ke arah
Seiko.
Wanita itu
lalu berdiri di samping Seiko. Mata kecilnya yang tampak terselip di antara
kerutan wajahnya seolah menarik perhatian Seiko.
“Dia sekarang
ada di sebelah kirimu, Haruchika.”
“Nenekku …
benar-benar?”
Seiko
menoleh ke kiri dan mengulurkan tangan kirinya, tapi gerakan itu sia-sia—tidak
menyentuh apa pun.
“Tidak
mungkin Aikawa-kun sedang mengerjai atau mengejekku. Lagipula, kamu tahu soal ‘Chikako’.
Jadi … wajah seperti apa … yang nenekku tunjukkan sekarang?”
“Wajahnya?
Sama seperti di potret, sih.”
“Jadi … dia
nggak marah?”
Itu
pertanyaan yang cukup aneh.
“Tidak kok,
seingatku tidak. Dia nggak menunjukkan ekspresi apa-apa.”
“ … Benarkah?”
Saat Seiko
merasa cemas dan mengingat kembali rasa tidak nyaman yang sempat ia rasakan,
Keito menjawab dengan nada tenang yang sama.
“Aku
mengerti.”
Seiko
menghela napas lega.
Nenek tua
itu, yang dari tadi memperhatikan percakapan mereka, akhirnya membuka suara dan
berkata, "[Chikako]". Lalu, dia menyebut nama-nama lain: "[Shouta]", "[Minoru]", "[Katsuo-san]", "[Atsuko-san]"—empat nama sekaligus.
“Haruchika,
siapa mereka?”
“Ah .…”
Seiko
menutup mulutnya, lalu mengerang pelan.
“Shouta itu
adik laki-laki … atau lebih tepatnya, ayahku. Katsuo itu kakekku yang sudah
meninggal, dan Atsuko itu ibuku … Aku tadi masih ragu, tapi sepertinya memang
benar—nenekku ada di sini.”
Ia
mengulurkan tangannya sekali lagi.
“Kalau boleh
tahu, siapa nama nenekmu?”
“Namanya
Haruko. Haruchika Haruko. Setelah menikah dengan kakekku, dia mendapat nama
belakang yang agak aneh dan sering jadi bahan olokan.”
“Namaku
dibaca sebagai Seiko (せいこ), tapi nenekku lebih suka membacanya
sebagai Haruchika Chikako (はるちかちかこ). Makanya dia selalu memanggilku ‘Chikako’.
Itu adalah sesuatu yang cuma diketahui oleh keluarga ….”
“Terima
kasih banyak. Jadi namamu adalah Haruko-san. Sekarang aku bisa mengembalikan
namamu padamu.”
◇◇◇
Utaha
tersenyum lembut pada wanita tua itu—Haruchika Haruko.
“Bisakah Anda menceritakan lebih banyak tentang Haruko-san? Misalnya, kapan dan
bagaimana beliau meninggal, seperti apa kepribadiannya semasa hidup, dan lain sebagainya.
Cukup katakan apa yang Anda tahu.”
“Apa yang akan terjadi kalau aku memberitahumu? Misalnya kalau roh nenekku
memang benar ada di sini … apa kamu akan … hmm, mengantarkannya ke surga? Aku
sendiri masih belum yakin dengan semua yang terjadi di sini.”
“Maaf kalau membuat bingung. Tadi Aikawa-san memang menjelaskan secara singkat
bahwa beliau ini adalah roh, tapi lebih tepatnya aku menyebut mereka sebagai kata
yang hilang. Kata-kata haruslah akurat. Kalau kau memberi mereka nama yang
salah, ada kemungkinan kau malah memberi mereka sifat yang berbeda. Mulai
sekarang, aku akan menyebutnya sebagai kata yang hilang dari Haruko.
Anggap saja ini janji.”
“Baiklah.”
Seiko mengangguk pelan, meskipun jelas ia belum benar-benar mengerti.
“Tolong jelaskan kata yang hilang padanya, Aikawa-san.”
Setelah Utaha pergi, Keito pun mulai menjelaskan tentang kata yang hilang
dengan caranya sendiri. Meskipun ia tak yakin bisa menjelaskannya dengan benar,
setelah mendengarkan dan merenung, Seiko pun bergumam dengan suara bergetar:
“Apakah … nenekku punya kata-kata terakhir yang belum sempat beliau sampaikan …?”
“Aku juga belum tahu pasti,” jawab Keito pelan, “tapi aku yakin Haruchika dan
yang lain pasti ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Kupikir, itu bukan
sesuatu yang keliru.”
“Ada satu hal yang ingin saya tanyakan, Seiko-san. Apakah Haruko-san menderita
demensia?”
Kemarin, Utaha memang sempat membuat asumsi tentang wanita tua ini—dalam kata
lain, kata yang hilang dari nenek Seiko.
Seiko menarik napas dan mengangguk pelan, lalu berkata, “Iya ….”
“Biasanya beliau waras, tapi kadang gejalanya muncul. Dalam kondisi begitu,
beliau bisa lupa keluarganya. Bahkan pernah lebih parah, seperti mengira
uangnya dicuri, atau ribut karena merasa barang-barangnya hilang … Padahal
sebenarnya, nenek itu orangnya baik dan lembut sekali. Karena itulah … hal
seperti itu cuma terjadi saat penyakitnya kambuh ….”
Seiko terdiam, kata-katanya tersendat. Keito menunggu, tapi keheningan itu
bertahan lama—seakan mereka berdua sedang mencari kata yang tepat untuk
melanjutkan.
“Utaha-san, bisakah kau buatkan kopi seperti biasa?”
Karena sebelumnya Utaha menerima permintaan Keito dan sudah pergi dari tempat
duduknya, kini ia hanya berdua dengan Seiko. Lebih tepatnya, ditemani kata
yang hilang dari Haruko, yang sedang bersandar diam di samping mereka.
“Umm … kau baik-baik saja?”
“Sejak sore, terlalu banyak yang terjadi, dan kurasa aku belum bisa memahami
semuanya.”
Seiko tertawa kecil, getir.
“Maaf sudah menyeretmu dalam hal yang … aneh seperti ini. Tapi ini semua memang
penting. Apa sebaiknya aku tinggalkan tempat ini?”
Ada dua jenis situasi—yang satu adalah saat kau bicara pada orang asing, dan
satunya lagi, adalah hal-hal yang sulit diucapkan justru karena kau mengenal
orang itu. Tak mudah membuka diri pada teman sendiri, karena ada hubungan yang
terlalu dekat untuk bisa jujur dengan ringan.
“Terima kasih, tapi aku baik-baik saja. Utaha-san agak aneh, ya? Maksudku bukan
hal buruk. Dia cantik, misterius, dingin tapi juga penuh semangat. Aku jadi
ingin menggambar dirinya.”
“Gambarmu pasti indah, Haruchika.”
“Tempat ini bagus sekali. Ini sebenarnya kafe ya? Atau museum seni? Setelah aku
tenang, aku ingin lihat-lihat sekeliling dengan lebih santai. Hanya dengan
menceritakan tempat ini, aku sudah merasa senang bisa datang kemari.”
“Maaf membuat kalian menunggu.”
Utaha kembali sambil membawa tiga cangkir, dan meletakkannya di depan
masing-masing. Keito tahu persis rasa kopi aslinya dan diam-diam menantikan
reaksi Seiko.
“Ini …
rasanya aneh.”
Seiko menyeruput sedikit dan mengernyit. Tampaknya rasa minuman itu tidak
sesuai dengan seleranya.
“Ini bukan kopi sungguhan, kan?”
“Jadi kau menyadarinya. Ini bukan kopi dari biji kopi. Minuman ini dibuat dari
akar dandelion yang dikeringkan.”
“Jadi ini yang namanya kopi dandelion. Aku pernah dengar sebelumnya, tapi baru
kali ini mencobanya. Rasanya agak mirip seperti obat. Tap i… apa rasanya akan
jadi manis kalau aku sudah terbiasa?”
Seiko
menyeruput sekali lagi, menelan perlahan.
“Pertama kali ini rasanya aneh banget.”
“Ini kopi penuh kenangan yang diajarkan ibuku padaku. Kalau tidak suka, kau tak
perlu memaksakan diri, Seiko-san. Aku bisa buatkan minuman lain.”
“Tidak, tidak apa-apa.”
Seiko menghabiskan kopi itu bersama dengan cokelatnya.
“Aikawa-kun, Utaha-san … aku akan menceritakan tentang ibuku dan nenekku.”
Setelah suasana hatinya mulai tenang, Seiko berbicara dalam nada yang lebih
formal kepada Utaha, yang sedang membereskan cangkir-cangkir di hadapannya.
Ia menyebut ‘ibu dan nenek’-nya. Rupanya bukan hanya neneknya yang
terlibat—ibunya juga.
“Bahkan dari sudut pandangku sebagai anak, aku tahu ibuku sangat perhatian
merawat nenek yang mengidap demensia. Meski kondisi jantungnya agak lemah,
beliau tak pernah berhenti bergerak. Karena itu, gejala demensia nenek jadi
sangat merepotkan. Kadang beliau bisa berlaku kasar, bahkan menyakiti ibuku.
Tapi … aku tetap sangat menghormati ibuku yang terus merawat nenek tanpa
mengeluh.
Aku sempat mengadu ke ayahku, tapi beliau sibuk bekerja. Aku sendiri harus
sekolah. Jadi akhirnya hanya ibuku yang bisa menjaga nenek di siang hari. Kami
juga masih punya Shouta yang masih kecil waktu itu. Aku juga kadang bantu saat
libur. Petugas dari panti jompo pun pernah datang. Tapi gejalanya nggak selalu
muncul. Kalau sedang waras, nenek bisa hidup mandiri. Sebaliknya, meminta
bantuan perawat pun bisa jadi repot.
Kupikir ibuku sudah sangat lelah. Walau tampak tenang, jelas ia menahan banyak
hal. Tapi kami juga tak bisa berbuat banyak. Ayah kerja, dan aku sekolah. Hari
demi hari, semangat ibuku perlahan padam. Nenek bisa berubah dari wajah lembut
jadi marah-marah, tak tentu waktu, tanpa tanda-tanda. Dari akhir tahun lalu
sampai awal tahun ini, suasana rumahku benar-benar murung.
Lalu, pada suatu hari bersalju … beliau roboh. Saat itu hanya ada tiga orang di
rumah: ibuku, adikku, dan nenek. Ibu harus merawat adik, menyekop salju, masak
untuk keluarga. Karena itulah beliau tak sadar nenek sudah jatuh.
Waktu akhirnya menelepon ambulans, jalanan macet salju. Kendaraan tidak bisa
sampai tepat waktu. Saat nenek dibawa ke rumah sakit … semuanya sudah terlambat.
Dokter bilang, penyebabnya serangan jantung. Jantung beliau yang memang lemah,
tidak kuat menahan dingin ekstrem.”
Nenek Seiko wafat sekitar empat bulan lalu dari sekarang. Hari itu salju turun
sangat deras—hal yang langka di Kota Sonomiya. Keito pun masih ingat betapa
sulitnya berangkat sekolah waktu itu.
Seiko menundukkan kepala, diselimuti penyesalan. Perasaan kehilangan—dan
frustrasi karena tidak berada di samping orang yang dicintai di saat
terakhir—adalah sesuatu yang Keito pahami betul.
Mungkin, Seiko merasa bersalah. Mungkin, dia meyakini bahwa ada kemungkinan
lain … kemungkinan di mana neneknya bisa diselamatkan jika dia berada di sana
mendampingi mereka.
“Sampai hari ini, aku masih sering bermimpi tentang hari itu. Nenek sendirian,
memegangi dadanya, kesakitan. Tapi tak ada seorang pun datang menolong. Bukan
ibuku, bukan aku, tidak ada siapa pun …Dan saat aku terbangun dari mimpi itu,
dadaku terasa seperti disayat. Seolah-olah jantungku sendiri dicungkil keluar.
Seperti itulah rasanya. Mungkin … mungkin ini bukan mimpi ….”
Keito menyadari apa yang ingin diutarakan Seiko, dan baginya, kata-kata itu
terlalu menyakitkan untuk diucapkan langsung.
Saat ia melirik ke arah Utaha, bibir gadis itu terkatup rapat. Ia tak mengucap
sepatah kata pun. Satu-satunya yang bicara hanya Keito.
“Mungkin … yang kamu pikirkan adalah … ibumu sebenarnya sadar, tapi tidak
melakukan apa-apa … bukan begitu, Haruchika?”
Seiko membuka matanya lebar-lebar. Lalu, mengangguk. Bahkan sebelum Keito
sempat menyelesaikan kalimatnya.
◇◇◇
“Akhir-akhir
ini, perasaan itu tidak bisa aku enyahkan dari pikiranku. Aku tahu aku tidak
seharusnya meragukan ibuku, tapi … aku tak bisa … Mungkin sekarang aku justru
lebih khawatir daripada saat nenek masih hidup.
Karena aku tak bisa bertanya langsung pada ibuku soal itu.
Itulah kenapa aku takut dengan apa yang ingin disampaikan nenek. Apakah beliau
akan menyalahkan ibuku? Tidak … mungkin dia juga akan menyalahkanku. Aku juga
tak bisa membantu ibuku karena sibuk sekolah. Jadi, aku sama bersalahnya .…”
Seiko menundukkan kepala, penuh rasa malu setelah mengucapkan semua itu.
Untuk sesaat, baik Keito maupun Utaha tak mengeluarkan sepatah kata. Keito
merasa, tak pantas rasanya menanggapi luka yang begitu dalam dengan kata-kata
yang enteng.
“Namun demikian—”
Utaha akhirnya membuka suara.
“Sebagai penyampai pesan, kita harus menyampaikan kata-kata yang hilang itu
kepada orang yang dituju.”
“Bahkan jika orang yang mendengarnya menolak?”
“Kita tak tahu pasti apa yang ingin Haruko-san sampaikan. Jadi, ada kemungkinan
besar kalau yang akan kau dengar justru kebenaran yang berbeda dari apa yang
kau takutkan, Seiko-san. Dan kalaupun ternyata kekhawatiranmu memang benar …
pesan itu tetap harus disampaikan.”
“Kau bilang, kalau kata-kata yang hilang itu tak disampaikan, maka akhirnya
akan menghilang, kan? Jadi … kenapa tidak menunggu saja sampai hilang? Katanya,
ketidaktahuan itu anugerah.”
“Aku tak bisa melakukan itu. Sayangnya, memang ada beberapa pesan yang tidak
pernah tersampaikan dan akhirnya lenyap. Tapi kalau pesan itu hadir tepat di
hadapanku—aku tak akan meninggalkannya. Itulah harga diriku sebagai penyampai
pesan.”
“Utaha-san, Aikawa-kun … aku ingin mendengar kata-kata yang ingin disampaikan
oleh nenekku yang tercinta.”
Seiko memotong percakapan mereka dengan suara mantap.
Keito menatapnya sejenak seolah bertanya, "kau yakin?" Dan
Seiko mengangguk pelan, penuh keteguhan.
“Aikawa-san, bisa ceritakan pada Seiko-san keadaan kata-kata yang hilang
Haruko-san sejak kau menemukannya?”
“Baik.”
Keito menenangkan diri, lalu mulai menceritakan kejadian sejak dua hari yang
lalu sepulang sekolah.
Ia menceritakan bagaimana ia menemukan Haruko-san sedang berjongkok di pinggir
jalan, memanggilnya, lalu menggendongnya hingga sampai di depan bangunan ini.
Dan tiba-tiba saja, Utaha sudah ada di dalam toko.
“Jadi, Aikawa-kun yang menemukan nenekku ya. Terima kasih.”
“Kau juga mendengar kata 'Chikako' saat menggendongnya, bukan?
Seiko-san, apakah nama itu berarti sesuatu untukmu?”
Seiko menggumam, “mungkin,” menanggapi pertanyaan Utaha.
Dan sebelum Seiko sempat bertanya lebih lanjut,
“Biar aku yang tangani sisanya. Seiko-san, kau adalah orang yang penuh kasih.
Aku yakin, Haruko-san tak pernah melupakan itu.”
Utaha mengambil secarik kertas dari atas meja. Jenis kertas yang sama dengan
yang dipakai Michizane saat menulis puisi waka sebelumnya.
“Haruko-san.”
Utaha mengambil kuas kaligrafi dan menghadap ke Haruko. Sosok itu
memperlihatkan ekspresi yang kabur… hampa.
“Selanjutnya, mohon dengarkan baik-baik, Seiko-san.”
Keito mendorong Seiko untuk maju ke depan. Ia sendiri tetap mengamati apa yang
terjadi di belakang Utaha.
“Aikawa-san, perhatikan apa yang akan terjadi.”
Utaha mencelupkan ujung kuas ke tinta hitam dan dengan anggun menggoyangkan
tetes-tetes air dari kuas.
Ia memegang kertas di dada dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya mulai
menggoreskan kuas, mengalir begitu saja seperti dibimbing oleh sesuatu yang tak
kasat mata.
"Menggendong ibu di punggung sebagai
candaan,
dan menangis pelan setelah tiga langkah berjalan."
Pada saat yang sama, kata-kata yang keluar dari mulut itu terdengar seperti
sebuah lagu untuk mengenang seorang ibu yang telah menua. Ibu tua yang sudah
lama tidak digendong itu terasa begitu ringan—saking ringannya sampai membuatnya
ingin menangis.
Itu adalah sebuah puisi karya Ishikawa Takuboku.
Aku ingat, aku pernah mempelajarinya di kelas. Puisi itu termasuk dalam
kumpulan puisi berjudul 'Segenggam Pasir'.
Dari tempat duduknya, Keito menyapu pandangan ke seluruh ruangan, membayangkan
pantai yang mungkin menjadi simbol dari kata pasir itu.
Di pantai itu, Seiko berjalan di bawah matahari yang hampir tenggelam. Ia
melangkah dengan punggung yang membungkuk perlahan. Di punggungnya, ada sosok
Haruko. Seiko sedang menggendongnya.
Kaki neneknya sudah lemah, dan mungkin akan sulit berjalan sendiri.
Namun begitu, Seiko terus melangkah, tanpa tahu harus ke mana. Ia hanya terus
berjalan lurus ke depan, dengan sepenuh hati, meninggalkan jejak kaki di atas
pasir.
Baik Seiko yang menggendong, maupun Haruko yang digendong, keduanya terlihat
bahagia.
Mungkin … mereka sedang berjalan pulang ke rumah yang selalu mereka rindukan.
Gambaran itu lenyap sekejap, dan Keito sadar kalau Utaha masih berada di
dekatnya. Sosok kata-kata yang hilang dari Haruko sedang menatap Utaha.
Kemudian, tatapan itu bergeser ke arah Seiko. Matanya bersinar lebih kuat dari
sebelumnya.
"[Seiko]"
Kata itu diucapkan jelas dari mulut Haruko—memanggil Seiko dengan kesadaran
penuh.
"[Shouta]" "[Minoru]" "[Katsuo-san]" "[Atsuko-san]"
Nama-nama anggota keluarga itu terus menggema satu per satu seperti sebelumnya,
tapi kali ini terasa lebih kuat.
“Nenek .…”
Yang pertama menyadari perubahan makna dalam kata-kata itu adalah Seiko
sendiri.
—Eh?
“Haruchika, kau dengar itu juga?”
“Iya. Aku tak hanya mendengarnya, nenek juga ada di sana … aku bisa melihatnya.
Aku juga bisa melihatnya.”
Seiko terhuyung selangkah ke depan, lalu mendekat pada Haruko. Ia meletakkan
tangannya di wajah keriput Haruko dan membelainya dengan penuh kasih.
“[Seiko, Shouta, Minoru, Atsuko-san. Dan Katsuo-san.]”
Haruko menyebutkan nama anggota keluarganya, seolah ada yang membimbingnya
untuk mengucapkannya satu per satu.
Situasi saat ini begitu jelas terlihat oleh Keito. Kata-kata yang hilang
dari Haruko masih sama seperti sebelumnya, namun tatapannya kini menyimpan
maksud dan perasaan yang tak tertulis.
“Iya, iya, semuanya … baik-baik saja.”
Seiko mengangguk berkali-kali sambil tersenyum kecil.
“Hei, Haruchika…”
Keito yang teringat akan gambaran sebelumnya pun memberikan saran,
“Haruchika, bagaimana kalau kau menggendong Haruko-san?”
Saat ia menoleh pada Utaha, gadis itu mengangguk diam-diam seolah menyerahkan
segalanya pada Keito.
“ … Baik.”
Seiko berlutut di depan Haruko dan menunjukkan punggungnya. Kata-kata yang
hilang Haruko perlahan meletakkan tangan keriputnya yang kecil ke bahu Seiko,
seolah tubuhnya ditarik pelan.
“Hap! Rasanya aneh sekali … bisa menggendong seseorang lagi. Nenek … kau jauh
lebih ringan daripada yang kuingat. Tapi kehangatanmu … terasa sampai ke
tubuhku.”
Suaranya tercekat, tercecer dalam air mata.
“[Seiko-chan … berkat kalian semua, aku hidup dalam kebahagiaan. Terima kasih
atas segalanya. Aku tak pernah sempat mengatakannya, Tapi aku selalu
bersyukur.]”
Itulah kata perpisahan terakhir dari Haruko. Sebuah ucapan yang tak
sempat ia nyatakan, yang membuatnya berubah menjadi kata-kata yang hilang. Hanya
satu pesan. Tapi itu sudah cukup.
Setelah menyampaikan pesannya, ia tersenyum … penuh rasa lega. Namun Seiko tak
bisa mengerti sepenuhnya makna senyuman itu.
“Haruchika … Haruko-san tersenyum.”
Mendengar suara Keito, Seiko pun perlahan menurunkan neneknya dari punggungnya.
“Tolong … nenek… bicaralah lagi denganku … biarkan aku melihat wajahmu ….”
Seiko meraih tangan neneknya, memegangnya erat seolah tak ingin dilepaskan.
Ketika Seiko mempererat genggamannya, Haruko menunjukkan sedikit kerutan di
wajah—ekspresi yang samar, tapi jelas.
Itu adalah bukti bahwa kasih sayang Seiko telah sampai kepadanya.
“Terima kasih.”
Ia mengucapkannya sekali lagi, sambil tersenyum—lalu menghilang dari pandangan
Keito dan yang lainnya.
Semua itu hanya berlangsung beberapa menit. Namun, rasanya … cukup untuk seumur
hidup.
◇◇◇
“ … Nenek.”
Seiko bergumam lirih, lalu terduduk di tempat. Tadi, hanya beberapa saat
sebelumnya, ia masih mengulurkan tangan ke arah tempat di mana Haruko
berdiri—namun sia-sia.
Keito meraih tangan Seiko yang tak bisa berdiri.
Seiko menggenggam tangannya erat dan berkata,
“Orang terakhir yang menggenggam tanganku adalah nenekku, tahu? Tangannya
memang sangat rapuh … tapi genggamannya sangat kuat.”
“Hey, Haruchika,” Keito berkata, “Kurasa, saat Haruko-san tiba-tiba pingsan
karena serangan jantung, hal yang paling ingin ia sampaikan di detik-detik
terakhirnya … adalah ucapan terima kasih kepada keluarganya. Kalau begitu, kau
tak perlu mengkhawatirkan apa pun lagi.”
Di saat-saat
terakhir seseorang yang sekarat, tak akan ada kebohongan. Meski ia sudah lupa
bagaimana caranya bicara, neneknya tetap memikirkan keluarganya sampai akhir.
“ … Iya. Aku sangat bersyukur bisa melihat nenekku sekali lagi, senang bisa
mendengar suaranya. Dan hanya dengan mendengar kata-katanya saja, aku sudah
bahagia.”
Meski suaranya bergetar karena tangis, Seiko tetap melanjutkannya dengan
berani.
“Kau sudah bisa tenang sekarang?” tanya Keito, meski matanya sendiri mulai
basah.
“Iya, terima kasih. Jangan khawatir.”
“Sepertinya … digendong di punggung punya makna spesial bagi Haruko-san.”
“Kau tahu?”
“Sejak aku dengar cerita dari Aikawa-san, aku sudah menduganya. Kata-kata yang
ingin disampaikan biasanya lahir dari kenangan yang paling membekas. Dan
mungkin itu adalah kenangan paling dalam bagi Haruko-san. Kalau kau bisa
memahami hal itu, maka itu akan jadi kunci untuk menggali kata-kata yang
hilang.
Jelas aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kalian, tapi—aku yakin,
ada makna yang sangat dalam saat Haruchika-san menggendong Haruko-san di
punggungnya.”
“Awal tahun ini, pernah ada kejadian … Aku dan nenek sedang jalan-jalan,
tiba-tiba dia lupa di mana dia berada, dan mau ke mana. Aku masih bersamanya,
tapi tiba-tiba aku kehilangan jejak di tengah keramaian tahun baru. Akhirnya
aku menemukannya … tapi nenekku tidak mengenaliku. Dia malah ingin pergi ke
suatu tempat. Aku bener-bener nggak tahu harus gimana .…
Yang kupikirkan waktu itu cuma: ‘di luar dingin sekali, kita harus pulang’.
Tapi sayangnya, rumah kosong. Jadi aku memutuskan untuk menggendongnya pulang .…
Aneh ya, tapi dia tetap diam di punggungku.
Nenekku itu ringan dan kecil. Bahkan aku yang kecil ini bisa membawanya. Dia
bernapas dengan tenang … dan tertidur di tengah jalan. Berkat seseorang yang
baik hati, aku bisa sampai di rumah. Waktu itu, rasanya seperti aku yang
menjadi dewasa, dan nenekku menjadi seperti anak kecil.
Jadi … Aikawa-kun juga menggendong nenekku seperti itu ya? Terima kasih .…”
“ … Aku nggak ngapa-ngapain kok.”
Aku hanya merasa itu hal yang wajar untuk dilakukan. Tapi kalau ternyata itu
berhubungan dengan kejadian hari ini… maka aku sangat bersyukur.
“Waktu itu, aku sadar … kalau aku memang menyayangi nenekku. Walau ada suka
dukanya, tapi lebih banyak kenangan indah bersamanya.”
“Mungkin ibumu juga begitu, Haruchika. Makanya dia merawat nenekmu sepenuh
hati—sampai kamu pun bisa lihat bahwa itu adalah bentuk cinta. Aku yakin
nenekmu pun menyadari dan menghargai itu.”
“Iya … Terima kasih.”
Seiko mengusap air matanya dengan sapu tangan, lalu mengangguk.
“Waktu Utaha-san membacakan tanka tadi, aku seperti melihat Haruchika
menggendong Haruko-san di punggungnya, di pantai saat senja. Apa itu?”
“Begitu ya .…” Utaha tampak terkejut.
“Kelihatannya, Aikawa-kun … kau sudah melewati batas kepekaan biasa. Bisa dibilang,
empati dan kepekaanmu luar biasa tinggi. Kemampuan untuk membaca,
memahami—berduka atas penderitaan orang lain, dan mendoakan kebahagiaan mereka.
Itulah kenapa … kau bisa ‘melihat’ kata-kata yang hilang. Itulah kenapa kau bisa
berpikir dengan sudut pandang para kata-kata yang hilang. Kemampuan seperti itu
sangatlah penting.”
“Ah, aku tahu juga. Itu karena Aikawa-kun adalah orang yang baik.”
“ … Benarkah?”
Aku pikir diriku ini lemah… dan aku tidak yakin apakah aku benar-benar orang
yang baik.
“Iya. Kamu itu mudah tersentuh, Aikawa-kun. Tapi kamu selalu terlihat seperti
sedang menahan air mata. Menurutku, itu bukti kalau kamu orang yang baik.”
Dia menyadari itu? Keito langsung mengganti topik, seolah ingin menghindar.
“Kenapa Utaha-san membacakan puisi?”
Alasan yang digunakan sebagai dalih untuk ‘mendapatkan kembali’ kata-kata yang
ingin Haruko sampaikan adalah puisi Takuboku itu.
“Sebelumnya aku bilang, kan? Aku pernah melihat ibuku memikirkan kata-kata yang
hilang, lalu menarik keluar makna yang ingin ia sampaikan. Tapi aku tidak bisa
menggunakan metode yang sama seperti ibuku.
Karena itulah, meski aku dibandingkan dengannya, aku harus tahu lebih banyak
tentang ‘kata-kata yang hilang’. Aku ingin mendorong punggungmu, membantumu
mengingat kata-kata yang perlu disampaikan.
Aku akan menggunakan metode ini—karena kata-kata menyimpan kekuatan di
dalamnya. Dengan meminjam kata-kata dari para tokoh besar, kita bisa menyerap
makna dari kata-kata yang hilang. Dengan membacanya, kita bisa mengingat kembali.
Itulah caraku, sebagai seorang pengirim pesan.”
“Kalau begitu … aku harus melakukan apa?”
Pertemuan dengan kata-kata yang hilang dari Shizuka sepertinya akan
segera terjadi. Apa aku juga harus menggunakan cara yang sama seperti Utaha
untuk bisa mendengarnya? Atau ...?
“Metodenya berbeda-beda, tergantung orangnya. Kamu harus menemukannya sendiri, Aikawa-san.”
Jawaban Utaha terasa singkat dan to the point, bahkan agak datar. Tapi Keito
merasa … mungkin suatu saat ia memang harus mencari jawabannya dari dirinya
sendiri.
Begitu ia melangkah keluar, langit sudah sepenuhnya gelap.
“Lain kali, tunjukkan aku foto-foto lainnya ya.”
“Aku akan selalu menunggumu.”
“Haruchika, kamu bisa pulang sendiri?”
“Un. Aku nggak sepenuhnya baik-baik saja … tapi ya mau gimana lagi, kan? Mungkin
mama bakal marah begitu aku sampai rumah, tapi dibandingkan dengan apa yang
terjadi hari ini … itu bukan apa-apa. Begitu aku pulang, aku akan coba bicara dengan
mama lagi.”
Seiko berjalan lebih dulu ke arah halte bus dan pulang.
Utaha menatap Keito yang masih berdiri di tempat.
“Aikawa-san, terima kasih untuk hari ini.”
“Seharusnya aku yang bilang begitu. Suatu hari nanti … apa aku bisa melihat
Shi-chan juga?”
Akankah tiba saat di mana Shizuka bisa muncul di hadapan Keito dan berbicara
padanya, seperti Haruko?
Apa sebenarnya kata-kata yang hilang Shizuka ingin sampaikan pada Keito?
Dan... benarkah Keito adalah orang yang dimaksud?
Hal itu masih belum jelas.
Kalau ia mengingat kembali kejadian di hari itu… bisa jadi bukan sesuatu yang menyenangkan.
Mungkin saja … Shizuka ingin mengungkapkan dosa Keito.
“Pasti.”
Utaha menjawab singkat, dan Keito berkata pada dirinya sendiri, saat Utaha
melanjutkan,
“Tak ada kebohongan dalam kata-kata yang dititipkan oleh ‘kata-kata yang
hilang’. Di sana hanya ada kebenaran. Di dunia yang penuh dengan kepalsuan ini,
aku ingin terus menjadi seorang pengirim pesan agar bisa menyampaikan perasaan
mereka. Akhirnya, aku bertemu dengan pengirim pesan lain selain ibuku. Karena
itu … mulai sekarang, tolong terus bantu aku.”
Ucapannya lebih terdengar seperti gumaman pada dirinya sendiri daripada
permintaan kepada orang lain.
Di sekitar area [Tsukuyusa], banyak restoran berdiri, dan setelah matahari terbenam, lebih banyak
orang yang melintasi jalan daripada di siang hari. Orang-orang mengobrol sambil
berjalan pulang dari tempat kerja, di bawah cahaya lampu jalan. Di tengah
pemandangan biasa itu, hanya Keito dan Utaha yang tetap diam—seolah terpisah
dari dunia sekitar.
“Oke.”
Keito mengangguk, seolah baru teringat sesuatu.
Utaha pun menunggu persetujuan yang serupa, lalu pergi meninggalkan tempat itu.
◇◇◇
Setelah
beberapa waktu, Keito membawa Seiko untuk bertemu Utaha sekali lagi.
Keito sendiri masih menunggu datangnya kata-kata yang hilang dari
Shizuka, dan karena itu ia hampir setiap hari datang ke [Tsukuyusa].
Namun Seiko juga—sejak hari itu—terus datang.
Ketika mereka berdua berboncengan di sepeda yang sama, Keito kembali kehabisan
napas.
“Aikawa-kun, kayaknya kamu perlu latihan fisik deh.”
“Itu sebabnya aku bilang kamu mending naik bus aja.”
Seiko kembali mengucapkan terima kasih pada Utaha, dan Utaha hanya menjawab
dengan, “Tidak perlu mengatakannya padaku.”
“Haruchika, kamu sudah bicara dengan keluargamu soal kejadian waktu itu?”
“Aku nggak ngomong langsung, sih. Aku nggak yakin bisa menjelaskannya dengan
baik. Tapi … aku sempat nanya sedikit ke mama. Dan sepertinya, mama merasa lebih
bersalah daripada yang aku bayangkan … karena nggak menyadari perubahan nenek di
hari itu.
Katanya, dia masih sering bermimpi tentang hari saat nenek meninggal. Aku juga
begitu. Aku terus berpikir … apa ada sesuatu yang bisa aku lakukan supaya
beliau bisa diselamatkan?
Mau berduka sedalam apa pun, rasanya nggak cukup. Mau menyesal seberapa pun,
rasanya nggak akan selesai.
Aku sadar … mama juga merasa terjebak dalam perasaan itu. Tanpa sadar, aku mulai
memikirkan hal-hal yang menyedihkan lagi, dan kali ini … aku merasa sedih
banget.”
Keito sangat memahami perasaan ibu Seiko.
Mimpi masa lalu yang tiba-tiba datang itu terasa seperti serangan batin. Ketika
hati sedang rapuh, semuanya terasa jauh lebih menyakitkan. Dia ingat, Seiko
sempat bilang hal yang sama beberapa waktu lalu.
“Akan lebih baik kalau mama ada di sana hari itu ….Tapi ya, nggak bisa
disalahkan juga, kan? Itu pertama kalinya aku lihat ekspresi wajah seperti itu
dari mama. Selama ini, mama selalu memposisikan dirinya sebagai seorang [ibu]. Tapi kenyataannya kan nggak sesederhana itu.
Dia baru menyadari … bahwa dia juga cuma manusia biasa. Mungkin selama ini, aku
juga dengan seenaknya menaruh semua tanggung jawab ke sosok [ibu]. Mulai sekarang, aku akan coba pakai kesempatan ini
buat pelan-pelan ngomong soal kenangan tentang nenek ke mama.”
Mulai dari titik ini, bukan lagi ranah Utaha atau Keito untuk ikut campur. Ini
adalah perjalanan yang harus dilalui sendiri oleh keluarga Haruchika.
Namun bagi Keito, bisa membantu menciptakan langkah pertama itu… adalah
pengalaman yang sangat berharga.
Atas permintaan Seiko, dia pun berjalan pelan mengamati bagian dalam toko. Keito
sendiri sudah sering melihat lukisan-lukisan di sana, tapi dia merasa … kalau
melihatnya bersama Seiko, mungkin akan terasa berbeda.
Dan memang benar—cara pandang Seiko terhadap lukisan berbeda dari dirinya. Itu
terasa segar dan membukakan mata. Momen paling berkesan adalah saat mereka
berdiri di hadapan lukisan Shizuka.
Seiko yang sudah tahu tentang kata-kata yang hilang, mengaku kalau ia merasakan
sesuatu dari lukisan potret itu—lukisan yang dibuat oleh ibunya Utaha.
Namun tidak ada yang memberitahu Seiko bahwa gadis dalam lukisan itu adalah
teman masa kecil Keito.
Tentu saja, Keito tidak bisa mengatakannya.
“Cantik banget ya … Kurasa, dia seumuran kita?”
Keito sekarang sudah setahun lebih tua dibandingkan usia Shizuka saat ia
meninggal. Itulah sebabnya, gadis dalam lukisan itu kini terlihat setahun lebih
muda dari dirinya.
Seiko menatap lukisan itu dari berbagai sudut—dari depan, dari samping, dari
jarak dekat dan jauh—dengan penuh perhatian.
“Kamu suka banget sama lukisan itu?”
“Bukan cuma lukisan ini, tapi menurutku … lukisan-lukisan Mari-san itu misterius
banget. Ekspresi wajahnya bisa berubah tergantung dari sudut mana kita
melihatnya. Kalau dilihat dari depan, menurutku … dia tampak seperti sedang
sedih. Seperti sedang menunduk.”
“Masa, sih?”
Keito berdiri di samping Seiko dan ikut menatap lukisan itu. Dari posisinya, ia
bisa melihat ekspresi Shizuka yang tidak pernah ia ingat—ada jejak kesedihan di
wajah itu.
“Tapi coba lihat dari sudut yang agak miring … kelihatan berbeda, kan? Seolah-olah
dia terlihat tenang … bahkan malu-malu. Kayak … gadis di lukisan ini … hidup.”
Seiko
mengikuti Keito berdiri di posisi yang sama. Mungkin karena pencahayaan yang
lembut, tapi memang—dari sudut itu, lukisan itu terlihat seperti sedang
menunduk malu. Persis seperti yang Seiko katakan.
“Begitu, ya ….”
Aku hanya melihatnya dari satu sisi, berulang kali. Mungkin karena itulah … aku
tak pernah melihat ekspresi lainnya.
Mengubah sudut pandang. Hal itu sebenarnya begitu jelas, tapi mudah terlupakan.
Apakah karena itulah gambar-gambarku selama ini terasa kaku? Saat aku mengubah
sudut pandang seperti ini, ekspresinya benar-benar terlihat berbeda.
Meskipun begitu, tetap saja—di sudut mata Shizuka, terlihat jelas ada jejak air
mata yang tak bisa dihapus.
"Aku rasa, orang-orang yang melihat lukisan-lukisan ibu Utaha sedang
menilai lukisan itu. Itu adalah lukisan yang memantulkan isi hati para
penontonnya. Meskipun orang yang digambar itu bukanlah 'kata yang hilang', tapi
orang biasa, aku merasa hasilnya akan tetap sama."
"Apa maksudmu?"
"Aku merasa ... aku sedang melihat diriku sendiri melalui sosok-sosok yang
digambarkan dalam lukisan itu. Mungkin ibu Utaha tidak berniat begitu. Tapi
perasaan yang sama juga kurasakan ketika melihat lukisan Haruchika."
"Itu pemikiran yang menarik. Jika ibuku tidak menjadi seorang pengirim
pesan dan memilih jalan sebagai seniman, aku yakin akan ada lebih banyak orang
yang datang melihat lukisan-lukisannya. Kalau kalian berdua menyukai karya
ibuku, aku yakin beliau juga akan sangat senang."
"Aku akan ajak anggota klub seni datang lain kali. Aku yakin
lukisan-lukisan ini bisa jadi referensi yang bagus untuk semuanya."
"Tentu. Aku akan menunggu."
Apakah hari itu benar-benar akan datang? Keito bertanya dalam hati, sementara
mereka berdua terus mengobrol.
Apakah terlalu egois jika berharap banyak orang mengenal tempat ini—tempat di
mana lukisan Shizuka dipajang?
◇◇◇
Ia bermimpi.
Di bawah selimut kegelapan—gelap dan dalam seperti dasar lautan—dua Shizuka
berdiri di sana.
Yang satu berdiri diam, sementara yang lainnya mulai melangkah. Dan Keito
menyaksikan keduanya dari kejauhan.
Shizuka yang berhenti tampak sedikit bahagia. Ia menunggu dengan malu-malu,
seolah sedang menantikan sesuatu... atau seseorang.
Sementara itu, ekspresi Shizuka yang mulai berjalan terlihat ragu-ragu, dan
wujudnya perlahan-lahan memudar, tenggelam dalam gelap yang suram.
Pada akhirnya, yang tersisa hanyalah pipinya—terselip di antara genangan air
mata.
Saat terbangun, Keito termenung.
Dua Shizuka.
Mungkin ia bermimpi seperti itu karena perkataan Seiko kemarin. Keduanya adalah
Shizuka yang sama, tapi entah kenapa terasa berbeda dari Shizuka yang ia kenal.
Mungkinkah itu adalah mimpi yang memperlihatkan keinginan terdalamnya?
Posting Komentar