OxB0k9cwmLdjse93ShCWJA620ioxDFw9UULpRrkC
Bookmark
Featured Post

Utaha-san wa Betsu no Uta o Yomi Hajimeru - Afterword

Afterword Translator: Canaria Proofreader: Canaria Salam kenal semuanya. Namaku Kashida Leo. Aku menulis kata penutup ini di sebuah kamar di ru…

Utaha-san wa Betsu no Uta o Yomi Hajimeru - Chapter 1

 

Chapter 1: --Harum Bunga Prem--

Translator: Canaria
Proofreader: Canaria



Aku sedang bermimpi tentangnya.


Bahkan ketika kau berniat untuk melupakannya, mimpi itu akan terus menusuk bagian paling rapuh di hatimu—tanpa ampun.


Sesaat sebelum aku terbangun,


"Aku sudah menunggu begitu lama."


Aku merasa
seperti dia sedang membisikkan kalimat itu.


Kepalaku terasa nyeri sepanjang waktu saat pelajaran berlangsung—mungkin karena situasi yang terasa menegangkan.


Bahkan setelah jam sekolah berakhir, rasa sakit itu belum juga hilang.


“Aikawa-kun, ayo ke klub.”


Haruchika Seiko memanggil Keito yang berdiri dari kursinya dengan gerakan lambat.


“Maaf, aku pulang dulu. Nggak enak badan.”


“Kamu nggak apa-apa?”


“Bukan hal besar, cuma sakit kepala.”


Musim hujan telah berlangsung cukup lama, dan hampir setiap hari hujan turun. Hari ini pun, sejak pagi awan tampak menggantung rendah—jadi bisa dipastikan hujan akan turun. Kalau bisa, Keito ingin pulang lebih awal.


“Mau kuantar pulang?”


“Nggak usah repot. Lagipula arah rumah kita juga beda, kan?”


“Itu sih benar ….”


“Kamu cepat pergi ke klub. Wakil ketua nggak boleh telat, kan? Tolong sampaikan ke yang lain juga soal kondisiku.”


“Oke, jaga diri baik-baik dan langsung istirahat di rumah, ya! Ngerti?!”


“Iya, ngerti. Sampai ketemu besok.”


Ketika Keito melambaikan tangan pelan, Seiko masih tampak ragu, namun akhirnya menjawab juga,


“Sampai ketemu besok.”


Lalu ia pun meninggalkan ruang kelas.


Setelah menunggu beberapa saat, mengambil tasnya, dan melangkah ke lorong,


“Satu hal lagi, hey Keito.”


Takumi, yang keluar dari kelas sebelah, bertemu dengannya.


“Kenapa wajahmu murung begitu? Kamu baik-baik saja?”


“Aku nggak apa-apa. Jangan khawatir.”


“Sepertinya Haruchika-san lagi jalan ke klub. Kau yakin gak mau ikut?”


“Hari ini nggak dulu.”


“Begitu ya …. Kalau gitu, sampai nanti.”


Keito memandangi punggung Takumi yang ramping tapi kuat saat temannya itu berlalu. Takumi adalah anak yang sudah lama bermain bisbol. Pasti masih ada banyak latihan dasar yang harus dilakukan, meski hujan mungkin akan segera turun.


Bahkan setelah jam pelajaran usai, tubuhnya tetap aktif bergerak. Untuk Keito yang tidak akrab dengan olahraga, hal seperti itu terasa jauh dari realita.


Ia mengganti sepatunya, lalu menuju ke sepeda. Dengan awan kelabu yang menutupi langit, rasanya hujan benar-benar akan datang sebentar lagi. Dan kalau turun, kemungkinan akan cukup deras.


Keito mulai mengayuh sepedanya, menerima kelembapan angin yang menerpa wajahnya, sambil menuju pulang.


◇◇◇


Kota Soumiya, tempat tinggal Keito, adalah kota provinsi yang memiliki sejarah kuno. Meskipun terkenal karena warisan sejarahnya, kenyataannya kota ini hanya berkembang secara moderat—dan kini, perlahan-lahan mulai menua, seperti kota-kota lain di era modern ini.


Sungai Nagase membelah kota di bagian tengah. Menjulang di sisi hulu sungai, lebih dari tiga ratus meter di atas permukaan laut, berdiri Gunung Kinpo, tempat di mana Kastil Somiya didirikan di puncaknya. Tiga elemen inilah—sungai, gunung, dan kastil—yang menjadi simbol kota ini, sekaligus saksi bisu sejarah panjangnya.


Rumah tempat Keito tinggal terletak di sisi utara Sungai Nagase.


Sementara itu, sekolahnya—SMA Kikusui—berada di sisi selatan sungai. Ia harus mengayuh sepeda setiap hari untuk menempuh perjalanan itu. Waktu tempuhnya kira-kira dua puluh menit.


Dan tentu saja, untuk menyeberangi sungai, ia harus melalui jembatan. Jembatan yang cukup besar untuk membentang di atas sungai, dengan tanjakan dan turunan yang cukup menguras tenaga—sesuatu yang memang menantang, apalagi bagi orang seperti Keito.


Mengayuh sepeda saat menuruni tanjakan memang terasa mudah. Tapi saat harus mendaki, dibutuhkan stamina yang tidak sedikit.


Sebenarnya ada pilihan lain untuk berangkat ke sekolah, yaitu naik bus. Tapi bus di pagi hari dan sepulang sekolah selalu penuh sesak. Akhirnya, tetap saja butuh tenaga. Karena itu, Keito memutuskan lebih baik naik sepeda saja.


Saat melintasi jembatan, ia memperhatikan aliran jernih di bawahnya. Aliran Sungai Nagase yang berubah mengikuti musim tampak menawan, dan ketika menengadah sedikit, hijaunya Gunung Kinpo bisa terlihat jelas dari tempat ini. Momen itu hanya berlangsung satu hingga dua menit saja, tapi bagi Keito, itu sudah cukup menjadi penyegar di tengah perjalanan pergi dan pulang sekolah.


Musim hujan membuat volume air sungai meningkat drastis. Hujan yang mengguyur sejak malam kemarin membuat arusnya cukup deras, hampir menyerupai banjir lumpur.


Keito sendiri lahir di Tokyo. Tapi karena pekerjaan ayahnya, ia pindah ke Soumiya saat masih kecil.


Jadi, secara teknis, kota ini bukan tempat kelahirannya. Namun Keito menyukai kota ini.


Memang benar, dulunya kota ini punya kawasan pertokoan yang kini mulai sepi—banyak toko yang hanya menyisakan pintu besi yang tertutup rapat. Industri utama daerah ini pun telah lama meredup. Kini, Soumiya hanya menjadi kota komuter bagi Narumi, kota besar di sekitarnya.


Namun meskipun begitu, transportasinya masih cukup memadai, ada tempat untuk bermain, dan sisa-sisa alam yang masih tersisa cukup untuk menikmati hari-hari yang damai.


Banyak teman sekelasnya berkeinginan untuk pindah ke Tokyo segera setelah lulus nanti.


Keito sendiri belum tahu apa yang akan ia lakukan di masa depan. Tapi ia merasa, meskipun nanti kuliahnya di luar prefektur, akan menyenangkan rasanya jika bisa pulang ke kota ini.


SMA Kikusui adalah salah satu sekolah negeri unggulan di prefektur ini—sekolah dengan sejarah panjang yang berdiri megah di kaki Gunung Kinpo. Namun, kalau membicarakan sejarahnya yang panjang, itu juga berarti sekolah ini sudah tua. Tapi baru-baru ini mereka menyelesaikan proses penguatan struktur tahan gempa, dan jendela besar yang menghadap ke selatan memungkinkan sinar matahari masuk dengan leluasa.


Kadang-kadang, cahaya itu terlalu menyilaukan. Tapi selain itu, tidak ada keluhan yang berarti.


Menjaga jarak yang wajar dari teman-teman sekelasnya, Keito biasanya menghabiskan waktu di klub seni tempat ia bergabung, melukis dan membuat sketsa. Hari ini ia harus absen karena merasa kurang sehat, tapi itulah keseharian Keito.


Tidak ada kejutan besar dalam hidupnya. Ia menjalaninya dengan tenang, normal, seperti seekor ikan di air. Itulah cara hidup yang telah dipilih oleh Keito.


◇◇◇


Setelah melewati tanjakan di jembatan, rumahnya sudah tak jauh lagi.


Sakit kepalanya entah sejak kapan sudah mereda, namun bayangan mimpi yang ia alami pagi tadi masih membekas di pikirannya. Begitu sampai rumah, Keito ingin segera tidur. Tanpa mimpi. Tanpa apa pun.


Angin dari arah utara membawa aroma hujan yang khas. Bau itu bercampur dengan wangi tanah merah dan rumput liar sebelum benar-benar turun.


Kelembapan udara menempel pada tubuhnya, membuat kayuhan kakinya terasa berat walaupun ia masih mengayuh dengan stabil.


Tanpa sadar, ia menghela napas.


Sayangnya, hujan pun mulai turun. Dari balik awan hitam pekat yang menutupi langit, setetes air pertama jatuh tepat di ujung hidungnya.


Dan di sana, seorang nenek sedang jongkok di pinggir jalan.


Ah … aku melihat  <<Bayangan>>  lagi.


Perempuan tua itu mungkin berusia sekitar tujuh puluh tahun. Kira-kira seumuran neneknya.


Rambutnya yang memutih tampak kusut, kotor, dan tak terawat. Pakaian yang ia kenakan sebenarnya bersih, tapi tampak tidak biasa—terlalu tebal untuk musim panas, padahal sekarang sudah bulan Juni.


Ia memeluk lututnya, duduk di pinggir jalan sambil menatap langit yang kelabu.


Orang-orang lain berlalu begitu saja, tidak peduli hujan mulai membasahi wajah mereka. Namun perempuan tua itu tak bergerak, seolah tak sadar akan air hujan yang jatuh.


Keberadaannya begitu samar, seperti sudah melebur bersama hujan. Jika Keito terus mengayuh dan melewati jalan ini, mereka tak akan pernah bertemu lagi. Dan mungkin, memang hanya sampai di situ saja.


Sejak musim semi ini dimulai, Keito kadang melihat sosok seperti itu—<<Bayangan>>.


Wujud dari <<Bayangan>> itu beragam—ada yang anak laki-laki dan perempuan, ada pula pria paruh baya hingga orang tua.


Sekilas mereka tampak hidup. Namun nyatanya, tak ada satu pun orang selain Keito yang bisa melihat keberadaan mereka.


Contohnya, pernah ada seorang anak laki-laki yang menangis di tengah jalan. Bocah kecil itu tampak seperti belum masuk sekolah dasar. Apa ia terpisah dari orang tuanya? Terjatuh? Atau kehilangan mainan kesayangannya?


Namun, semua orang berlalu begitu saja tanpa menoleh sedikit pun. Keito mendekati anak itu dengan perasaan heran dan sedikit kesal pada sikap sekitar.


Anak itu tetap berjongkok saat seorang siswi SMA—yang juga seperti Keito—tampak menyapanya dan berdiri di sampingnya dengan ekspresi bingung.


Anak itu terus menangis tak peduli berapa kali dia ditanya.


Tak terlihat siapa pun yang bisa jadi wali atau keluarganya, Keito berinisiatif membawanya ke kantor polisi terdekat.


Namun, setelah berjalan beberapa saat… anak itu tiba-tiba menghilang begitu saja.


Keito melihat sekeliling dalam kepanikan, tapi bocah itu sudah tidak ada di mana pun. Bahkan tak ada jejak keberadaannya sedikit pun.


Kalau dia hanya salah lihat… maka berarti yang mulai gila itu adalah Keito sendiri. Tapi ia tak mungkin melupakan hangatnya tangan kecil yang sempat ia genggam. Meskipun begitu, kenyataannya hanya Keito yang bisa melihat mereka.


<<Bayangan>> itu tidak selalu muncul. Tapi Keito memang terkadang melihat mereka. Dan saat mereka menghilang, tidak ada yang bisa ia lakukan.


Berkomunikasi atau memahami perasaan <<Bayangan>> bukanlah sesuatu yang mungkin. Mereka hanya menunjukkan ekspresi terbatas—menangis sedih, bergumam pelan seolah mengucap monolog tanpa suara, atau diam membisu.


Meskipun Keito mencoba berbicara, mereka tak pernah membalas. Tak ada reaksi.


Awalnya, Keito berpikir mereka itu mungkin hantu. Tapi anehnya, ia tak merasa takut. Yang ia rasakan hanyalah rasa iba, diam-diam menyedihkan, atas sosok <<Bayangan>> yang seperti telah ditinggalkan seseorang.


Keito tahu, sebaiknya ia tidak terlibat terlalu jauh.


Lagipula, tak ada orang lain yang bisa melihat mereka. Maka ketika ia menyapa mereka, yang tampak hanyalah seorang remaja yang berbicara sendirian—aneh di mata orang lain.


Namun tetap saja, membiarkan mereka menangis atau berada dalam kesulitan … rasanya menyakitkan.


Rasanya seperti saat kau melihat seekor anak kucing kecil di pinggir jalan atau di lahan kosong.


Aku juga tahu bahwa yang bisa kulakukan hanyalah mendoakan agar mereka tetap baik-baik saja.


Namun begitu――pada akhirnya, Keito tidak bisa memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Yang membedakan mereka dari kucing adalah kenyataan bahwa mereka terlihat seperti manusia.


Hari ini pun, Keito turun dari sepedanya dan mendekati <<Bayangan>> nenek tua itu.


“Ada apa, Nek?”


Nenek tua yang tengah berjongkok itu menoleh ke arah Keito, namun dari ekspresinya terlihat bahwa dia bahkan tak mengenali keberadaannya sendiri.


Seperti biasa, tentu saja tak ada jawaban.


Kalau saat itu dia menghilang, Keito akan menganggapnya sudah takdir.


Beberapa <<Bayangan>> yang pernah menyapanya sejauh ini juga telah lenyap entah ke mana. Apa yang terjadi pada mereka setelah itu, tetap menjadi misteri.


Namun sekarang, Keito tidak akan tega membiarkan seorang nenek tua duduk diam di tengah hujan, bahkan jika dia bukan manusia sungguhan. Setidaknya, ia ingin menemaninya sampai sosok itu menghilang.


Hujan terus turun.


Keito berdiri diam sambil memayungi si nenek dengan tangan kirinya.


Tetesan air menetes dari lengan pendek bajunya, menelusuri kulitnya hingga ke ujung jari.


Setelah beberapa saat, sang nenek perlahan-lahan berdiri. Gerakannya pelan, seolah tubuhnya sudah berat dan renta. Setelah berhasil berdiri, ia mulai berjalan—langkahnya goyah dan tak mantap.


Keito menaruh sepedanya di pinggir jalan dan menguncinya.


Arah tujuan nenek tua itu adalah sebuah kawasan kota lama yang terletak di bawah jembatan. Pertama, dia berbelok ke kiri, lalu menoleh sejenak ke arah bendungan kecil Sungai Nagase di sebelah kanannya, sembari terus berjalan.


Jalan itu melengkung ke kiri, menjauh dari sungai. Di sepanjang jalan berdiri deretan rumah-rumah tradisional.


Seorang perempuan paruh baya tampak sedang jalan-jalan sambil memegang payung dan menggiring anjing semak besar di belakang nenek itu. Namun baik si wanita maupun anjingnya tidak menyadari keberadaan si nenek tua sedikit pun.


Apakah nenek tua di depannya itu familiar dengan jalanan ini?


Meskipun langkahnya lambat seolah merangkak, tidak tampak adanya keraguan dalam setiap langkahnya.


Pemandangan kota yang memadukan rumah bergaya Jepang dan deretan toko-toko tua menyuguhkan pesona tersendiri. Beberapa restoran terlihat memanfaatkan bangunan klasik untuk menciptakan suasana yang tenang dan menenangkan.


Tanpa menyadari bahwa Keito mengikutinya dari belakang, nenek itu terus berjalan lurus ke depan, tanpa sedikit pun menunjukkan minat pada toko-toko di sepanjang jalan.


Apa sudah sekitar sepuluh menit mereka berjalan?


Normalnya, Keito hanya butuh lima menit untuk jarak sejauh ini. Tapi berjalan dengan kecepatan yang sangat lambat ternyata jauh lebih melelahkan dari yang dibayangkan.


Saat nenek itu kembali berhenti, ia pun berjongkok lagi di pinggir jalan.


Mungkin saja, ia memang selalu mengulang siklus ini: berjalan, lalu jongkok. Dari mana sebenarnya dia berasal? Dan ke mana dia ingin pergi? Apakah dia punya tujuan?


Di saat itu, Keito mengambil tindakan yang tak terduga.


Ia menggendong nenek tua itu di punggungnya. Setengah memaksa, Keito mengangkat tubuhnya yang berjongkok.


Dia tidak terlalu berat, tapi juga bukan tanpa bobot. Sekitar seberat anak kecil. Di balik pakaiannya, Keito bisa merasakan kelembutan tubuh si nenek dan hangatnya ujung jari yang menyentuhnya.


"Apakah begini baik-baik saja?"


Langkah pendek yang telah mereka tempuh tadi kini terasa jauh lebih lurus dan jelas ke arah depan.


Tak ada jawaban. Tapi Keito terus melangkah maju.


Dia bisa merasakan napas si nenek di telinganya. Seolah dia benar-benar hidup. Namun Keito tahu betul, kenyataannya tidaklah seperti itu.


Berapa jauh lagi harus ia berjalan?


Saat Keito mulai bingung, si nenek hanya menjawab dengan sebuah helaan napas.


"[Chikako]
"


Saat mendengar suara itu untuk pertama kalinya, Keito merasa dadanya seakan diremas dari dalam. Lemas. Lirih. Seperti seluruh tenaga dihisap oleh satu kata itu saja.


◇◇◇


Mereka tiba tepat di depan sebuah bangunan saat nenek tua itu mulai berbicara.


Nuansa barat pada bangunan itu terasa berbeda dari rumah-rumah tradisional Jepang di sekitarnya, dengan dinding berwarna putih susu yang tampak relatif baru dan mencolok.


Bangunan dua lantai yang nyaman ini memancarkan atmosfer tenang yang secara ajaib menyatu dengan lingkungan sekitar.


Di sisi kiri dari pintu kayu berat itu, terdapat sebuah ruang pamer kecil dengan kaca yang dihiasi satu lukisan, seolah menyambut para tamu. Lukisan itu menggambarkan beberapa bunga biru kecil yang sedang mekar.


Jika dilihat ke atas, tertulis juga kata
[Tsuyukusa] pada papan nama kayu bangunan tersebut.


Itu berarti bunga yang tergambar dalam lukisan itu kemungkinan besar adalah Tsuyukusa — bunga Asiatic dayflower (Commelina communis). Aku sendiri tidak begitu familiar dengan bunga hias, tapi sekarang setelah dilihat-lihat, memang terlihat seperti bunga yang singkat umurnya, seperti embun pagi yang segera lenyap.


Tirai di lantai dua tertutup rapat, jadi tak bisa melihat bagian dalamnya. Namun, kemungkinan besar bangunan ini adalah tempat tinggal si pemiliknya juga.


Keito kembali menatap lukisan bunga tsuyukusa itu.


Tiga bunga biru manis yang dilukis dengan cat minyak. Dua kelopak besarnya mekar dan terbuka, menggantung seolah menundukkan kepala. Daunnya hijau terang, dan bunganya berwarna biru cerah. Sebuah lukisan yang sederhana, namun menyentuh hati.


Di manakah bunga ini mekar? Seperti apa cuaca saat lukisan ini dibuat? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak dijawab oleh lukisan ini. Semuanya dibiarkan terbuka, menyerahkan interpretasinya kepada kepekaan si penonton.


Rasanya ingin melihat karya-karya lain dari orang yang melukis ini.


Di sudut lukisan, terdapat tanda tangan berupa huruf “M”. Mungkin itu inisial, tapi tetap saja—tak memberikan informasi berarti.


Dan kemudian—beban di punggungnya menghilang.


Keito akhirnya sadar bahwa nenek tua itu telah menghilang. Rasa sepi muncul lebih dulu daripada rasa lega. Lalu muncul penyesalan, karena ia merasa seharusnya bisa melakukan lebih.


Ia jadi penasaran dengan rumah yang ada di depannya. Mungkin saja nenek tua itu berada di dalam. Entah apa yang ada di dalam rumah itu, tapi kemungkinan besar ada sebuah toko—nama di papan tadi sepertinya benar-benar menggambarkan tempat ini. Mereka sepertinya tidak melarang pengunjung, dan kebetulan Keito juga membawa uang.


Saat ia membuka pintu yang mengeluarkan suara berderit, bunyi lonceng menyambutnya—dengan nada yang nyaring namun suram.


Suara hujan yang deras terdengar dari belakang. Entah bisa dibilang untung atau tidak, tapi hujan malah bertambah lebat saat ia melangkah masuk.


Ruangan diterangi cahaya lampu berwarna oranye terang, namun tak tampak seorang pun. Tak ada suara yang menyambut Keito, hanya suara hujan deras yang menggema dengan kasar.


Separuh ruangan di hadapannya dipenuhi dengan empat meja dan kursi. Sepertinya ini adalah sebuah kedai kopi.


Bagian interior lainnya dibagi oleh sebuah partisi, dan tidak bisa dilihat langsung. Di bagian atas dinding terlihat retakan, dan cahaya menyinari lewat celah tersebut. Di sisi kanan partisi, ada pintu masuk menuju bagian dalam bangunan. Tak ada pintu yang menutupnya, jadi tampak seperti bisa dimasuki begitu saja.


Namun, jika tidak ada staf di tempat ini, maka masuk ke dalam akan dianggap sebagai menerobos. Keito ragu apakah ia boleh tetap berada di sana.


“Permisi.”


Ia berseru cukup keras beberapa kali, tapi seperti yang diduga—tak ada reaksi.


Ia sempat berpikir untuk pulang, namun lukisan di dinding masih membekas di benaknya.


Ada total sembilan lukisan yang menghiasi ruangan—tiga di sisi kiri, tiga di sisi kanan area kedai kopi, dan tiga di dinding belakang.


Tampaknya lukisan di atas meja itu adalah karya dari salah satu seniman yang diberi nilai lima oleh seseorang, sementara lukisan lainnya dinilai empat oleh orang lain. Masing-masing memiliki ciri khas tersendiri, tapi rasanya semua cocok untuk dinikmati dari kejauhan.


Momen ketika ia dikritik adalah momen yang menentukan bagi Keito. Ia pun mendekati lukisan-lukisan itu, membawa salah satunya lebih dekat untuk diamati.


Dari semua seniman, salah satunya adalah orang yang melukis bunga tsuyukusa yang dipajang di meja, dan meninggalkan tanda ‘M’. Dalam lukisan yang mendapat nilai lima itu, lukisan potret mendapat tiga poin, sedangkan lukisan benda mati (still life) dan pemandangan masing-masing mendapat satu poin.


Namun, objek dalam lukisan potret dan latar belakangnya terkesan acak, sehingga tidak tampak ada kesatuan yang utuh.


Ekspresi wajah yang tergambar memang sama-sama lemah, namun menariknya, dari sedikit variasi pada gradasi warnanya, seseorang bisa menafsirkan pikiran si model.


Apa yang sebenarnya mereka pikirkan? Itu pun bergantung pada penikmat lukisan.


Keito kembali teringat pada sosok <<Bayangan>> yang sesekali ia lihat—seperti saat ia melihat nenek tua itu tadi.


Orang yang melukis gambar ini memiliki keberadaan yang serupa dengan <<Bayangan>> itu. Ia terus menatapnya, sementara hatinya bergetar. Lukisan ini penuh dengan kegelisahan.


Lukisan pemandangan yang menggambarkan hutan lebat memberikan kesan yang sama dengan lukisan still life berupa beberapa buku yang ditaruh di atas meja.


Salah satu pelukis lainnya menandatangani karyanya dengan menuliskan huruf ‘
’ di dalam sebuah kotak. Melihat dari tanda tangan itu, mungkin pelukisnya laki-laki? Lukisan pemandangan dengan sentuhan halus itu mendapatkan nilai empat.


Dengan suasana cerah seperti satoyama—daerah pedesaan Jepang yang penuh kedamaian—lukisan yang menggambarkan sudut kota, dan induk kucing bermain bersama anaknya, terasa begitu cocok dengan selera Keito.


Saat melihat lukisan-lukisan itu, Keito menjadi tertarik pada pintu masuk menuju bagian belakang. Ketika ia mengintip ke dalam, pintu itu ternyata merupakan lorong dengan lukisan-lukisan yang dipajang di sepanjang dinding. Seperti ruang pameran.


Haruskah ia masuk ke sana? Rasanya canggung untuk melangkah lebih jauh, apalagi saat tidak ada orang.


Haruskah aku pulang saja?


Tepat saat ia berpikir seperti itu, terdengar suara keras yang memecah kesunyian di dalam toko.


Terkejut, Keito mendongak. Tapi tak ada siapa-siapa di sana. Sepertinya suara itu berasal dari atas—dari lantai dua.


Entah kenapa, suara itu terasa seperti sedang berkata padanya: “jangan pulang dulu.”


Akhirnya, Keito melangkah maju.


Penerangan di dalam lebih redup dibandingkan bagian kafe, membuatnya bisa melihat lukisan-lukisan dengan lebih tenang dalam cahaya oranye hangat.


Seperti yang diduga, pameran ini berisi karya dari dua orang pelukis sebelumnya. Namun, terdapat begitu banyak lukisan dengan tanda tangan ‘
’.


Setelah merasakan kesan yang jelas dari beberapa lukisan itu, suasana hatinya terguncang lagi saat lukisan-lukisan dengan tanda tangan ‘M’ muncul. Perbedaan nuansa itu sangat terasa.


Saat berhenti di depan tiap lukisan, suara langkah kakinya sendiri terdengar seperti derai hujan yang mengikutinya setiap kali ia melangkah pelan.


Akhirnya, langkah demi langkah itu mengantarnya pada bagian terakhir dari seluruh lukisan yang dipamerkan.


Kebetulan saja lukisan itu dipasang di sana.


Menghadap ke laut. Hamparan pasir membentang di hadapannya. Sebuah mercusuar berdiri di kejauhan, dan laut yang terbentang di bawah langit senja yang kelam memberikan kesan suram.


Keito merasa mengenal pemandangan ini.


Ini adalah laut di kota Tohoku tempat kakek-neneknya tinggal. Pantai tempat ia bermain bersama lima orang lainnya waktu kecil.


Pantai tempat dia—beristirahat.


Dan――di sana, berdiri sosok seorang gadis. Sama seperti hari itu.


Takamori Shizuka.


Teman masa kecilnya yang seharusnya sudah meninggal dua tahun lalu, saat musim semi.


Kenapa――Shi-chan ada di sana?


Pandangan Keito sedikit goyah.


Ah… jadi begitu. Dia juga seorang <bayangan>, ya?


Itu sudah cukup bagiku. Aku merindukanmu
.


Sejak musim semi, Keito mulai melihat <<Bayangan>>. Mungkin, di suatu tempat dalam hatinya, dia terus berdoa;


Agar suatu hari, dia bisa melihatnya lagi.


Namun――apa yang harus aku lakukan?


Meminta maaf?


Menolongnya?


Mengulurkan tangan padanya?


Benar… tangan itu――


◇◇◇


Mungkin Shi-chan sendiri sedang menungguku.


Suara yang sebelumnya ia dengar dari belakang, kini terasa berasal dari gadis yang berdiri di depannya.


“Maaf. Abaikan saja. Aku kira tadi dipanggil ke lantai dua, tapi sepertinya hanya perasaanku saja. Aku telat karena sibuk membereskan barang-barang yang terjatuh tadi.”


Orang yang terus berbicara itu adalah seorang gadis.


“A-Ah-Ah, e-er, Shi…”


Keito tahu, secara logika, suara itu bukanlah milik Shizuka.


Namun rasa curiga tetap mengganjal.


Karena itulah dia tak sanggup membalikkan badan.


Ia takut jika ia sedikit saja merusak keseimbangan ini, maka Shizuka yang ada di hadapannya akan lenyap bersama gadis di belakangnya.


“Ada apa dengan lukisan itu?”


“Eh? … Lukisan?”


Sudah jelas, tentu saja ada lukisan di depan Keito.


Yang mati tak bisa hidup kembali. Namun dalam lukisan itu, seorang gadis berdiri terpaku. Dan hal itu membuatnya merasa sedikit lega.


Namun, tidak salah lagi—gadis dalam lukisan itu sangat mirip dengan Shizuka.


Tak mungkin ia lupa mata itu, hidung itu, rambut itu, dan bibir itu. Bahkan seragam yang dipakai pun sama dengan seragam SMP tempat Keito dan teman-temannya dulu bersekolah. Dia tak memakai cardigan putih karena cardigan itu sudah tenggelam di dasar laut.


Tatapannya mengarah jauh ke depan, sulit menebak apa yang sedang ia pikirkan.


“Kamu tidak apa-apa? Apa kamu merasa tidak enak badan?”


Tanya gadis asing dari belakangnya. Tidak apa-apa. Itu bukan suara Shizuka yang ia ingat. Setelah menyadari itu ....


“Siapa itu?”


Keito akhirnya mengalihkan pandangan dari lukisan dan berbalik.


Meski belum lama meninggalkan sekolah, rasanya sudah cukup lama sejak ia terakhir melihat orang lain.


Yang berdiri di sana adalah seorang gadis cantik.


Mungkin usianya tiga atau empat tahun lebih tua dari Keito. Dengan ekspresi tenang, ia menatap Keito. Untuk ukuran seorang perempuan, ia cukup tinggi. Sedikit lebih pendek dari Keito, tapi pasti tingginya melewati 170 cm.


Rambutnya bergelombang lembut, berwarna kemerahan seolah menyerap cahaya senja. Bukan karena pencahayaan atau pewarna, itulah warna rambut aslinya.


Wajahnya memiliki kejelasan fitur yang khas. Mata berwarna amber pucat mengintip dari balik sorot mata Keito yang kecil, dalam dan penuh tanya. Kulitnya yang pucat, nyaris transparan, memperlihatkan urat halus di baliknya—seolah ada darah asing yang mengalir dalam dirinya.


Namun, terlepas dari warna-warna yang menghiasi penampilannya, ekspresinya sulit ditangkap dalam bayangan.


Seolah, gadis itu sendiri memiliki aura yang sama dengan <<Bayangan>> yang muncul dalam lukisan sebelumnya—membuat Keito kehilangan kata sesaat.


“Mungkinkah kamu mengenal orang yang digambar dalam lukisan itu?” gadis itu bertanya padanya.


“Iya.”


Keito mengangguk, masih diliputi kebingungan.


“E-eh…… Maaf sudah masuk tanpa izin. Tadi pintunya terbuka jadi aku…”


“Tidak apa-apa. Tempat ini tidak menolak siapa pun. Aku memang sedang menunggumu.”


Akhirnya, gadis itu menyipitkan mata dan tersenyum. Transisi yang aneh itu justru membuat Keito merasa lega.


“Kamu bilang tadi sedang menungguku …. Apa kamu mengenalku?”


“Tidak, aku tidak mengenalmu. Tapi banyak orang datang ke tempat ini karena mereka menginginkannya. Mungkin ada sesuatu yang bisa kubantu. Itulah sebabnya aku menyambut semua pengunjung baru.”


Tak aneh kalau kamu menanyakannya.


Namun Keito belum sepenuhnya pulih dari keterkejutan awal tadi.


Meski gadis itu masih menyimpan banyak misteri, lukisan di depannya lebih dulu menarik perhatiannya.


“Kalau begitu, aku ingin bertanya tentang lukisan ini.”


“Aku benar-benar minta maaf.”


Gadis itu memotong ucapan Keito. Alisnya mengernyit di antara glabelanya, seolah sedang menatap sesuatu dengan intens.


“Aku juga ingin bertanya tentang orang yang ada di dalam lukisan ini. Selain itu, aku ingin memberitahumu apa yang kutahu. Tapi ... bisakah kamu menunggu sebentar? Sebelumnya, aku ingin memastikan satu hal padamu. Apakah orang dalam lukisan ini adalah orang yang terlibat dalam kecelakaan itu?”


Keito langsung memahami maksud dari pertanyaannya hanya dengan kalimat itu.


“Iya.”


“Begitu, ya. Lukisan ini adalah peninggalan ibuku.”


Peninggalan. Keito penasaran dengan makna kata itu, namun gadis itu tidak memberi celah untuk bertanya.


“Aku rasa setelah ini akan terasa agak aneh. Tapi, tolong jangan terlalu dipikirkan.”


“Agak aneh?”


“Seperti bergumam sendirian, atau mengulurkan tangan ke arah yang kosong. Hal-hal semacam itu.”


Memang terdengar aneh, tapi setidaknya Keito bisa mempersiapkan diri kalau sudah diberi tahu sebelumnya.


“Kalau begitu…”


Gadis itu mulai melangkah ke arah kanan belakang Keito, area yang tadi terus-menerus ia tatap.


Secara alami, Keito pun mengikuti arah pandangnya.


“Eh!?”


Gadis itu mengangkat wajahnya saat Keito bersuara kaget, dan mata mereka pun bertemu.
Di depan gadis itu—berdiri sosok nenek tua yang tadi Keito bawa ke depan bangunan ini. Nenek tua itu yang sempat menghilang entah ke mana.


Sudah jelas sekarang—gadis itu bisa melihat <<Bayangan>> nenek itu.


“Aku mengerti sekarang. Sepertinya … kamu juga bisa melihat mereka, ya.”


Tampaknya dia—gadis itu—juga menyadari keberadaan Keito dan si nenek tua. Ia menatap mata Keito dengan matanya yang berwarna kuning amber, seolah-olah tatapannya menelan seluruh dirinya.


Keito ragu harus menatap siapa—gadis itu, atau <<Bayangan>> si nenek tua.


Ia membuka mulut, hendak meminta penjelasan. Namun di saat yang sama, gadis itu—Utaha—melangkah mendekati sang nenek.


Keito tidak melewatkan satu gerakan pun. Ia memperhatikan tiap langkahnya, tiap isyarat kecil yang ia lakukan.


“Halo. Namaku Utaha, Umegae Utaha.”


Utaha. Ia memperkenalkan diri sambil membungkuk menghadap si nenek tua, berbicara dengan lembut seakan tengah membujuk seseorang yang tersesat.


Sampai sekarang, belum pernah Keito menemukan cara untuk bisa saling memahami dengan <<Bayangan>> seperti itu. Tapi… apakah mungkin dengan Utaha?


Sayangnya, si nenek tidak menunjukkan ekspresi apa pun.


Tak jelas ke mana ia menatap, atau apa yang ia pikirkan. Ia hanya berdiri termenung, dengan wajah sedih dan alis yang menurun lemah. Seolah tak mendengar suara Utaha sama sekali.


Utaha pun berpaling ke arah Keito.


“Namaku Umegae Utaha. Maaf, boleh aku tahu namamu?”


“Aikawa. Aikawa Keito.”


“Aku punya permintaan, Aikawa-san. Bisakah kau menjaga beliau sebentar saja?”


Setelah mengucapkan kalimat itu dengan nada tenang namun serius, Utaha pun pergi meninggalkan tempat tersebut.



◇◇◇ 


Suara hujan terdengar samar dari luar, sesekali saja terdengar.


Umegae Utaha. Siapa sebenarnya dia? Pertanyaan demi pertanyaan berdesakan menuntut jawaban.


Gadis yang mirip dengan Shizuka dalam lukisan itu. Dan pelukisnya—ibu dari Utaha. Pertama kalinya ia bertemu seseorang selain dirinya yang bisa melihat <<Bayangan>>. Apakah Utaha tahu siapa sebenarnya para <<Bayangan>> itu?


Jadi——apa yang akan dia lakukan sekarang?


Si nenek tua masih berada di sana. Selain sesekali terlihat berkedip, dia tetap diam. Tak bergerak, tak berbicara. Tak ada gerakan mencolok sama sekali.


Saat Keito menatap si nenek lekat-lekat, sakit kepala yang sempat reda kembali terasa menghantam.


Ia diminta untuk tidak mengalihkan pandangan darinya, tapi akhirnya ia menurunkan tatapan—tak sanggup menahan sakitnya. Dengan begitu, ia malah bisa bergantian menatap antara lukisan Shizuka dan sosok si nenek tua.


… Shizuka
.

Apakah benar itu Shizuka yang tergambar dalam lukisan itu? Ataukah hanya kebetulan yang menyerupai?


Namun, terlepas dari wajahnya, seragam yang dikenakannya benar-benar sama. Tak mungkin hanya kebetulan.


Waktu yang aneh pun mengalir, seakan terhenti sementara.


Di bawah cahaya buatan, hanya ada nenek tua yang polos, potret sahabat masa kecil yang telah tiada, dan aku—Aikawa Keito.


Seolah dunia telah berhenti. Seolah aku satu-satunya yang tersisa di dunia ini, dihantui bayangan ilusi yang tak pernah berakhir.


Aku merasa seakan tersesat dalam senja yang tak menentu, di mana segalanya samar, menggantung di antara mimpi dan kenyataan.


Dan ketika suara langkah kaki memecah keheningan itu dengan tegas, kesadaranku pun beralih.


“Maaf telah membuatmu menunggu.”


Ia muncul dari dalam kegelapan, dengan tatapan seolah berasal dari alam baka.


Utaha datang membawa secarik kertas dan sebuah kuas lukis besar di salah satu tangannya.
Sepertinya ia pergi tadi untuk mengambil benda-benda itu. Tapi, Keito tak tahu apa yang akan dia lakukan dengannya.


“Nenek, bisakah kau ceritakan lebih banyak tentang dirimu?”


Utaha mencoba berbicara padanya, tapi seperti yang sudah diduga, sang nenek tak menunjukkan minat apapun terhadap sekitarnya.


Setelah memastikan reaksinya, Utaha mengambil kuas di tangannya dan mulai menulis di atas kertas.


"Ketika angin timur bertiup,


mekarlah kalian sepenuhnya,


bunga premku!


Walaupun kalian kehilangan tuan kalian,


janganlah melupakan musim semi."
            *[Cana: Ini puisi/syairnya Sugawara No Michizane.]


Lalu ia membacanya dengan suara yang nyaring dan merdu.


Itu adalah sebuah puisi waka yang terdiri dari tiga puluh satu suku kata.


Kata “angin timur” terasa asing di telinga Keito. Namun saat Utaha melafalkannya, Keito merasa seolah angin lembut benar-benar berhembus di dalam ruangan itu.


Lebih dari itu—angin itu, aroma bunga prem, dan kata-kata yang disampaikan Utaha … Musim semi itu, musim yang merenggut Shizuka darinya—seolah kembali menguar di udara.


Di pelupuk matanya, ia melihat cahaya laut di musim semi. Walau hanya sekejap, namun ilusi itu begitu nyata hingga membuatnya limbung.


Semuanya hanyalah bayangan semu. Tapi itu membuktikan satu hal: kata-kata Utaha punya kekuatan sebesar itu.


Begitu Keito sadar kembali, Utaha dan sang nenek telah berdiri di hadapannya. Penampilan nenek itu telah berubah, samar—namun pasti.


Sedikit cahaya mulai tampak di matanya. Mulutnya yang selama ini terkatup rapat, perlahan terbuka, mengeluarkan suara serak yang nyaris tak terdengar.


“Chikako…”


Ia mengucapkannya sekali lagi.


◇◇◇


"Apakah kau mendengarkan, Aikawa-san?"


"Ya."


"Itu nama orang itu? Aku benar, kan, Chikako-san?"


Ketika dipanggil oleh Utaha, si nenek mengangguk pelan sambil gemetar.


"Atau mungkin itu nama keluarga seseorang?"


Untaian kata itu juga memicu reaksi serupa.


"Sayangnya aku tidak bisa memastikan. Mungkin itu bukan nama, melainkan punya makna lain. Namun bisa jadi ini petunjuk besar untuk membantu kita mengungkap identitas orang ini. Aikawa-san, bisakah kau membantu?"


"Apa yang… bisa kulakukan? Dan, memangnya kau butuh bantuan untuk apa sih? Aku ini yang malah punya segunung pertanyaan, aku yang harusnya nanya—apa yang boleh kutanyakan sebenarnya?"


"Itu memang benar…"


"Kalau begitu, mari kita istirahat sebentar. Kau suka kopi?"


Ketika Keito menjawab “nggak masalah,” Utaha langsung menimpali, "Kalau begitu, mari ikut ke sini. Bisakah kau bawa juga si nenek?"


Keito menarik tangan si nenek dengan lembut dan mengikuti Utaha dari belakang. Langkah kaki si nenek terasa lebih mantap dari sebelumnya, seolah sedikit lebih ringan.


Saat aku mengecek jam tangan dengan tenang, ternyata sudah lebih dari satu jam sejak aku keluar dari sekolah.


Begitu kami kembali ke kafe, cahaya di dalam terasa menyilaukan sedikit. Hujan gerimis masih turun, dan langit bersinar lembut. Karena titik balik matahari musim panas sudah mendekat, matahari belum juga tenggelam.


"Tolong tunggu di sini sebentar."


Atas ajakan itu, Keito dan si nenek duduk di salah satu dari empat meja. Tak lama kemudian, Utaha kembali.


"Mungkin rasanya pahit, tapi coba minum dulu tanpa menambahkan apa-apa."


Ada dua cangkir di atas baki. Utaha akhirnya mengambil salah satunya dan meletakkannya di depan Keito sebelum ia duduk.


Ketika ia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, aku tanpa sadar menghela napas. Ternyata dia jauh lebih berhati-hati dari yang aku perkirakan.


Kopi di depanku menguar aroma yang menggoda.


Ketika aku menyeruputnya, rasanya memang pahit. Biasanya aku tak terbiasa minum kopi, dan kalaupun minum, aku selalu menambahkan gula dan susu. Tapi… memang beginikah rasa kopi hitam?


“Kau suka?”


“Pahit,” Jawabku jujur.


Ada aroma khas yang unik. Sepertinya dia menggunakan biji kopi yang dipanggang dengan sangat cermat.


Awalnya hanya terasa pahit, tapi setelah lewat tenggorokan, ada sedikit rasa manis yang samar.


“Makan ini sebagai pembersih rasa.”


Aku mulai merasa lapar. Ketika aku menggigit cokelat mungil yang disodorkan, manisnya langsung meleleh di mulut.


“Silakan makan sesukamu nanti.”

Mengambil kesempatan itu, aku memasukkan porsi gula dan susu yang agak banyak, lalu mengaduknya. Sendok menyentuh sisi cangkir, menghasilkan suara kling.


“Silakan santai saja.”


Saat aku menyeruput kopi lagi, rasa pahit yang tadi muncul sudah menghilang. Bersama dengan kelembutan susu, aroma kopi itu menyebar lembut di mulutku. Rasanya jauh berbeda dibanding kopi instan yang biasa kupakai.


“Agak asam tapi menyegarkan.”


“Aku senang kau menyukainya. Tapi apakah kau merasa sedikit lebih rileks sekarang?”


“Ya.”


“Harusnya aku jelaskan semuanya dari awal. Tapi memang ini pertama kalinya semuanya berjalan seperti ini.”


Utaha menatap Keito, seperti sedang mengonfirmasi sesuatu yang terpantul di balik tatapan itu.


“Aikawa-san, apakah akhir-akhir ini kau bisa melihat mereka?”


“Sejak musim semi ini.”


Keito mulai menceritakan semuanya dengan rinci—tentang bagaimana ia melihat seorang nenek tua berjongkok di pinggir jalan, lalu membawanya ke tempat ini.


Tentang bagaimana saat ia menggendong nenek itu, si nenek mengucapkan kata [Chikako].


“Begitu ya. Jadi saat Aikawa-san menggendongnya juga ….”


“Apa itu ada makna khususnya?”


“Aku belum tahu,” katanya sambil menggeleng pelan.


“Sebagai perwakilan dari orang itu, izinkan aku mengucapkan terima kasih karena telah membawanya ke sini.”


“Jadi … ini tempat yang ingin nenek itu datangi?”


“Mungkin.”


Kelihatannya Utaha tahu alasannya. Tapi Keito, seperti biasa, masih merasa buta arah.


“Kalau begitu, dari mana harus aku mulai menjelaskannya ya? Apa pun yang akan kujelaskan, sebaiknya aku mulai dari <<kata-kata yang hilang>>.”
            *[Cana: Lost Words. bakal kuterjemahin sebagai 'kata-kata yang hilang' aja demi fungsi emosional.]


“Kata-kata yang… hilang?”


“Ya. Kata-kata yang hilang. Bukan anak hilang. Ditulis ‘kata-kata yang hilang’.”


“Kayak hantu aja.”


Keito melirik ke arah nenek yang masih berdiri. Ia biasa menyebut mereka <<Bayangan>> dalam pikirannya, tapi sejujurnya, mereka lebih cocok disebut sebagai hantu karena muncul dan menghilang begitu saja.


“Tentu saja wajar kalau kau mengira mereka hantu. Tapi kami tak menyebut mereka hantu, melainkan ‘kata-kata yang hilang’, <<lost words>>—yang berbeda dari roh biasa.”


“Kata-kata yang hilang? …. Aku nggak paham.”


“Aikawa-san, apakah kau pernah dengar istilah ‘roh kata-kata’?”


“Roh kata-kata?”
            *[Cana: K
otodama(言霊), Intinya semacam kekuatan mistik atau ghaib yang ada di dalam kata-kata. Ibaratnya kayak chanting para penyihir di series fantasi generik, barisan kata-kata yang mengandung kekuatan spesial. Contoh paling dekat, ada di series RokuAka. Tergantung penyusunan kata-kata, kekuatan yang dihasilkan akan berbeda.]


“Ya. Roh dari kata-kata, jiwa dari kata-kata—dengan kata lain, bahasa jiwa. Ada pemikiran lama bahwa di dalam kata-kata, bersemayam roh.”


“Ada contoh yang cukup sederhana, yaitu kata-kata yang tabu untuk diucapkan secara norma. Kau tak akan mengatakan kata ‘gagal’, atau ‘kalah’ kepada siswa yang sedang bersiap menghadapi ujian, bukan?”


“Karena itu dianggap pertanda buruk, kan?”


“Benar. Keyakinan bahwa itu membawa sial adalah salah satu bentuk dari bahasa jiwa. Bahkan jika kau tak punya pilihan selain berbicara tentang ‘gagal ujian’, mengatakan ‘terjatuh dari tangga’, ‘terpeleset di lantai’, atau ‘bunga sakura akan berguguran’ juga dianggap tidak baik. Apa yang kau ucapkan bisa menjadi kenyataan. Itulah bukti dari kekuatan yang tersimpan dalam kata-kata.”


“Di masa lalu, Yamanoue no Okura pernah menuliskan puisi dalam
<<Kumpulan Sepuluh Ribu Daun>> seperti ini:


"Telah diceritakan turun-temurun,


sejak zaman para dewa,


bahwa negeri Yamato ini,


adalah negeri para dewa agung,


Yang Mulia,


sebuah negeri yang diberkahi roh dari kata-kata.
"


Yamato, dengan kata lain Jepang, adalah negeri keberuntungan yang dibentuk oleh roh-roh kata.”
            *[Cana:Yamanoue no Okura
(山上 憶良) (660–733), <<Kumpulan Sepuluh Ribu Daun>> (万葉集 Manyoshu)]


Keito tercengang oleh keluasan pengetahuan Utaha dan bagaimana ia bisa mengucapkan puisi itu dengan lancar.


Dia sendiri tidak membenci membaca buku, dan tahu sedikit-banyak soal itu, tapi menghafal puisi adalah hal yang sulit baginya.


“Utaha-san, puisi yang barusan kau bacakan... apa maknanya?”


"Saat angin timur bertiup,


mekarlah dengan indah,


wahai bunga plum!


Meski kau kehilangan tuanmu,


janganlah melupakan musim semi."


Ketika Utaha membacakan puisi itu, Keito benar-benar bisa merasakan aroma, angin, dan pertanda musim semi. Seolah Utaha sendiri telah memanggil musim semi itu datang.


Apakah itu yang disebut roh kata-kata? Sepertinya memang ada kekuatan yang bersemayam di dalam ucapannya.


“Itu adalah puisi yang ditulis oleh Sugawara no Michizane saat dia dibuang ke Dazaifu. Kau tahu tentang Michizane?”


“Dewa ilmu pengetahuan, bukan?”


Sugawara no Michizane adalah seorang bangsawan dari zaman Heian—seorang cendekiawan hebat dalam menulis dan menciptakan puisi, juga seorang politisi yang dipercaya kaisar saat itu. Namun karena rasa iri dari lawan-lawan politiknya, ia dijatuhkan dan dibuang ke Dazaifu, yang sekarang dikenal sebagai Fukuoka.


Setelah meninggal, ia dipercaya menjadi arwah penasaran yang ditakuti karena dianggap membawa kutukan.


Kini, ia dihormati sebagai Tenjin-sama, dewa ilmu pengetahuan yang disembah di seluruh Jepang.


Saat Keito menjelaskan hal itu kepada Utaha.


“Kau ternyata cukup belajar juga, Aikawa-san.”


“Aku hanya mendengar dari teman yang suka baca buku. Nggak sebanding denganmu, Utaha-san.”


Wajah seorang gadis terlintas di benak Keito.


“Saat Michizane meninggalkan rumah yang selama ini ia tinggali, ia menciptakan puisi perpisahan untuk pohon plum kesayangannya di halaman. Kalau angin dari timur bertiup di musim semi, ia ingin agar wanginya sampai ke Dazaifu. Agar pohon itu tidak melupakan musim semi meski sang tuan tidak ada.


Itulah harapan yang ia titipkan. Dan hingga kini, pohon plum yang mengikuti sang tuan masih ada di Dazaifu Tenmangu, Fukuoka. Aku ingin membagikan kisah rakyat itu. Itulah alasan dari jimat keberuntungan ini.”


“Jimat keberuntungan?”


“Ya. Inilah kata-kata yang hilang yang pertama akan kuberikan.


Aku akan mengantarmu dengan selamat. Kau akan bisa menyampaikan perasaanmu.
Dan kata-kata itu akan sampai pada orang yang kau tuju—seperti bunga plum yang aromanya terbawa angin, tak peduli sejauh apa.”


“Siapa yang kau antarkan? Dan sebenarnya, apa itu kata-kata yang hilang?”


“Kata-kata yang hilang adalah sesuatu yang bisa diucapkan oleh siapa pun. Itu adalah kata-kata yang menyimpan kekuatan besar—seperti pikiran, harapan, dan doa—namun pada akhirnya tak pernah sampai pada orang yang seharusnya mendengarnya. Kata-kata yang tak tersampaikan itu akhirnya berkeliaran di dunia dalam wujud orang yang ingin menyampaikannya.”


“….”


Keito tak mampu membalas penjelasan yang terdengar tak masuk akal itu.


“Aikawa-san, aku adalah seorang <<pengirim pesan>>.”


◇◇◇


“Seorang pengirim pesan?”


“Aku bisa melihat kata-kata yang hilang. Lebih dari itu, aku bisa menyampaikan kata-kata itu kepada orang yang seharusnya mendengarnya. Aku adalah seorang pengirim pesan—seorang utusan dengan kemampuan dan tugas untuk mengirimkan kata-kata yang hilang. Ibuku juga dulu adalah seorang pengirim pesan.”


Dalam benaknya, Keito mengganti karakter dalam kata “orang yang menyampaikan” menjadi “pengirim pesan”.


“Jadi ibumu yang melukis lukisan itu?”


“Namanya Umegae Mari. Ibuku menuangkan kata-kata yang hilang yang ia temui ke dalam lukisan. Semua potret yang dipajang di sini adalah hasil karyanya. Dan setelah insiden itu, ia melukis lebih banyak lagi.”


Insiden itu.


Keito langsung tahu apa maksudnya hanya dari kata-kata itu. Itu adalah tragedi kapal terbakar dua tahun lalu yang menelan banyak korban jiwa.


“Orang yang dilukis dalam potret tadi adalah teman masa kecilku.”


Tubuh Keito bergetar.


“Bisa kau beri tahu namanya?”


“Namanya Takamori Shizuka.”


Utaha menghela napas singkat dan bergumam, “Ah...”


“Kau mengenalnya?”


Utaha menjawab, “Hanya namanya saja,” lalu melanjutkan:


“Ibuku sangat terpukul dengan kecelakaan itu. Ia sering mengunjungi pesisir dekat lokasi kejadian. Sepertinya ia bertemu dengan banyak kata-kata yang hilang. Banyak dari kata-kata itu datang dari orang-orang yang telah tiada. Makanya, setelah tragedi besar, selalu lahir banyak kata yang tak sempat terucap.”


“Jadi... kau bilang lukisan itu adalah kata-kata terakhir Shizuka...?”


“Ibuku telah menyampaikannya lewat lukisan itu. Tapi karena ia tak tahu siapa yang seharusnya menerima kata-kata itu, pada akhirnya, kata-kata itu kehilangan tujuannya dan mungkin saja masih mengembara sampai sekarang.


Aku tahu wajah dan nama korban itu dari berita. Jadi aku tahu yang dilukis itu adalah Takamori Shizuka. Tapi ketika aku mengunjungi rumahnya, sudah tidak ada siapa pun di sana. Dan aku tak tahu di mana kata-katanya sekarang. Tak ada lagi yang bisa kulakukan.”


“Kalau kau bisa bertemu kata-kata terakhir Shizuka, apa kau bisa tahu apa yang ingin ia katakan?”


“Itulah tugas seorang pengirim pesan—mendengarkan kata-kata itu.”


“Bagaimana aku bisa bertemu dengan Shi-chan!?”


“Saat ini ... kita hanya bisa menunggu. Mencari kata-kata yang hilang secara acak... itu seperti menggenggam segenggam pasir di pantai luas dan berharap butir tertentu tidak terjatuh.”


“Menunggu? Di mana?”


“Di sini—di
[Tsuyukusa]. Kalau kau menunggu di sini, aku yakin suatu hari nanti, Shizuka-san akan tertarik ke lukisan itu.”


“Benarkah?”


“Aku sudah bilang sebelumnya, tempat ini memang tempat untuk hal-hal seperti itu. Sekitar dua tahun lalu, aku menyambut kata-kata terakhir dari seseorang yang juga menjadi korban dalam kecelakaan itu. Dia berhasil menyampaikan perasaannya kepada teman-temannya.”


“Shi-chan……”


Akankah hari itu benar-benar datang?


Meski bukan orangnya langsung, bentuk yang tersisa masih menyimpan kata-kata itu.


Pikiranku mendadak kosong.


Apakah aku melihat secercah harapan?


Ataukah itu hanya fatamorgana...?


“Kau benar-benar ingin bertemu dengan Shizuka-san?”


Keito tak bisa mengalihkan pandangan dari mata Utaha. Tatapannya seolah mampu menembus hingga ke dasar hatinya.


“Ya.”


Dia menjawab tanpa pikir panjang. Perasaannya itu tak mengandung kebohongan sedikit pun.


“Apapun yang ingin dia katakan, apakah kau tetap ingin tahu perasaan orang yang begitu berarti bagimu?”


Apa sebenarnya maksud dari pertanyaan yang terus diulang itu?


Saat ia hendak menjawab, ponselnya berdering. Telepon dari rumah. Ketika dilihat, ternyata waktu sudah menunjukkan lewat pukul tujuh. Ibunya bertanya di telepon di mana dia berada. Keito menjawab bahwa dia akan segera pulang.


“Aku harus pulang dulu .… Tapi aku akan datang besok.”


“Aikawa-san, kau tidak keberatan membantuku besok, kan?”


Memang, itu adalah pembicaraan mereka sejak awal. Nenek tua itu masih duduk di kursi tak jauh dari tempat mereka berada sekarang, menatap keduanya dengan mata kosong yang dalam.


“Baik.”


Bahkan jika pikirannya masih dipenuhi rasa cemas dan harapan yang belum pasti, jika benar dia bisa bertemu dengan Shizuka dan mendengar kata-kata terakhirnya, maka tak diragukan lagi—ia harus tetap berada di sisi Utaha.


Saat melangkah keluar, hujan turun semakin deras. Langit masih tertutup awan, tapi bintang-bintang sudah mulai bermunculan saat matahari terbenam. Jumlahnya, sinarnya, dan getarannya memang tak sebanding dengan bintang-bintang yang ia lihat dari atas kapal hari itu. Namun begitu, Keito tetap menatap ke langit malam.


Apakah hari ini benar-benar nyata?


Bagaimana jika saat ia menoleh, bangunan tempat mereka bertemu tadi telah menghilang bagai mimpi?


Rasa takut itu terus membayangi.


Utaha—gadis misterius.


Kata-kata yang mengembara, kata-kata yang hilang. Dan Shizuka....


Semuanya terasa seperti sebuah kebohongan.


Pada akhirnya, Keito pulang tanpa sempat menoleh ke belakang.


Ia menjawab pertanyaan ibunya seadanya, lalu duduk untuk makan malam. Rasa bersalah menghampiri saat ia melihat adik perempuannya tersenyum dengan wajah kesepian.


Setelah kembali ke kamarnya, ia kembali menatap langit malam. Jumlah bintang semakin banyak, namun tetap belum bisa menandingi malam itu.


◇◇◇


Kemungkinan hujan hari ini rendah, dan ia menatap langit yang mulai biru cerah.


Ia tak bisa berkonsentrasi selama pelajaran berlangsung. Bahkan saat pelajaran matematika, bahkan di tengah pelajaran musik, pikirannya terus melayang ke kejadian kemarin.


Umegae Utaha.


Apa yang sebenarnya ingin Utaha lakukan padanya?


Apa yang bisa Keito bantu?


Apakah ini semua berkaitan dengan menyelamatkan kata-kata yang hilang?


Apakah ia benar-benar bisa bertemu dengan Shizuka lagi jika melakukannya?


“Masih nggak enak badan, Aikawa-kun?”


Saat jam pulang tiba, Seiko mendekatinya dengan wajah khawatir.


“Sudah lumayan. Tapi aku nggak ikut kegiatan klub hari ini juga.”


“Memangnya hari ini ada kegiatan? Nggak ada, lho.”


“Ah, iya juga.”


Aku sampai lupa jadwal dasar karena terlalu kalut.


“Pokoknya, aku harus buru-buru. Sampai jumpa.”


Ia pun meninggalkan kelas tanpa menunggu jawaban Seiko.


“Oh, Keito. Mau langsung pulang?”


Seperti kemarin, ia bertemu Takumi saat berjalan di lorong. Kenapa waktunya selalu pas? Padahal akhir-akhir ini mereka jarang bicara. Tak bisa dipungkiri, Keito memang sedang menghindarinya.


Bagaimana reaksi Takumi kalau tahu kejadian kemarin soal Shizuka? Ada dorongan untuk menceritakan semuanya, tapi Keito merasa Takumi takkan percaya.


“Kau ke klub, Takumi?”


“Latihan hari ini sukarela.”


Saat Takumi menjawab, bunyi chime pengumuman terdengar di seluruh sekolah.


“Wakil ketua OSIS, Irifune Sarasa-san, Wakil kepala sekolah memanggil Anda. Harap segera ke ruang guru”


Begitu mendengar nama Sarasa, keduanya langsung saling menatap.


“Irifune-senpai kita sepertinya sibuk juga hari ini, ya. Kau sempat bicara dengannya belakangan ini?”


“Enggak sama sekali. Bukan cuma ‘belakangan’, sejak masuk sekolah ini pun aku belum pernah sekalipun bicara dengannya.”


“Sama. Padahal dia dulu sering main bareng kita. Sekarang dia jadi orang paling pintar di sekolah dan wakil ketua OSIS pula. Rasanya kayak masa kecil itu cuma mimpi.


“Itu sudah masa lalu. Lebih penting, kau yakin nggak telat, Takumi?”


“Waduh! Aku bakal dimarahi senior … Padahal latihannya cuma sukarela, ya. Nggak masuk akal banget.”


Takumi tersenyum kecut lalu lari kecil menjauh.


Di saat yang hampir bersamaan, Sarasa muncul dari ujung lorong, seolah baru saja berpapasan dengan Takumi.


Sebagai wakil ketua OSIS yang dipercaya penuh oleh para guru, Keito yakin ia akan segera diberi beberapa tugas atau permintaan.


Mereka berjalan saling melewati. Keito memberi anggukan kecil.


“ … Hm.”


Sarasa menggumam pelan, tanpa senyum sedikit pun.


Dengan rambut panjang yang dikepang, kacamata tebal, dan tubuh ramping yang nyaris mungil, ia berjalan dengan tegak, dadanya dibusungkan, penuh percaya diri. Langkahnya seperti menciptakan batas tak kasatmata—seolah siapa pun yang mencoba mendekat akan ditolak mentah-mentah.


Sulit membayangkan bahwa ia adalah gadis kecil yang dulu melompat ke kolam tanpa ragu dan membuat anak-anak laki-laki takjub.


Mungkin karena itulah ia sekarang seolah sengaja mengabaikan Keito dan Takumi.


Lima sahabat masa kecil—Gotanda Takumi yang sekelas dengan Keito, Irifune Sarasa yang satu tahun lebih tua, Ezaki Junichi yang juga setahun lebih tua tapi sekolah di tempat lain, Takamori Shizuka yang kini telah tiada, dan Keito sendiri.


Mereka berlima sering bermain bersama saat masih kecil. Bahkan pernah berlibur bersama ke rumah kakek-nenek Keito saat masih SD.


Namun seiring berjalannya waktu, minat mereka mulai berbeda, pergaulan berubah, dan hubungan mereka pun perlahan memudar. Hingga akhirnya, segalanya benar-benar berubah dua tahun lalu—saat Keito, yang untuk pertama kalinya dalam waktu lama ingin mengulang kenangan lama, justru dihadapkan pada tragedi.


Kini, Takumi masih satu sekolah dan seangkatan, bahkan kelasnya berada di sebelah Keito. Jadi mereka masih sering bertemu. Tapi, sejak masuk sekolah ini, mereka tidak pernah lagi membahas Shizuka … ataupun kejadian itu. Kalaupun bertemu, mereka hanya sekadar berbicara seadanya.


Sarasa bahkan tak pernah sekadar lewat di dekat Keito, apalagi menyapa. Seolah benar-benar menghindar. Seolah Keito adalah luka yang ingin ia lupakan.


Padahal dulunya ia sangat dekat dengan Shizuka. Bahkan, yang mengajak Sarasa untuk ikut liburan waktu itu adalah Shizuka sendiri.


Ezaki Junichi adalah satu lagi dari mereka berlima. Kini ia sekolah di tempat lain dan satu tahun lebih tua. Sejak masuk SMA, mereka tidak pernah saling berinteraksi lagi.


Dulu, Junichi adalah pemain bisbol hebat waktu SMP. Ia dan Takumi sama-sama anggota tim.


Harusnya, Junichi masuk SMA yang pernah lolos ke Koshien dan ikut klub bisbol di sana. Tapi dua tahun terakhir, sekolah itu belum pernah lolos lagi. Musim panas ini seharusnya jadi yang terakhir baginya.
            *[Cana: Koshien adalah turnamen bisbol nasional kelas SMA di Jepang, yang dianggap sangat prestisius.]


Dari lima sahabat masa kecil itu, satu telah tiada, dan empat lainnya kini berjalan di jalannya masing-masing.


◇◇◇


Setelah melewati gerbang sekolah, Keito mengayuh sepedanya menuju tempat Utaha.


Matahari menyengat wajahnya, tapi udara terasa lembap. Beberapa menit kemudian, peluh mulai menetes dari dahinya dan seragamnya menempel ke tubuhnya.


Sambil sesekali mengipasi dadanya dengan satu tangan, ia terus mengayuh dan sampai di bawah jembatan sekitar dua puluh menit kemudian.


Begitu membuka pintu kafe [Tsuyukusa], lonceng berdenting lembut menandakan kedatangannya.


Namun tak ada jawaban dari Utaha. Tidak seperti kemarin, kali ini ada tamu yang sedang duduk bersamanya, tampak sedang berbincang. Wanita langsing berbaju setelan jas itu terlihat lebih seperti teman daripada pelanggan. Ia berbicara panjang lebar, sementara Utaha hanya diam mendengarkan.


Keito agak terkejut—ternyata Utaha punya teman juga.


Begitu Keito mendekat, keduanya mengangkat kepala. Wanita itu berkata pada Utaha,


“Kalau begitu, aku akan mampir lagi, ya, Utaha-chan. Lain kali kita ngobrol lebih lama,” ujarnya sambil menjabat tangan lalu pergi.


Saat berpapasan dengan Keito, wanita itu menambahkan, “Tempat ini indah sekali,” lalu tertawa kecil sebelum melangkah pergi.


“Apa aku datang di waktu yang salah?”


Keito bertanya pelan, merasa tak enak sudah menyela. Tapi Utaha hanya menggeleng pelan, memberi isyarat bahwa tak masalah.


“Misora-san juga punya pekerjaan,” jelasnya.


Sepertinya wanita bernama Misora itu mampir di sela-sela tugasnya.


“Dia sedang mengerjakan editing untuk majalah.”


“Jadi dia meliput tempat ini?”


“Kurasa tidak. Orang tuaku bukan siapa-siapa, cuma pelukis yang tak dikenal.”


Keito memperkirakan usia Misora dan Utaha seumuran.


Tapi tetap saja, rasanya aneh mendengar Utaha bicara begitu formal padahal Keito sendiri lebih muda.


“Utaha-san, jadi … aku harus ngapain sekarang?”


Kalau mereka terlalu santai, waktu akan cepat habis. Padahal ada banyak hal yang ingin ia tanyakan—hal-hal yang tak bisa ia tunda.


“Baiklah. Aku mengandalkanmu, Aikawa-san. Nenek itu juga sedang menunggu.”


Nenek tua yang menjadi awal dari semua ini tengah berjalan pelan dan tak tentu arah di dalam bangunan. Cara mengatakannya agak tidak sopan, tapi memang begitu kesannya—seperti sedang mengembara.


“Kata-kata yang hilang yang kulihat biasanya akan lenyap jauh lebih cepat.”


Selama ini, kebanyakan kata-kata yang hilang hanya muncul sebentar di pinggiran pandangannya, lalu lenyap. Tapi yang muncul paling lama hanya bertahan sekitar sepuluh menit.


“Mungkin Aikawa-san belum terbiasa melihat kata-kata yang hilang. Meski terlihat seperti tak tampak, sebenarnya mereka ada di dekatmu. Sampai sekarang, semua yang kau lihat masih belum jelas. Tapi dengan memberi kata-kata yang hilang nama dan makna, kau seperti merasa lega. Jadi, rasa cemasmu akan kata-kata yang hilang mungkin akan mereda seiring kau terbiasa melihatnya.”


Kalau begitu … apakah semua anak-anak yang pernah aku temui sejak bisa melihat kata-kata yang hilang masih ada di luar sana? Mungkin karena aku sudah terbiasa, aku jadi tidak terlalu takut saat melihatnya lagi.


Tapi… bisakah aku benar-benar terbiasa, sementara aku belum memahami mereka yang sudah kehilangan kekuatannya?


Keito mengutarakan keraguannya.


“Aku juga pernah merasa seperti itu. Tapi sayangnya, beberapa kata yang hilang memang benar-benar lenyap. Orang ini pun … hanya stabil untuk sementara waktu.”


“Eh, tunggu. Lenyap? Kata yang hilang bisa … hilang selamanya? Jadi maksudmu Shizuka … dia mungkin sudah tidak ada lagi?”


Kalau begitu, semua ini tidak sesuai dengan kesepakatan mereka kemarin. Bukankah kalau ia menunggu di sini, suatu hari ia akan bertemu Shizuka lagi? Bukankah itu harapannya?


“Seperti kita, keberadaan kata-kata yang hilang juga tidak abadi. Suatu hari nanti, mereka akan lenyap. Hanya sedikit sekali dari mereka yang berhasil sampai ke orang yang dituju—entah dengan kekuatannya sendiri atau karena dibantu. Tapi kebanyakan dari mereka gagal. 


Mereka tidak pernah sampai, dan akhirnya kehilangan kesadaran, ingatan, perasaan, dan bahkan kata-kata yang ingin mereka sampaikan… Mereka menghilang begitu saja, tanpa ada yang tahu. Itulah kenapa aku ingin membantu sebanyak mungkin kata-kata yang hilang, agar hal itu tak terjadi. Itulah doaku.”


“Kalau begitu… Shizuka juga sudah….”


“Bukan hal aneh kalau kata-kata yang hilang bisa tetap hidup selama beberapa tahun … bahkan lebih lama dari itu. Makanya, aku percaya kata-kata milik Shizuka masih baik-baik saja.”


Utaha berkata bahwa kata-kata yang hilang yang baru muncul dua bulan lalu juga ada yang datang ke tempat ini.


Kalau begitu, masih adakah waktu untuk tenang?


“Tapi… mencarinya sendiri itu sangat sulit.”


Tak peduli seberapa keras kau mencarinya—kalau dikatakan ia bisa lenyap sewaktu-waktu—kau pasti dihantui rasa cemas yang terus-menerus.


“Kalau kamu ingin bertindak atas kehendak sendiri, aku tidak bisa menghentikanmu, Aikawa-san. Tapi seperti yang kukatakan kemarin, aku tidak menyarankannya.”


Nada bicara Utaha terdengar tegas, matanya sedikit menunduk, seperti mengingat pengalaman yang tak ingin ia ulangi.


Keito sempat berpikir—mungkin Utaha pernah mencoba mencari lost words sendiri dan gagal.


“Boleh aku mendahulukan untuk mengantar si nenek dulu?”


Tak ada bantahan dari Utaha. Kalau tidak tahu apa-apa soal kata-kata yang hilang, maka mencari tanpa arah hanya buang-buang waktu.


“Pertama-tama, aku harus mencari tahu siapa dia dan dari mana asalnya. Aku ingin minta bantuanmu dalam hal ini, Aikawa-san.”


“Tidak bisa langsung ditanya saja?”


“Sampai sekarang dia tidak menunjukkan reaksi apa pun. Meski sebenarnya, hal itu juga berlaku pada kebanyakan kata-kata yang hilang yang berhasil sampai ke sini.”


“ … Apa itu juga berlaku ke Shizuka? Apa mungkin kita benar-benar bisa bertemu dengannya dengan cara seperti ini?”


Kalau bukan karena bantuan Keito, nenek itu mungkin akan tetap mengembara tanpa arah.


“Shizuka-san dulu tinggal di sekitar sini. Kalau dia kembali ke lingkungan ini, aku yakin dia akan tertarik datang ke tempat ini, apalagi ada lukisan dirinya. Lukisan ibuku pasti akan jadi penanda yang kuat.”


“Lalu … bagaimana dengan nenek itu?”


“Dia bukan korban kecelakaan, dan juga bukan bagian dari kata yang hilang yang pernah ditemui ibuku sebelumnya. Tapi aku rasa, dia punya semacam hubungan batin dengan tempat ini—atau dengan sekitarnya. Mungkin karena itu, dia tertarik ke tempat ini … ke lukisan-lukisan di Tsuyukusa.


Makna bunga Tsuyukusa (Asiatic dayflower) adalah
<<Hubungan Penuh Nostalgia>>. Lukisan itu digunakan sebagai poros untuk menghubungkan kenangan dan emosi, agar kata-kata bisa tersampaikan. Itu adalah kekuatan ibuku. Meski beliau sudah tiada, lukisan-lukisan yang ia buat masih menyimpan kekuatan itu.”


Ia mengatakannya tanpa ragu sedikit pun. Dari caranya berbicara, bisa dipastikan bahwa ibu Utaha memang sudah tiada.


“Ngomong-ngomong, Aikawa-san … kamu bisa menggambar?”


Keito agak bingung dengan arah pertanyaannya. Tapi melihat pembicaraan tadi, kemampuan menggambar sepertinya penting.


“Aku … ya, aku ikut klub seni, kurang lebih.”


“Wah, itu kebetulan sekali. Ini pasti takdir. Kalau begitu, tolong gambar wajah nenek itu.”


“Eh, eh, eh, tunggu dulu! Nggak bisa! Aku memang bisa gambar, tapi bukan berarti aku bisa bikin gambar yang punya kekuatan misterius kayak ibumu! Kenapa bukan kamu aja yang gambar?”


“Aku tidak pandai menggambar. Aku tidak bisa memalsukan yang seperti itu.”


Utaha menunduk sedikit, menahan rasa malu atau mungkin rasa kehilangan.


“Aku ingin kamu menggambarnya, Aikawa-san … agar bisa digunakan untuk mencari tahu siapa dia.”


Intinya, ini semacam pengganti foto. Kata-kata yang hilang tidak bisa tertangkap kamera. Tapi kalau ada gambar buatan tangan dari seseorang yang bisa melihat mereka, itu bisa membantu melacak asal-usulnya.


Kalau memang begitu, maka Keito—meskipun masih awam—bisa berguna.


“Baiklah … aku akan coba.”


Kebetulan, menggambar potret memang keahliannya.


Utaha menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan. Ia menatap sang nenek dengan saksama.


Keberadaannya memang samar, tapi tetap nyata. Tanda-tandanya bisa terlihat dari napas yang teratur, tatapan, kedipan mata, gerakan kecil di lengan, pundak, dan pipi.


Tak peduli seberapa diamnya seseorang, tetap saja mereka tidak bisa menyembunyikan keberadaan fisiknya.


Rambut keriting pendeknya sudah mulai memutih dan agak berantakan. Pakaian yang ia kenakan bersih tapi tidak rapi, dan terlalu tebal untuk musim ini—jelas sekali sudah tak sesuai waktu.


“Aku yakin dia dulu adalah orang yang modis,” ucap Keito, setengah kagum, setengah sendu.


Karena sang nenek tidak memakai riasan, kerutan di wajahnya pun tampak jelas, dan Keito pun menggambarkan rupa aslinya ke dalam sketsa di buku gambarnya.


“Luar biasa. Hasilnya seperti foto.”


“Kamu melebih-lebihkan saja ….”


Keito tahu, gambarnya tidak bisa dibandingkan dengan lukisan ibu Utaha. Bahkan di klub seni pun, karyanya bukan yang paling menonjol. Memang benar, hanya orang berbakat yang bisa menggambar dengan detail setajam foto hanya dengan pensil. Tapi kalau begitu, bukankah lebih cepat dan praktis pakai kamera saja?


Gambar seharusnya menampilkan sesuatu yang hanya bisa ditangkap oleh si penggambar. Tapi kalau mengacu pada contoh sebelumnya, gambar Keito tidak memiliki kehadiran tersembunyi seperti yang ada dalam karya ibu Utaha.


Bahkan dalam sebuah foto pun, orang biasa yang menjadi objeknya, hubungan mereka dengan si fotografer, serta emosi yang muncul di dalamnya—semuanya bisa terasa.


Tapi Keito belum mampu menyampaikan hal seperti itu.


Meski begitu, itu bukan masalah. Yang ia perlukan saat ini hanyalah meniru rupa sang nenek seakurat mungkin.


“Boleh aku menyentuh orang ini?”


Setelah mendapatkan anggukan dari Utaha sebagai tanda persetujuan, Keito pun menyentuh lembut tangan kiri sang nenek.


Tangannya terasa keras dan bertulang, kulitnya kering dan kasar. Rasanya persis seperti saat ia memegang tangan neneknya sendiri—dan jujur saja, Keito tidak terlalu suka dengan perasaan itu.


Sketsa potret itu selesai kira-kira dalam dua puluh menit. Selama ia menggambar, si nenek menatapnya tanpa henti.


Apakah ia mengerti apa yang sedang mereka lakukan?


“Terima kasih banyak. Seperti yang kuduga, hasilnya luar biasa,” kata Utaha.


◇◇◇


Ini bukanlah pujian yang diucapkan tanpa perasaan, karena bagi seseorang seperti Utaha yang menghabiskan waktunya menghias lukisan di sekelilingnya, Keito yakin ia tidak mungkin salah dalam menilai kualitas sebuah gambar. Kalimat itu memang terdengar seperti pujian, tapi ia menyimpannya dalam hati. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk merasa senang karena hal itu.


“Apa yang akan kau lakukan dengan ini?”


“Aku berniat menyalinnya, mencetaknya sebagai poster, dan bertanya ke orang-orang.”


“Seperti sedang mencari kucing hilang, ya.”


“Fakta bahwa dia tak bisa bicara pun membuktikan kesamaannya. Kau pasti sudah lelah, dan sekarang juga sudah cukup larut. Mari kita akhiri sampai di sini dulu. Aku akan mengambil kopi lagi.”


Seperti kemarin, kopi itu memiliki rasa yang luar biasa. Dan berkat itu, rasa lelahnya perlahan menghilang.


“Ngomong-ngomong, ini sebenarnya kafe ya? Aku belum bayar kopi kemarin, lho.”


Keito membuka tasnya dan mengambil dompet, berniat membayar untuk kopi hari ini dan kemarin.


“Tak perlu repot-repot,” jawab Utaha.


Namun saat Keito tetap bersikeras, Utaha kembali menggelengkan kepalanya dengan lembut.


“Terima kasih banyak,” ucap Keito, lalu menyimpan kembali dompetnya.


“Jadi, para kata yang hilang tidak makan?” tanya Keito, mengingat rasa manis dari cokelat yang tadi sempat ia makan.


“Orang itu tak akan menjadi dirinya sendiri lagi jika hanya tubuhnya yang tersisa, sedangkan emosi di masa lalunya sudah menghilang.”


“Hari ini dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.”


Kemarin, sang nenek sempat berkata “Chikako,” tapi hari ini ia hanya diam ketika Keito menggambarnya.


“Setelah dilahirkan, kata-kata yang hilang perlahan akan kehilangan ingatan, perasaan, dan kata-kata mereka seiring berjalannya waktu. Tapi kurasa orang ini belum lama menjadi kata-kata yang hilang. Mereka yang sudah cukup lama di sini akan tampak kurang ekspresif dan kehadirannya pun terasa makin samar.


Mungkin dia mengenakan pakaian itu sekitar dua bulan sebelum musim semi? Kalau begitu, berarti sudah lewat sekitar empat bulan. Dalam rentang waktu itu, seharusnya ekspresinya masih cukup kaya dan ia mungkin masih bisa mengingat siapa dirinya. Karena itulah, mengantarnya seharusnya tak terlalu sulit … tapi ….”


Ucapan Utaha menggantung. Tampaknya ada kekhawatiran yang belum ia utarakan sepenuhnya.


“Mungkin saja orang ini mengidap demensia. Ada kemungkinan wujud dirinya sudah mengabur saat ia meninggal dunia.”


“Dengan kata lain, bisa jadi ingatannya takkan pernah kembali?”


“Aku rasa tak masalah, karena keinginan kuatnya untuk menyampaikan sesuatu pada orang yang penting telah terpatri begitu dalam di hatinya.”


Keito mendengar suara Utaha. Biasanya ia terdengar datar dan berjarak, namun kali ini terdengar bahwa ia memiliki ikatan mendalam dengan para kata yang hilang.


Keito kembali menatap sang nenek. Dalam keseharian, ia jarang berinteraksi dengan para lansia. Ia memang tinggal bersama kakek-nenek dari pihak ayah, tapi keluarga dari pihak ibu tinggal di wilayah Tohoku, dan sudah beberapa tahun tidak ia temui. Ada juga seorang kakek di lingkungan rumah, tapi Keito tidak pernah berbincang dengannya secara khusus.


Di luar keluarganya, orang tua adalah sosok yang terasa jauh, bahkan asing baginya.


Itulah sebabnya, saat berdiri di hadapan sang nenek, ia pun tak tahu harus merasakan apa.


“Untuk saat ini, satu-satunya petunjuk yang kita punya adalah ‘Chikako’.”


Begitu Keito menyebutkan nama ‘Chikako’....


"[Chikako]
"


"[Chikako]"


"[Chikako]"


"[Chikako]"


"[Chikako]"


Sang nenek akhirnya mengucapkannya, berulang kali, dengan suara yang jelas.


“Akhirnya aku mengerti betapa pentingnya nama 'Chikako' bagimu. Apakah itu namamu, atau nama anggota keluarga, atau mungkin teman? Aku belum tahu … tapi aku pasti akan mengantarmu pulang.”


Utaha lalu memeluk sang nenek, seolah turut merasakan perasaannya.


Keito juga merasa bahwa dirinya ingin menolong seseorang yang sedang dalam kesulitan. Mungkin itu adalah suara hati nurani, yang dimiliki oleh sebagian besar orang.


Namun, kekuatan untuk bertindak menurut hati nurani berbeda-beda bagi tiap orang.


Keito tidak pernah menganggap bahwa sikap semacam itu adalah tanda kelemahan. Tapi, cara Utaha menghadapi para kata yang hilang itu terasa … berbeda. Mungkinkah Keito bisa merasakan kedekatan dengan kata-kata yang hilang lain, selain yang sedang diurus Utaha?


◇◇◇


Keito membawa pulang sketsa gambar yang ia buat. Setelah membuat salinannya, ia memutuskan untuk mengunjungi Utaha lagi. Ia berencana menggunakan mesin fotokopi yang ada di ruang klub.


Keesokan harinya, hujan turun lagi sejak pagi. Masih pertengahan bulan Juni, dan musim hujan belum akan berakhir dalam waktu dekat.


“Kamu akan pergi ke klub hari ini?”


Begitu sekolah selesai, Seiko bertanya pada Keito, seolah ingin tahu lebih jauh.


Saat Keito menjawab bahwa ia memang akan ke klub, Seiko tampak puas.


Mereka berjalan bersama dari lantai dua kelas tahun kedua menuju lantai tiga, tempat klub seni berada.


“Haa ….”


Saat di tangga, Seiko turun satu anak tangga lalu menghela napas dalam-dalam. Tampaknya ia sedang tidak enak badan.


“Kau merasa tidak enak badan, Haruchika?”


“Eh? A-Ah … maaf ya. Sampai menghela napas di depan Aikawa-kun … Soalnya aku kurang tidur semalam.”


“Ada yang mengganggu pikiranmu?”


“Tidak, tidak sama sekali. Cuma begadang sedikit saja kok.”


Ia menjawab dengan malu-malu, seperti ingin menutupi rasa malunya.


Keito sudah sekelas dan seklub dengan Seiko sejak tahun pertama. Tubuhnya kecil dan sedikit berisi, berkepribadian ramah, dan bisa berbicara dengan siapa pun tanpa membeda-bedakan. Ia cukup disukai banyak orang.


Entah apakah ia menyukai kenyataan bahwa orang-orang menganggapnya seperti anak anjing kecil yang menggemaskan.


Sampai sekarang, Keito hampir tidak pernah melihat ekspresi murung di wajahnya. Tapi sejak masuk tahun kedua, Seiko tampak sering melamun dan lebih sering menghela napas. Bahkan para senior di klub pun tampaknya ikut khawatir padanya.


Kalau dipikir-pikir, wajahnya memang terlihat lelah. Karena itulah Keito memutuskan untuk bertanya saat ia menghela napas tadi, tapi jawabannya tetap sama.


Apa ia sedang berusaha berpura-pura kuat agar tak ada yang melihat sisi rapuhnya? Atau memang benar-benar tidak terjadi apa-apa? Keito merasa tak bisa berbuat banyak terhadap kemungkinan itu.


“Ngomong-ngomong, Aikawa-kun … kertas apa yang kau bawa itu?”


“Itu gambar yang aku buat kemarin. Aku mau menyalinnya di ruang klub.”


“Gambar apa itu? Boleh aku lihat?”


Tepat sebelum membuka pintu ruang klub, Keito menyerahkan kertas itu pada Seiko tanpa pikir panjang.


Setelah itu, ia pun masuk ke dalam ruang klub. Bau cat basah langsung menyapa hidungnya.


“ … Haruchika?”


Keito menoleh ke arah Seiko yang seharusnya masuk setelahnya. Tapi ia masih berdiri diam di ambang pintu.


Beberapa anggota klub yang sudah ada di dalam menatap mereka dengan tatapan bingung.


“Aikawa-kun … siapa ini?”


Hanya satu kata yang bisa menggambarkan ekspresi Seiko saat itu—terpana. Air mata sudah mulai mengalir dari sudut matanya.


“Aku juga tidak tahu siapa dia. Aku memang berencana mencarinya setelah ini…”


Namun sekarang, setelah sampai sejauh ini, satu kesimpulan terlintas di benak Keito.


Selama ini, nama lengkap Seiko: Haruchika Seiko, tidak terlihat berkaitan dengan ‘Chikako’.
Tidak, Seiko (
誓子) memang tidak dibaca Chikako (せいこ). Kalau begitu, mungkinkah ini hanya kesalahan dalam membaca nama?


“ … Mungkinkah dia ada hubungannya denganmu, Haruchika?”


Keito bertanya perlahan, mencoba memastikan dengan hati-hati.


“Mengapa nenekku …? Kenapa Aikawa-kun …?”


Seiko menggenggam erat kertas yang ada di tangannya. Tampaknya, orang yang tergambar di sana adalah neneknya.


“Ayo ikut aku, Haruchika.”


Keito menarik tangan Seiko dengan paksa, sementara gadis itu masih belum bisa memahami sepenuhnya situasi yang sedang terjadi.


“Maaf, tapi kami pergi dulu hari ini.”


Saat ia mengangkat suaranya di dalam ruang klub, ketua klub tampak terkejut, tapi langsung membalas, “Hati-hati di jalan.”


◇◇◇


“Aikawa-kun, aku bisa jalan sendiri!”


“Maaf.”


Setelah meninggalkan ruang klub selama beberapa saat dan Seiko sempat memprotes, Keito buru-buru melepaskan genggamannya.


“Apa yang sebenarnya terjadi? Jelaskan padaku.”


“Ah…”


Keito tidak bisa langsung memberikan penjelasan. Situasinya terlalu mengejutkan. Baru saja ia hendak mencari petunjuk tentang sang nenek, tapi orang yang dicari justru muncul sendiri di hadapannya.


“Maaf, untuk sekarang ikut saja dulu.”


Seiko mengangguk dan berjalan di samping Keito. Saat sedang mengambil sepatunya dari rak,


“Aku biasanya naik sepeda ke sekolah, tapi kamu tadi datang naik bus kan?”


Setelah ia memberitahu halte terdekat dari rumah Utaha dan menyarankan agar mereka menuju ke sana,


“Kita naik bareng aja.”


ucap Seiko tegas.


“Itu melanggar peraturan sekolah.”


“Sekarang bukan waktunya mikirin itu. Setelah keluar dari gerbang sekolah, kita jalan sebentar lalu aku duduk di belakang, oke?”


Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia membonceng seseorang seperti itu? Mungkin sejak SD. Jalanan dipenuhi daun-daun basah oleh hujan pagi. Seiko duduk di belakang dengan salah satu kakinya menjulur ke samping. Merasakan beban di pedal, Keito mempercepat kayuhannya.


“Hei, Aikawa-kun.”


Seiko membuka pembicaraan lebih dulu.


“Aku akan ceritakan semuanya setelah kita sampai.”


“Sampai di mana?”


“Ke tempat nenekmu berada.”


“ .... ”


Seiko terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi sepertinya sedang berusaha menahan diri dan mencerna semuanya.


“Baiklah, aku percaya padamu, Aikawa-kun.”


Setelah ia berbisik di telinganya, mereka tak lagi menyebut-nyebut soal sketsa tadi.


“Ini pertama kalinya kita pulang bareng seperti ini ya?”


“Meski kita nggak benar-benar pulang.”


“Anggap saja jalan memutar? Yang jelas, ini pertama kalinya kan?”


“Memangnya boleh membonceng dan jalan-jalan gitu? Bukannya kamu ketua panitia sekolah?”


“Kita bukan keluar buat main, ini keadaan darurat, jadi nggak apa-apa. Lagipula aku biasanya anak baik kok, jadi panitia pasti maklum. Aikawa-kun, kamu tahu nggak apa keuntungan jadi orang yang selalu serius?”


“Mana kutahu.”


“Keuntungannya, meskipun dia sesekali bolos atau nakal sedikit, orang-orang akan tetap percaya. Kalau dia, pasti ada alasannya.”


Begitu ya … rasanya ingin menegur Sarasa yang selalu terlalu keras pada dirinya sendiri tanpa arah yang jelas.


“Itu sebabnya kamu akhir-akhir ini sering melamun di kelas?”


“Eh? U-umm … begitu ya … Aikawa-kun peduli juga rupanya?”


“Aku dengar dari kakak kelas di klub. Tadi juga kamu sempat menghela napas. Menurutku itu nggak seperti biasanya dari kamu, Haruchika.”


“Ya … begitu ya. Jadi orang lain juga menyadarinya. Sampai-sampai kakak kelas khawatir padaku, aku gagal sebagai junior mereka.”


Setelah itu, pembicaraan mereka beralih ke arah yang sangat berbeda. Mereka mengobrol tentang klub seni, para anggotanya, rencana liburan musim panas, dan juga festival budaya yang akan digelar setelah liburan.


Kalau Keito mengayuh sepeda sendirian, ia bisa mencapai rumah Utaha dalam waktu sekitar dua puluh menit. Tapi karena membonceng Seiko, ia harus mengayuh lebih pelan dan perjalanan pun jadi lebih lama dari biasanya.


“Haa, haa .…”


Begitu mereka tiba di tujuan, Keito terengah-engah.


“Kau baik-baik saja, Aikawa-kun?”


“Enggak juga. Aku memang jarang olahraga, sih .…”


“Yah, kalau begitu kita istirahat sebentar. Aku akan jalan di belakang.”


Seiko turun dari boncengan, tepat di depan jembatan.


“Aku hampir nggak pernah ke daerah sini. Bisa tunjukin jalannya?”


“Jalannya lurus kok, nggak bakal nyasar.”


Sambil mengatur napas, Keito melanjutkan mengayuh sepedanya pelan-pelan.


“Sungainya ada di ujung sana. Kayaknya bakal asyik ke sini pas musim panas.”


Seiko menyusul di sampingnya dengan cepat. Gerak-geriknya persis seperti anjing kecil yang penuh semangat.


“Aku pengin ke sini buat menggambar gunung itu. Cantik juga ya.”


“Kalau nggak salah, klub seni sempat ke taman sini musim panas lalu, kan?”


Di kaki Gunung Kinpo, ada air mancur dan taman bermain. Selain itu, ada taman besar bernama Taman Somiya yang dilengkapi fasilitas umum seperti perpustakaan untuk tempat bersantai.


Waktu kecil, di sana juga ada kebun binatang dan akuarium mini. Ada singa, penguin, dan merak. Aku sering ke sana bareng Shizuka. Aku kasihan padanya, karena bahkan sejak kecil dia sudah seperti terkunci dalam kandang.


Meski disebut akuarium, isinya cuma ikan air tawar yang hidup di Sungai Nagase, seperti ayu dan ikan lele. Tapi di tengah ruangan ada monumen alami seekor salamander raksasa—tubuhnya yang licin dan berlendir masih terbayang sampai sekarang.


Anehnya, Shizuka sangat menyukai bangunan itu, walau semua fasilitas itu sudah lama dihancurkan.


Sambil membenam dalam kenangan, Keito menghentikan sepedanya saat mereka hampir tiba.

◇◇◇


Seiko memandangi bangunan di depan mereka dari atas sampai bawah, lalu menatap gambar bunga tsuyukusa (Asiatic dayflower) yang menghiasi pintu masuk dan bergumam dengan nada kagum,


“Lukisan yang indah sekali …. ”


Lalu, “ … Apakah nenekku ada di sini?”


Seiko sebenarnya tak pernah melupakan tujuan mereka datang. Hanya saja, dia memaksa dirinya untuk bersikap ceria demi menyembunyikan wajahnya yang ketakutan.


Bunyi lonceng berdentang, menandakan kedatangan mereka saat pintu dibuka dan wajah Utaha menyambut mereka.


“Selamat datang, Aikawa-kun. Dan untukmu juga, aku sudah menunggu.”


“Halo. Aku Haruchika Seiko, teman sekelas Aikawa-kun.”


Suara Seiko terdengar gugup saat menyapa Utaha.


“Apakah dia orang yang kita cari?”


Seiko menatap Keito dengan bingung, tapi Keito mengangguk pelan.


“Begitu ya. Jadi dia temannya. Mungkin ini yang disebut takdir juga.”


“ … Aikawa-kun, siapa orang ini sebenarnya?”


“Oh, maafkan aku. Namaku Umegae Utaha, pengelola utama tempat ini,
[Tsuyukusa]. Kali ini, aku meminta bantuan Aikawa-kun untuk mencari seseorang bernama ‘Chikako’. Ini demi nenekmu.”


“ … ’Chikako’? Dari mana kau tahu nama itu …?”


Seiko terkejut hingga menahan napasnya.


“Hei, Aikawa-kun, sebenarnya ada apa ini? Apa nenekku benar-benar ada di sini? Kenapa kamu punya potret nenekku? Hanya sedikit orang yang memanggilku 'Chikako', jadi dari mana kamu tahu nama itu?”


Setelah berkata demikian, Seiko terus bicara seperti air yang memancar deras dari bendungan yang jebol. Tampaknya dia sudah mencapai batas kesabarannya dan sekarang sedang meluapkan segalanya.


“Bahkan aku sendiri belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi di sini,” kata Keito sambil menatapnya, menerima luapan emosi Seiko dan mulai menjelaskan.


“Percaya atau tidak, roh nenekmu … ada di sini.”


Lebih tepatnya, ia adalah kata yang hilang. Tapi penjelasan tentang itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan dengan cara biasa.


“Kamu nggak sedang mengerjaiku … kan?”


“Utaha-san dan aku … kami bisa melihatnya. Aku tahu ini sulit dipercaya.”


Hanya Utaha dan Keito yang bisa melihat kata-kata yang hilang. Bahkan, bentuk roh yang diduga neneknya belum terlihat dengan jelas.


Tepat saat ia berpikir begitu, seorang wanita tua mulai berjalan perlahan. Meskipun caranya berjalan terlihat agak berbahaya, dia jelas-jelas sedang menuju ke arah Seiko.


Wanita itu lalu berdiri di samping Seiko. Mata kecilnya yang tampak terselip di antara kerutan wajahnya seolah menarik perhatian Seiko.


“Dia sekarang ada di sebelah kirimu, Haruchika.”


“Nenekku … benar-benar?”


Seiko menoleh ke kiri dan mengulurkan tangan kirinya, tapi gerakan itu sia-sia—tidak menyentuh apa pun.


“Tidak mungkin Aikawa-kun sedang mengerjai atau mengejekku. Lagipula, kamu tahu soal ‘Chikako’. Jadi … wajah seperti apa … yang nenekku tunjukkan sekarang?”


“Wajahnya? Sama seperti di potret, sih.”


“Jadi … dia nggak marah?”


Itu pertanyaan yang cukup aneh.


“Tidak kok, seingatku tidak. Dia nggak menunjukkan ekspresi apa-apa.”


“ … Benarkah?”


Saat Seiko merasa cemas dan mengingat kembali rasa tidak nyaman yang sempat ia rasakan, Keito menjawab dengan nada tenang yang sama.


“Aku mengerti.”


Seiko menghela napas lega.


Nenek tua itu, yang dari tadi memperhatikan percakapan mereka, akhirnya membuka suara dan berkata, "[Chikako]". Lalu, dia menyebut nama-nama lain: "[Shouta]", "[Minoru]", "[Katsuo-san]", "[Atsuko-san]"—empat nama sekaligus.


“Haruchika, siapa mereka?”


“Ah .…”


Seiko menutup mulutnya, lalu mengerang pelan.


“Shouta itu adik laki-laki … atau lebih tepatnya, ayahku. Katsuo itu kakekku yang sudah meninggal, dan Atsuko itu ibuku … Aku tadi masih ragu, tapi sepertinya memang benar—nenekku ada di sini.”


Ia mengulurkan tangannya sekali lagi.


“Kalau boleh tahu, siapa nama nenekmu?”


“Namanya Haruko. Haruchika Haruko. Setelah menikah dengan kakekku, dia mendapat nama belakang yang agak aneh dan sering jadi bahan olokan.”


“Namaku dibaca sebagai Seiko (
せいこ), tapi nenekku lebih suka membacanya sebagai Haruchika Chikako (はるちかちかこ). Makanya dia selalu memanggilku ‘Chikako’. Itu adalah sesuatu yang cuma diketahui oleh keluarga ….”


“Terima kasih banyak. Jadi namamu adalah Haruko-san. Sekarang aku bisa mengembalikan namamu padamu.”


◇◇◇


Utaha tersenyum lembut pada wanita tua itu—Haruchika Haruko.


“Bisakah Anda menceritakan lebih banyak tentang Haruko-san? Misalnya, kapan dan bagaimana beliau meninggal, seperti apa kepribadiannya semasa hidup, dan lain sebagainya. Cukup katakan apa yang Anda tahu.”


“Apa yang akan terjadi kalau aku memberitahumu? Misalnya kalau roh nenekku memang benar ada di sini … apa kamu akan … hmm, mengantarkannya ke surga? Aku sendiri masih belum yakin dengan semua yang terjadi di sini.”


“Maaf kalau membuat bingung. Tadi Aikawa-san memang menjelaskan secara singkat bahwa beliau ini adalah roh, tapi lebih tepatnya aku menyebut mereka sebagai kata yang hilang. Kata-kata haruslah akurat. Kalau kau memberi mereka nama yang salah, ada kemungkinan kau malah memberi mereka sifat yang berbeda. Mulai sekarang, aku akan menyebutnya sebagai kata yang hilang dari Haruko. Anggap saja ini janji.”


“Baiklah.”


Seiko mengangguk pelan, meskipun jelas ia belum benar-benar mengerti.


“Tolong jelaskan kata yang hilang padanya, Aikawa-san.”


Setelah Utaha pergi, Keito pun mulai menjelaskan tentang kata yang hilang dengan caranya sendiri. Meskipun ia tak yakin bisa menjelaskannya dengan benar, setelah mendengarkan dan merenung, Seiko pun bergumam dengan suara bergetar:


“Apakah … nenekku punya kata-kata terakhir yang belum sempat beliau sampaikan …?”


“Aku juga belum tahu pasti,” jawab Keito pelan, “tapi aku yakin Haruchika dan yang lain pasti ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Kupikir, itu bukan sesuatu yang keliru.”


“Ada satu hal yang ingin saya tanyakan, Seiko-san. Apakah Haruko-san menderita demensia?”


Kemarin, Utaha memang sempat membuat asumsi tentang wanita tua ini—dalam kata lain, kata yang hilang dari nenek Seiko.


Seiko menarik napas dan mengangguk pelan, lalu berkata, “Iya ….”


“Biasanya beliau waras, tapi kadang gejalanya muncul. Dalam kondisi begitu, beliau bisa lupa keluarganya. Bahkan pernah lebih parah, seperti mengira uangnya dicuri, atau ribut karena merasa barang-barangnya hilang … Padahal sebenarnya, nenek itu orangnya baik dan lembut sekali. Karena itulah … hal seperti itu cuma terjadi saat penyakitnya kambuh ….”


Seiko terdiam, kata-katanya tersendat. Keito menunggu, tapi keheningan itu bertahan lama—seakan mereka berdua sedang mencari kata yang tepat untuk melanjutkan.


“Utaha-san, bisakah kau buatkan kopi seperti biasa?”


Karena sebelumnya Utaha menerima permintaan Keito dan sudah pergi dari tempat duduknya, kini ia hanya berdua dengan Seiko. Lebih tepatnya, ditemani kata yang hilang dari Haruko, yang sedang bersandar diam di samping mereka.


“Umm … kau baik-baik saja?”


“Sejak sore, terlalu banyak yang terjadi, dan kurasa aku belum bisa memahami semuanya.”


Seiko tertawa kecil, getir.


“Maaf sudah menyeretmu dalam hal yang … aneh seperti ini. Tapi ini semua memang penting. Apa sebaiknya aku tinggalkan tempat ini?”


Ada dua jenis situasi—yang satu adalah saat kau bicara pada orang asing, dan satunya lagi, adalah hal-hal yang sulit diucapkan justru karena kau mengenal orang itu. Tak mudah membuka diri pada teman sendiri, karena ada hubungan yang terlalu dekat untuk bisa jujur dengan ringan.


“Terima kasih, tapi aku baik-baik saja. Utaha-san agak aneh, ya? Maksudku bukan hal buruk. Dia cantik, misterius, dingin tapi juga penuh semangat. Aku jadi ingin menggambar dirinya.”


“Gambarmu pasti indah, Haruchika.”


“Tempat ini bagus sekali. Ini sebenarnya kafe ya? Atau museum seni? Setelah aku tenang, aku ingin lihat-lihat sekeliling dengan lebih santai. Hanya dengan menceritakan tempat ini, aku sudah merasa senang bisa datang kemari.”


“Maaf membuat kalian menunggu.”


Utaha kembali sambil membawa tiga cangkir, dan meletakkannya di depan masing-masing. Keito tahu persis rasa kopi aslinya dan diam-diam menantikan reaksi Seiko.


“Ini … rasanya aneh.”


Seiko menyeruput sedikit dan mengernyit. Tampaknya rasa minuman itu tidak sesuai dengan seleranya.


“Ini bukan kopi sungguhan, kan?”


“Jadi kau menyadarinya. Ini bukan kopi dari biji kopi. Minuman ini dibuat dari akar dandelion yang dikeringkan.”


“Jadi ini yang namanya kopi dandelion. Aku pernah dengar sebelumnya, tapi baru kali ini mencobanya. Rasanya agak mirip seperti obat. Tap i… apa rasanya akan jadi manis kalau aku sudah terbiasa?”


Seiko menyeruput sekali lagi, menelan perlahan.


“Pertama kali ini rasanya aneh banget.”


“Ini kopi penuh kenangan yang diajarkan ibuku padaku. Kalau tidak suka, kau tak perlu memaksakan diri, Seiko-san. Aku bisa buatkan minuman lain.”


“Tidak, tidak apa-apa.”


Seiko menghabiskan kopi itu bersama dengan cokelatnya.


“Aikawa-kun, Utaha-san … aku akan menceritakan tentang ibuku dan nenekku.”


Setelah suasana hatinya mulai tenang, Seiko berbicara dalam nada yang lebih formal kepada Utaha, yang sedang membereskan cangkir-cangkir di hadapannya.


Ia menyebut ‘ibu dan nenek’-nya. Rupanya bukan hanya neneknya yang terlibat—ibunya juga.


“Bahkan dari sudut pandangku sebagai anak, aku tahu ibuku sangat perhatian merawat nenek yang mengidap demensia. Meski kondisi jantungnya agak lemah, beliau tak pernah berhenti bergerak. Karena itu, gejala demensia nenek jadi sangat merepotkan. Kadang beliau bisa berlaku kasar, bahkan menyakiti ibuku. Tapi … aku tetap sangat menghormati ibuku yang terus merawat nenek tanpa mengeluh.


Aku sempat mengadu ke ayahku, tapi beliau sibuk bekerja. Aku sendiri harus sekolah. Jadi akhirnya hanya ibuku yang bisa menjaga nenek di siang hari. Kami juga masih punya Shouta yang masih kecil waktu itu. Aku juga kadang bantu saat libur. Petugas dari panti jompo pun pernah datang. Tapi gejalanya nggak selalu muncul. Kalau sedang waras, nenek bisa hidup mandiri. Sebaliknya, meminta bantuan perawat pun bisa jadi repot.


Kupikir ibuku sudah sangat lelah. Walau tampak tenang, jelas ia menahan banyak hal. Tapi kami juga tak bisa berbuat banyak. Ayah kerja, dan aku sekolah. Hari demi hari, semangat ibuku perlahan padam. Nenek bisa berubah dari wajah lembut jadi marah-marah, tak tentu waktu, tanpa tanda-tanda. Dari akhir tahun lalu sampai awal tahun ini, suasana rumahku benar-benar murung.


Lalu, pada suatu hari bersalju … beliau roboh. Saat itu hanya ada tiga orang di rumah: ibuku, adikku, dan nenek. Ibu harus merawat adik, menyekop salju, masak untuk keluarga. Karena itulah beliau tak sadar nenek sudah jatuh.


Waktu akhirnya menelepon ambulans, jalanan macet salju. Kendaraan tidak bisa sampai tepat waktu. Saat nenek dibawa ke rumah sakit … semuanya sudah terlambat. Dokter bilang, penyebabnya serangan jantung. Jantung beliau yang memang lemah, tidak kuat menahan dingin ekstrem.”


Nenek Seiko wafat sekitar empat bulan lalu dari sekarang. Hari itu salju turun sangat deras—hal yang langka di Kota Sonomiya. Keito pun masih ingat betapa sulitnya berangkat sekolah waktu itu.


Seiko menundukkan kepala, diselimuti penyesalan. Perasaan kehilangan—dan frustrasi karena tidak berada di samping orang yang dicintai di saat terakhir—adalah sesuatu yang Keito pahami betul.


Mungkin, Seiko merasa bersalah. Mungkin, dia meyakini bahwa ada kemungkinan lain … kemungkinan di mana neneknya bisa diselamatkan jika dia berada di sana mendampingi mereka.


“Sampai hari ini, aku masih sering bermimpi tentang hari itu. Nenek sendirian, memegangi dadanya, kesakitan. Tapi tak ada seorang pun datang menolong. Bukan ibuku, bukan aku, tidak ada siapa pun …Dan saat aku terbangun dari mimpi itu, dadaku terasa seperti disayat. Seolah-olah jantungku sendiri dicungkil keluar. Seperti itulah rasanya. Mungkin … mungkin ini bukan mimpi ….”


Keito menyadari apa yang ingin diutarakan Seiko, dan baginya, kata-kata itu terlalu menyakitkan untuk diucapkan langsung.


Saat ia melirik ke arah Utaha, bibir gadis itu terkatup rapat. Ia tak mengucap sepatah kata pun. Satu-satunya yang bicara hanya Keito.


“Mungkin … yang kamu pikirkan adalah … ibumu sebenarnya sadar, tapi tidak melakukan apa-apa … bukan begitu, Haruchika?”


Seiko membuka matanya lebar-lebar. Lalu, mengangguk. Bahkan sebelum Keito sempat menyelesaikan kalimatnya.


◇◇◇


“Akhir-akhir ini, perasaan itu tidak bisa aku enyahkan dari pikiranku. Aku tahu aku tidak seharusnya meragukan ibuku, tapi … aku tak bisa … Mungkin sekarang aku justru lebih khawatir daripada saat nenek masih hidup.


Karena aku tak bisa bertanya langsung pada ibuku soal itu.


Itulah kenapa aku takut dengan apa yang ingin disampaikan nenek. Apakah beliau akan menyalahkan ibuku? Tidak … mungkin dia juga akan menyalahkanku. Aku juga tak bisa membantu ibuku karena sibuk sekolah. Jadi, aku sama bersalahnya .…”


Seiko menundukkan kepala, penuh rasa malu setelah mengucapkan semua itu.


Untuk sesaat, baik Keito maupun Utaha tak mengeluarkan sepatah kata. Keito merasa, tak pantas rasanya menanggapi luka yang begitu dalam dengan kata-kata yang enteng.


“Namun demikian—”


Utaha akhirnya membuka suara.


“Sebagai penyampai pesan, kita harus menyampaikan kata-kata yang hilang itu kepada orang yang dituju.”


“Bahkan jika orang yang mendengarnya menolak?”


“Kita tak tahu pasti apa yang ingin Haruko-san sampaikan. Jadi, ada kemungkinan besar kalau yang akan kau dengar justru kebenaran yang berbeda dari apa yang kau takutkan, Seiko-san. Dan kalaupun ternyata kekhawatiranmu memang benar … pesan itu tetap harus disampaikan.”


“Kau bilang, kalau kata-kata yang hilang itu tak disampaikan, maka akhirnya akan menghilang, kan? Jadi … kenapa tidak menunggu saja sampai hilang? Katanya, ketidaktahuan itu anugerah.”


“Aku tak bisa melakukan itu. Sayangnya, memang ada beberapa pesan yang tidak pernah tersampaikan dan akhirnya lenyap. Tapi kalau pesan itu hadir tepat di hadapanku—aku tak akan meninggalkannya. Itulah harga diriku sebagai penyampai pesan.”


“Utaha-san, Aikawa-kun … aku ingin mendengar kata-kata yang ingin disampaikan oleh nenekku yang tercinta.”


Seiko memotong percakapan mereka dengan suara mantap.


Keito menatapnya sejenak seolah bertanya, "kau yakin?" Dan Seiko mengangguk pelan, penuh keteguhan.


“Aikawa-san, bisa ceritakan pada Seiko-san keadaan kata-kata yang hilang Haruko-san sejak kau menemukannya?”


“Baik.”


Keito menenangkan diri, lalu mulai menceritakan kejadian sejak dua hari yang lalu sepulang sekolah.


Ia menceritakan bagaimana ia menemukan Haruko-san sedang berjongkok di pinggir jalan, memanggilnya, lalu menggendongnya hingga sampai di depan bangunan ini. Dan tiba-tiba saja, Utaha sudah ada di dalam toko.


“Jadi, Aikawa-kun yang menemukan nenekku ya. Terima kasih.”


“Kau juga mendengar kata 'Chikako' saat menggendongnya, bukan? Seiko-san, apakah nama itu berarti sesuatu untukmu?”


Seiko menggumam, “mungkin,” menanggapi pertanyaan Utaha.


Dan sebelum Seiko sempat bertanya lebih lanjut,


“Biar aku yang tangani sisanya. Seiko-san, kau adalah orang yang penuh kasih. Aku yakin, Haruko-san tak pernah melupakan itu.”


Utaha mengambil secarik kertas dari atas meja. Jenis kertas yang sama dengan yang dipakai Michizane saat menulis puisi waka sebelumnya.


“Haruko-san.”


Utaha mengambil kuas kaligrafi dan menghadap ke Haruko. Sosok itu memperlihatkan ekspresi yang kabur… hampa.


“Selanjutnya, mohon dengarkan baik-baik, Seiko-san.”


Keito mendorong Seiko untuk maju ke depan. Ia sendiri tetap mengamati apa yang terjadi di belakang Utaha.


“Aikawa-san, perhatikan apa yang akan terjadi.”


Utaha mencelupkan ujung kuas ke tinta hitam dan dengan anggun menggoyangkan tetes-tetes air dari kuas.


Ia memegang kertas di dada dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya mulai menggoreskan kuas, mengalir begitu saja seperti dibimbing oleh sesuatu yang tak kasat mata.


"Menggendong ibu di punggung sebagai candaan,


dan menangis pelan setelah tiga langkah berjalan."


Pada saat yang sama, kata-kata yang keluar dari mulut itu terdengar seperti sebuah lagu untuk mengenang seorang ibu yang telah menua. Ibu tua yang sudah lama tidak digendong itu terasa begitu ringan—saking ringannya sampai membuatnya ingin menangis.


Itu adalah sebuah puisi karya Ishikawa Takuboku.


Aku ingat, aku pernah mempelajarinya di kelas. Puisi itu termasuk dalam kumpulan puisi berjudul
'Segenggam Pasir'.


Dari tempat duduknya, Keito menyapu pandangan ke seluruh ruangan, membayangkan pantai yang mungkin menjadi simbol dari kata pasir itu.


Di pantai itu, Seiko berjalan di bawah matahari yang hampir tenggelam. Ia melangkah dengan punggung yang membungkuk perlahan. Di punggungnya, ada sosok Haruko. Seiko sedang menggendongnya.


Kaki neneknya sudah lemah, dan mungkin akan sulit berjalan sendiri.
Namun begitu, Seiko terus melangkah, tanpa tahu harus ke mana. Ia hanya terus berjalan lurus ke depan, dengan sepenuh hati, meninggalkan jejak kaki di atas pasir.


Baik Seiko yang menggendong, maupun Haruko yang digendong, keduanya terlihat bahagia.
Mungkin … mereka sedang berjalan pulang ke rumah yang selalu mereka rindukan.


Gambaran itu lenyap sekejap, dan Keito sadar kalau Utaha masih berada di dekatnya. Sosok kata-kata yang hilang dari Haruko sedang menatap Utaha. Kemudian, tatapan itu bergeser ke arah Seiko. Matanya bersinar lebih kuat dari sebelumnya.

"[Seiko]"


Kata itu diucapkan jelas dari mulut Haruko—memanggil Seiko dengan kesadaran penuh.


"[Shouta]" "[Minoru]" "[Katsuo-san]" "[Atsuko-san]"


Nama-nama anggota keluarga itu terus menggema satu per satu seperti sebelumnya, tapi kali ini terasa lebih kuat.

“Nenek .…”


Yang pertama menyadari perubahan makna dalam kata-kata itu adalah Seiko sendiri.


—Eh?


“Haruchika, kau dengar itu juga?”


“Iya. Aku tak hanya mendengarnya, nenek juga ada di sana … aku bisa melihatnya. Aku juga bisa melihatnya.”


Seiko terhuyung selangkah ke depan, lalu mendekat pada Haruko. Ia meletakkan tangannya di wajah keriput Haruko dan membelainya dengan penuh kasih.


“[Seiko, Shouta, Minoru, Atsuko-san. Dan Katsuo-san.]”


Haruko menyebutkan nama anggota keluarganya, seolah ada yang membimbingnya untuk mengucapkannya satu per satu.


Situasi saat ini begitu jelas terlihat oleh Keito. Kata-kata yang hilang dari Haruko masih sama seperti sebelumnya, namun tatapannya kini menyimpan maksud dan perasaan yang tak tertulis.


“Iya, iya, semuanya … baik-baik saja.”


Seiko mengangguk berkali-kali sambil tersenyum kecil.


“Hei, Haruchika…”


Keito yang teringat akan gambaran sebelumnya pun memberikan saran,


“Haruchika, bagaimana kalau kau menggendong Haruko-san?”


Saat ia menoleh pada Utaha, gadis itu mengangguk diam-diam seolah menyerahkan segalanya pada Keito.


“ … Baik.”


Seiko berlutut di depan Haruko dan menunjukkan punggungnya. Kata-kata yang hilang Haruko perlahan meletakkan tangan keriputnya yang kecil ke bahu Seiko, seolah tubuhnya ditarik pelan.


“Hap! Rasanya aneh sekali … bisa menggendong seseorang lagi. Nenek … kau jauh lebih ringan daripada yang kuingat. Tapi kehangatanmu … terasa sampai ke tubuhku.”


Suaranya tercekat, tercecer dalam air mata.


“[Seiko-chan … berkat kalian semua, aku hidup dalam kebahagiaan. Terima kasih atas segalanya. Aku tak pernah sempat mengatakannya, Tapi aku selalu bersyukur.]”


Itulah kata perpisahan terakhir dari Haruko. Sebuah ucapan yang tak sempat ia nyatakan, yang membuatnya berubah menjadi kata-kata yang hilang. Hanya satu pesan. Tapi itu sudah cukup.


Setelah menyampaikan pesannya, ia tersenyum … penuh rasa lega. Namun Seiko tak bisa mengerti sepenuhnya makna senyuman itu.


“Haruchika … Haruko-san tersenyum.”


Mendengar suara Keito, Seiko pun perlahan menurunkan neneknya dari punggungnya.


“Tolong … nenek… bicaralah lagi denganku … biarkan aku melihat wajahmu ….”


Seiko meraih tangan neneknya, memegangnya erat seolah tak ingin dilepaskan.


Ketika Seiko mempererat genggamannya, Haruko menunjukkan sedikit kerutan di wajah—ekspresi yang samar, tapi jelas.


Itu adalah bukti bahwa kasih sayang Seiko telah sampai kepadanya.


“Terima kasih.”


Ia mengucapkannya sekali lagi, sambil tersenyum—lalu menghilang dari pandangan Keito dan yang lainnya.


Semua itu hanya berlangsung beberapa menit. Namun, rasanya … cukup untuk seumur hidup.


◇◇◇


“ … Nenek.”


Seiko bergumam lirih, lalu terduduk di tempat. Tadi, hanya beberapa saat sebelumnya, ia masih mengulurkan tangan ke arah tempat di mana Haruko berdiri—namun sia-sia.


Keito meraih tangan Seiko yang tak bisa berdiri.


Seiko menggenggam tangannya erat dan berkata,


“Orang terakhir yang menggenggam tanganku adalah nenekku, tahu? Tangannya memang sangat rapuh … tapi genggamannya sangat kuat.”


“Hey, Haruchika,” Keito berkata, “Kurasa, saat Haruko-san tiba-tiba pingsan karena serangan jantung, hal yang paling ingin ia sampaikan di detik-detik terakhirnya … adalah ucapan terima kasih kepada keluarganya. Kalau begitu, kau tak perlu mengkhawatirkan apa pun lagi.”

Di saat-saat terakhir seseorang yang sekarat, tak akan ada kebohongan. Meski ia sudah lupa bagaimana caranya bicara, neneknya tetap memikirkan keluarganya sampai akhir.


“ … Iya. Aku sangat bersyukur bisa melihat nenekku sekali lagi, senang bisa mendengar suaranya. Dan hanya dengan mendengar kata-katanya saja, aku sudah bahagia.”


Meski suaranya bergetar karena tangis, Seiko tetap melanjutkannya dengan berani.


“Kau sudah bisa tenang sekarang?” tanya Keito, meski matanya sendiri mulai basah.


“Iya, terima kasih. Jangan khawatir.”


“Sepertinya … digendong di punggung punya makna spesial bagi Haruko-san.”


“Kau tahu?”


“Sejak aku dengar cerita dari Aikawa-san, aku sudah menduganya. Kata-kata yang ingin disampaikan biasanya lahir dari kenangan yang paling membekas. Dan mungkin itu adalah kenangan paling dalam bagi Haruko-san. Kalau kau bisa memahami hal itu, maka itu akan jadi kunci untuk menggali kata-kata yang hilang.


Jelas aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kalian, tapi—aku yakin, ada makna yang sangat dalam saat Haruchika-san menggendong Haruko-san di punggungnya.”


“Awal tahun ini, pernah ada kejadian … Aku dan nenek sedang jalan-jalan, tiba-tiba dia lupa di mana dia berada, dan mau ke mana. Aku masih bersamanya, tapi tiba-tiba aku kehilangan jejak di tengah keramaian tahun baru. Akhirnya aku menemukannya … tapi nenekku tidak mengenaliku. Dia malah ingin pergi ke suatu tempat. Aku bener-bener nggak tahu harus gimana .…


Yang kupikirkan waktu itu cuma: ‘di luar dingin sekali, kita harus pulang’. Tapi sayangnya, rumah kosong. Jadi aku memutuskan untuk menggendongnya pulang .… Aneh ya, tapi dia tetap diam di punggungku.


Nenekku itu ringan dan kecil. Bahkan aku yang kecil ini bisa membawanya. Dia bernapas dengan tenang … dan tertidur di tengah jalan. Berkat seseorang yang baik hati, aku bisa sampai di rumah. Waktu itu, rasanya seperti aku yang menjadi dewasa, dan nenekku menjadi seperti anak kecil.


Jadi … Aikawa-kun juga menggendong nenekku seperti itu ya? Terima kasih .…”


“ … Aku nggak ngapa-ngapain kok.”


Aku hanya merasa itu hal yang wajar untuk dilakukan. Tapi kalau ternyata itu berhubungan dengan kejadian hari ini… maka aku sangat bersyukur.


“Waktu itu, aku sadar … kalau aku memang menyayangi nenekku. Walau ada suka dukanya, tapi lebih banyak kenangan indah bersamanya.”


“Mungkin ibumu juga begitu, Haruchika. Makanya dia merawat nenekmu sepenuh hati—sampai kamu pun bisa lihat bahwa itu adalah bentuk cinta. Aku yakin nenekmu pun menyadari dan menghargai itu.”


“Iya … Terima kasih.”


Seiko mengusap air matanya dengan sapu tangan, lalu mengangguk.


“Waktu Utaha-san membacakan tanka tadi, aku seperti melihat Haruchika menggendong Haruko-san di punggungnya, di pantai saat senja. Apa itu?”


“Begitu ya .…” Utaha tampak terkejut.


“Kelihatannya, Aikawa-kun … kau sudah melewati batas kepekaan biasa. Bisa dibilang, empati dan kepekaanmu luar biasa tinggi. Kemampuan untuk membaca, memahami—berduka atas penderitaan orang lain, dan mendoakan kebahagiaan mereka.


Itulah kenapa … kau bisa ‘melihat’ kata-kata yang hilang. Itulah kenapa kau bisa berpikir dengan sudut pandang para kata-kata yang hilang. Kemampuan seperti itu sangatlah penting.”


“Ah, aku tahu juga. Itu karena Aikawa-kun adalah orang yang baik.”


“ … Benarkah?”


Aku pikir diriku ini lemah… dan aku tidak yakin apakah aku benar-benar orang yang baik.


“Iya. Kamu itu mudah tersentuh, Aikawa-kun. Tapi kamu selalu terlihat seperti sedang menahan air mata. Menurutku, itu bukti kalau kamu orang yang baik.”


Dia menyadari itu? Keito langsung mengganti topik, seolah ingin menghindar.


“Kenapa Utaha-san membacakan puisi?”


Alasan yang digunakan sebagai dalih untuk ‘mendapatkan kembali’ kata-kata yang ingin Haruko sampaikan adalah puisi Takuboku itu.


“Sebelumnya aku bilang, kan? Aku pernah melihat ibuku memikirkan kata-kata yang hilang, lalu menarik keluar makna yang ingin ia sampaikan. Tapi aku tidak bisa menggunakan metode yang sama seperti ibuku.


Karena itulah, meski aku dibandingkan dengannya, aku harus tahu lebih banyak tentang ‘kata-kata yang hilang’. Aku ingin mendorong punggungmu, membantumu mengingat kata-kata yang perlu disampaikan.


Aku akan menggunakan metode ini—karena kata-kata menyimpan kekuatan di dalamnya. Dengan meminjam kata-kata dari para tokoh besar, kita bisa menyerap makna dari kata-kata yang hilang. Dengan membacanya, kita bisa mengingat kembali. Itulah caraku, sebagai seorang pengirim pesan.”


“Kalau begitu … aku harus melakukan apa?”


Pertemuan dengan kata-kata yang hilang dari Shizuka sepertinya akan segera terjadi. Apa aku juga harus menggunakan cara yang sama seperti Utaha untuk bisa mendengarnya? Atau ...?


“Metodenya berbeda-beda, tergantung orangnya. Kamu harus menemukannya sendiri, Aikawa-san.”


Jawaban Utaha terasa singkat dan to the point, bahkan agak datar. Tapi Keito merasa … mungkin suatu saat ia memang harus mencari jawabannya dari dirinya sendiri.


Begitu ia melangkah keluar, langit sudah sepenuhnya gelap.


“Lain kali, tunjukkan aku foto-foto lainnya ya.”


“Aku akan selalu menunggumu.”


“Haruchika, kamu bisa pulang sendiri?”


“Un. Aku nggak sepenuhnya baik-baik saja … tapi ya mau gimana lagi, kan? Mungkin mama bakal marah begitu aku sampai rumah, tapi dibandingkan dengan apa yang terjadi hari ini … itu bukan apa-apa. Begitu aku pulang, aku akan coba bicara dengan mama lagi.”


Seiko berjalan lebih dulu ke arah halte bus dan pulang.


Utaha menatap Keito yang masih berdiri di tempat.


“Aikawa-san, terima kasih untuk hari ini.”


“Seharusnya aku yang bilang begitu. Suatu hari nanti … apa aku bisa melihat Shi-chan juga?”


Akankah tiba saat di mana Shizuka bisa muncul di hadapan Keito dan berbicara padanya, seperti Haruko?


Apa sebenarnya kata-kata yang hilang Shizuka ingin sampaikan pada Keito? Dan... benarkah Keito adalah orang yang dimaksud?


Hal itu masih belum jelas.


Kalau ia mengingat kembali kejadian di hari itu… bisa jadi bukan sesuatu yang menyenangkan.


Mungkin saja … Shizuka ingin mengungkapkan dosa Keito.


“Pasti.”


Utaha menjawab singkat, dan Keito berkata pada dirinya sendiri, saat Utaha melanjutkan,


“Tak ada kebohongan dalam kata-kata yang dititipkan oleh ‘kata-kata yang hilang’. Di sana hanya ada kebenaran. Di dunia yang penuh dengan kepalsuan ini, aku ingin terus menjadi seorang pengirim pesan agar bisa menyampaikan perasaan mereka. Akhirnya, aku bertemu dengan pengirim pesan lain selain ibuku. Karena itu … mulai sekarang, tolong terus bantu aku.”


Ucapannya lebih terdengar seperti gumaman pada dirinya sendiri daripada permintaan kepada orang lain.


Di sekitar area
[Tsukuyusa], banyak restoran berdiri, dan setelah matahari terbenam, lebih banyak orang yang melintasi jalan daripada di siang hari. Orang-orang mengobrol sambil berjalan pulang dari tempat kerja, di bawah cahaya lampu jalan. Di tengah pemandangan biasa itu, hanya Keito dan Utaha yang tetap diam—seolah terpisah dari dunia sekitar.


“Oke.”


Keito mengangguk, seolah baru teringat sesuatu.


Utaha pun menunggu persetujuan yang serupa, lalu pergi meninggalkan tempat itu.


◇◇◇


Setelah beberapa waktu, Keito membawa Seiko untuk bertemu Utaha sekali lagi.


Keito sendiri masih menunggu datangnya kata-kata yang hilang dari Shizuka, dan karena itu ia hampir setiap hari datang ke
[Tsukuyusa].


Namun Seiko juga—sejak hari itu—terus datang.


Ketika mereka berdua berboncengan di sepeda yang sama, Keito kembali kehabisan napas.


“Aikawa-kun, kayaknya kamu perlu latihan fisik deh.”


“Itu sebabnya aku bilang kamu mending naik bus aja.”


Seiko kembali mengucapkan terima kasih pada Utaha, dan Utaha hanya menjawab dengan, “Tidak perlu mengatakannya padaku.”


“Haruchika, kamu sudah bicara dengan keluargamu soal kejadian waktu itu?”


“Aku nggak ngomong langsung, sih. Aku nggak yakin bisa menjelaskannya dengan baik. Tapi … aku sempat nanya sedikit ke mama. Dan sepertinya, mama merasa lebih bersalah daripada yang aku bayangkan … karena nggak menyadari perubahan nenek di hari itu.


Katanya, dia masih sering bermimpi tentang hari saat nenek meninggal. Aku juga begitu. Aku terus berpikir … apa ada sesuatu yang bisa aku lakukan supaya beliau bisa diselamatkan?


Mau berduka sedalam apa pun, rasanya nggak cukup. Mau menyesal seberapa pun, rasanya nggak akan selesai.


Aku sadar … mama juga merasa terjebak dalam perasaan itu. Tanpa sadar, aku mulai memikirkan hal-hal yang menyedihkan lagi, dan kali ini … aku merasa sedih banget.”


Keito sangat memahami perasaan ibu Seiko.


Mimpi masa lalu yang tiba-tiba datang itu terasa seperti serangan batin. Ketika hati sedang rapuh, semuanya terasa jauh lebih menyakitkan. Dia ingat, Seiko sempat bilang hal yang sama beberapa waktu lalu.


“Akan lebih baik kalau mama ada di sana hari itu ….Tapi ya, nggak bisa disalahkan juga, kan? Itu pertama kalinya aku lihat ekspresi wajah seperti itu dari mama. Selama ini, mama selalu memposisikan dirinya sebagai seorang
[ibu]. Tapi kenyataannya kan nggak sesederhana itu.


Dia baru menyadari … bahwa dia juga cuma manusia biasa. Mungkin selama ini, aku juga dengan seenaknya menaruh semua tanggung jawab ke sosok
[ibu]. Mulai sekarang, aku akan coba pakai kesempatan ini buat pelan-pelan ngomong soal kenangan tentang nenek ke mama.”


Mulai dari titik ini, bukan lagi ranah Utaha atau Keito untuk ikut campur. Ini adalah perjalanan yang harus dilalui sendiri oleh keluarga Haruchika.


Namun bagi Keito, bisa membantu menciptakan langkah pertama itu… adalah pengalaman yang sangat berharga.


Atas permintaan Seiko, dia pun berjalan pelan mengamati bagian dalam toko. Keito sendiri sudah sering melihat lukisan-lukisan di sana, tapi dia merasa … kalau melihatnya bersama Seiko, mungkin akan terasa berbeda.


Dan memang benar—cara pandang Seiko terhadap lukisan berbeda dari dirinya. Itu terasa segar dan membukakan mata. Momen paling berkesan adalah saat mereka berdiri di hadapan lukisan Shizuka.


Seiko yang sudah tahu tentang kata-kata yang hilang, mengaku kalau ia merasakan sesuatu dari lukisan potret itu—lukisan yang dibuat oleh ibunya Utaha.


Namun tidak ada yang memberitahu Seiko bahwa gadis dalam lukisan itu adalah teman masa kecil Keito.


Tentu saja, Keito tidak bisa mengatakannya.


“Cantik banget ya … Kurasa, dia seumuran kita?”


Keito sekarang sudah setahun lebih tua dibandingkan usia Shizuka saat ia meninggal. Itulah sebabnya, gadis dalam lukisan itu kini terlihat setahun lebih muda dari dirinya.


Seiko menatap lukisan itu dari berbagai sudut—dari depan, dari samping, dari jarak dekat dan jauh—dengan penuh perhatian.


“Kamu suka banget sama lukisan itu?”


“Bukan cuma lukisan ini, tapi menurutku … lukisan-lukisan Mari-san itu misterius banget. Ekspresi wajahnya bisa berubah tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Kalau dilihat dari depan, menurutku … dia tampak seperti sedang sedih. Seperti sedang menunduk.”


“Masa, sih?”


Keito berdiri di samping Seiko dan ikut menatap lukisan itu. Dari posisinya, ia bisa melihat ekspresi Shizuka yang tidak pernah ia ingat—ada jejak kesedihan di wajah itu.


“Tapi coba lihat dari sudut yang agak miring … kelihatan berbeda, kan? Seolah-olah dia terlihat tenang … bahkan malu-malu. Kayak … gadis di lukisan ini … hidup.”

Seiko mengikuti Keito berdiri di posisi yang sama. Mungkin karena pencahayaan yang lembut, tapi memang—dari sudut itu, lukisan itu terlihat seperti sedang menunduk malu. Persis seperti yang Seiko katakan.


“Begitu, ya ….”


Aku hanya melihatnya dari satu sisi, berulang kali. Mungkin karena itulah … aku tak pernah melihat ekspresi lainnya.


Mengubah sudut pandang. Hal itu sebenarnya begitu jelas, tapi mudah terlupakan.


Apakah karena itulah gambar-gambarku selama ini terasa kaku? Saat aku mengubah sudut pandang seperti ini, ekspresinya benar-benar terlihat berbeda.


Meskipun begitu, tetap saja—di sudut mata Shizuka, terlihat jelas ada jejak air mata yang tak bisa dihapus.


"Aku rasa, orang-orang yang melihat lukisan-lukisan ibu Utaha sedang menilai lukisan itu. Itu adalah lukisan yang memantulkan isi hati para penontonnya. Meskipun orang yang digambar itu bukanlah 'kata yang hilang', tapi orang biasa, aku merasa hasilnya akan tetap sama."


"Apa maksudmu?"


"Aku merasa ... aku sedang melihat diriku sendiri melalui sosok-sosok yang digambarkan dalam lukisan itu. Mungkin ibu Utaha tidak berniat begitu. Tapi perasaan yang sama juga kurasakan ketika melihat lukisan Haruchika."


"Itu pemikiran yang menarik. Jika ibuku tidak menjadi seorang pengirim pesan dan memilih jalan sebagai seniman, aku yakin akan ada lebih banyak orang yang datang melihat lukisan-lukisannya. Kalau kalian berdua menyukai karya ibuku, aku yakin beliau juga akan sangat senang."


"Aku akan ajak anggota klub seni datang lain kali. Aku yakin lukisan-lukisan ini bisa jadi referensi yang bagus untuk semuanya."


"Tentu. Aku akan menunggu."


Apakah hari itu benar-benar akan datang? Keito bertanya dalam hati, sementara mereka berdua terus mengobrol.


Apakah terlalu egois jika berharap banyak orang mengenal tempat ini—tempat di mana lukisan Shizuka dipajang?


◇◇◇


Ia bermimpi.


Di bawah selimut kegelapan—gelap dan dalam seperti dasar lautan—dua Shizuka berdiri di sana.


Yang satu berdiri diam, sementara yang lainnya mulai melangkah. Dan Keito menyaksikan keduanya dari kejauhan.


Shizuka yang berhenti tampak sedikit bahagia. Ia menunggu dengan malu-malu, seolah sedang menantikan sesuatu... atau seseorang.


Sementara itu, ekspresi Shizuka yang mulai berjalan terlihat ragu-ragu, dan wujudnya perlahan-lahan memudar, tenggelam dalam gelap yang suram.


Pada akhirnya, yang tersisa hanyalah pipinya—terselip di antara genangan air mata.


Saat terbangun, Keito termenung.


Dua Shizuka.


Mungkin ia bermimpi seperti itu karena perkataan Seiko kemarin. Keduanya adalah Shizuka yang sama, tapi entah kenapa terasa berbeda dari Shizuka yang ia kenal.


Mungkinkah itu adalah mimpi yang memperlihatkan keinginan terdalamnya?



Prev     ToC     Next

Posting Komentar

Posting Komentar