OxB0k9cwmLdjse93ShCWJA620ioxDFw9UULpRrkC
Bookmark
Featured Post

Utaha-san wa Betsu no Uta o Yomi Hajimeru - Afterword

Afterword Translator: Canaria Proofreader: Canaria Salam kenal semuanya. Namaku Kashida Leo. Aku menulis kata penutup ini di sebuah kamar di ru…

Utaha-san wa Betsu no Uta o Yomi Hajimeru - Chapter 3

 

Chapter 3: --Lelap dalam Keheningan Air--

Translator: Canaria
Proofreader: Canaria



Beberapa hari telah berlalu.


Terlepas dari apakah ada kegiatan klub hari itu atau tidak setelah pulang sekolah, Keito selalu menyempatkan diri mampir untuk menemui Utaha. Bahkan di hari libur pun, ia pergi keluar demi memeriksa apakah ada perkembangan mengenai Shizuka.


Dan setiap kali, ia memastikan bahwa tidak ada yang berubah. Rutinitas itu terus berlanjut.


Jika saja ia tidak pernah tahu tentang kata yang hilang, jika saja ia tidak pernah bertemu Utaha—mungkin ia akan menjalani hari-harinya seperti biasa.


Mungkin saja suatu hari nanti, Utaha akan menghadirkan kata yang hilang milik Shizuka di hadapannya. Tapi itu mungkin tidak akan terjadi.


Bagaimanapun, Keito seharusnya tetap menjadi pengamat … hingga hari itu tiba.


Namun, ia tak lagi bisa kembali ke hari-hari lamanya.


Perasaan frustrasi mulai tumbuh di hati Keito.


Selama ia diam begini, kata yang hilang milik Shizuka bisa saja sedang berada di suatu tempat, mungkin sedang mengembara, tidak bisa menemukan jalan menuju
[Tsuyukusa] dan menghilang sebelum sampai ke sana.


Tidak—bisa saja Shizuka memang sudah .…


Setelah mendengar kisah tentang Misora dan Sasami, pikiran itu tumbuh semakin kuat.


Kata-kata yang hilang milik Sasami muncul di hadapan Utaha pada musim semi tahun ini.


Apa yang bisa ia lakukan? Haruskah ia terus menunggu? Ataukah lebih baik ia pergi dan mencarinya sendiri?


“Misalnya, mungkin dia berada di rumah lamanya, atau di pemakaman?”

Mungkin, mereka seharusnya pergi ke tempat yang memiliki ikatan lebih dalam dengan Shizuka dibandingkan tempat ini.


Namun, Utaha hanya memiringkan kepala.


“Sampai saat ini, semua kata yang hilang yang kutemui adalah yang datang kemari sendiri, atau kebetulan terlihat di kota dan kemudian kutemui.


Sejujurnya, kemungkinan idemu itu akan berakhir sia-sia sangatlah tinggi. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, lebih baik menunggu di sini saja.”


“Meski begitu begitu ... aku tetap ingin mencari Shi-chan.”


Ia merasa tak sanggup hanya duduk diam dan menunggu.


“Aku sendiri tidak tahu apa jawabannya yang benar. Aku juga tidak tahu banyak tentang kata yang hilang.


Jadi, kalau kau memang ingin melakukannya, Aikawa-san … aku tak punya alasan untuk menghentikanmu.”


Setelah insiden itu, orang tua Shizuka bercerai, dan tidak ada lagi yang tinggal di rumahnya. Keberadaan mereka pun tak diketahui.


Hati Keito kembali terasa perih. Rasa sakit yang begitu menekan dadanya, hingga ingin ia cabik saja dadanya sendiri.


“Kenapa hanya Shizuka?”


“Kenapa kau hanya ingin menyelamatkan Shizuka?”


“Kau lebih baik mati.”


“Pergi dan terjun saja ke laut sekarang.”


Ia mengenal Shizuka sejak kecil. Saat mereka bermain bersama, sang ibu selalu menyuguhkan permen dan jus.


Walau suka marah jika mereka nakal, ibunya adalah wanita yang penuh kasih.


Kata-kata dari ibu Shizuka itu dilemparkan padanya seolah badai telah menghantam jiwanya.


Keito merasa bahwa itu adalah ekspresi kemarahan … dan entah kenapa, ia tetap mengingatnya.


Ayah Shizuka sempat menenangkannya, namun kemudian ia pun ikut marah dan akhirnya mereka bercerai.


Mungkin karena mereka sangat menyayangi Shizuka, hingga tak bisa menerima kenyataan kepergiannya.


Ibunya meninggalkan rumah, dan sang ayah sempat tinggal sendiri—namun dia menghilang sebelum siapa pun menyadarinya.


Keito sebenarnya sudah menyadari hal itu sejak setahun lalu, tapi tak bisa berbuat apa-apa.


Ia sudah bertahun-tahun tak mendekat ke rumah Shizuka.


Bisa dikatakan, tanpa sadar ia menghindari tempat itu. Namun ia tahu, ia tak bisa terus seperti ini.


◇◇◇


Hari Minggu kembali datang.


Pagi harinya, ia bermain dengan adiknya—sudah lama sekali sejak mereka melakukannya. Itu adalah waktu yang berharga … meski mungkin ia hanya mencoba mengulur waktu, mengumpulkan keberanian untuk mengunjungi rumah Shizuka.


Akhirnya ia keluar rumah saat siang menjelang. Butuh sekitar lima belas menit untuk berjalan ke rumah Shizuka, dan hanya beberapa menit jika naik sepeda. Tapi kalau ia sengaja ingin berkunjung, jarang sekali ia bisa melintasi bagian depannya.


Meski langit mendung, tidak ada hujan. Angin bertiup nyaman dengan kelembutan sedang. Pengumuman berakhirnya musim hujan belum disampaikan, tapi sudah lama tak turun hujan.


Namun suasana hati Keito jauh dari cerah.


Rumah Shizuka yang sudah lama tak ia lihat tampak lebih lapuk dari ingatannya.


Pot bunga yang bisa dilihat dari balik pagar sudah lama mengering, berubah menjadi cokelat. Dinding putih yang dulu bersih kini dipenuhi garis-garis kotor bekas air hujan. Bangunannya jelas menunjukkan tanda-tanda tak berpenghuni.


Ia menekan bel, tapi tentu saja tak ada jawaban.


Ia menggenggam pegangan pagar, mendorongnya beberapa kali—terdengar suara logam berderak, namun tetap tak terbuka.


Ia tahu itu akan terjadi. Namun kenangan yang tertinggal di rumah ini mengalir deras, dan hati Keito terasa sakit.


Tak ada tanda-tanda kata yang hilang milik Shizuka di sekitar situ.


Setelah menarik napas dalam-dalam dan menenangkan diri, ia nekat menekan bel rumah di kanan dan kiri.


Saat kecil, ia sering bermain dengan anak-anak dari rumah-rumah itu. Tapi mereka kini tahu soal insiden itu. Ia coba memanggil mereka, tapi tampaknya tak ada yang tinggal di sana lagi.


Ia tak tahu pasti apa yang terjadi.


Ada beberapa kebohongan yang ia ucapkan demi memuluskan langkahnya, tapi ia berharap mereka bisa memaafkannya.


Untungnya, keluarga tetangga ada di rumah.


Namun tak satu pun dari mereka tahu keberadaan orang tua Shizuka.


Wajar saja—bahkan mereka tidak tahu apakah Shizuka punya makam.


Kabarnya, rumah itu belum dijual.


Mungkin masih ada niat untuk kembali, karena rumah itu terdaftar atas nama sang ayah.


Itulah yang dikatakan oleh wanita paruh baya tetangga sebelah kanan saat Keito menghampirinya.


Namun informasi itu tak berguna untuk saat ini.


Ia memang sudah menduganya, tapi harapannya tetap runtuh seketika.


Kalau bicara tentang teman sekelas Shizuka, ada satu orang yang satu tahun di atas Keito. Kalau bicara tentang teman dekat, ia hanya tahu Sarasa.


Seperti yang sudah bisa diduga, ia harus mulai lagi dari tiga teman masa kecilnya.


Takumi berada di kelas sebelah. Bertemu dengannya cukup mudah, tapi kemungkinan ia tidak tahu apa-apa.


Sarasa dekat dengan Shizuka. Ada kemungkinan ia tahu keberadaan orang tua Shizuka. Meski Keito ragu untuk berbicara dengan Sarasa yang sekarang … ia tak punya pilihan lain.


Satu lagi adalah Junichi, tapi Keito sama sekali tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Ia tak yakin apakah klub baseball tetap berlatih di hari Minggu di pertengahan Juli seperti ini. Atau mungkin para siswa kelas tiga sudah pensiun? Atau sedang ikut seleksi turnamen musim panas?


Keito ragu Junichi ada di rumah. Tapi tetap saja, rumah Junichi adalah yang paling dekat dari sini.


Ia memutuskan untuk ke sana dulu.


Ada sebuah taman kecil di samping rumah Junichi yang dilewatinya.


Hari Minggu yang tenang ini dipenuhi anak-anak yang bermain di taman—sama seperti mereka dulu. Tiga anak lelaki sedang berlomba naik ayunan dan mencoba berayun setinggi mungkin.


Seingatnya, dulu ada aturan: siapa yang bisa menendang sepatu paling jauh, dialah pemenangnya.


Pernah suatu ketika, Sarasa ikut dan kehilangan sebelah sepatunya saat menendang. Shizuka yang melihat hanya menggeleng tak percaya.


Mereka juga sering bermain baseball—itu adalah panggung milik Junichi.


Ada kolam kecil tempat mereka bermain saat musim panas. Sarasa selalu jadi yang pertama terjun, dan mereka bermain sampai matahari terbenam. Tiap musim panas, kulitnya selalu terbakar sampai hitam legam. Shizuka pun tak mau kalah, ikut mengejar-ngejar Sarasa.


Kenangan itu terasa manis, tapi juga jauh—seakan hanya mimpi yang kabur.


Dari tujuh belas tahun hidupnya, apakah sepuluh tahun lalu terasa seperti keabadian?


Semuanya tampak nyata, namun ada dorongan kuat dalam dirinya bahwa semua itu … mungkin tidak pernah terjadi.


Meski begitu, rumah Junichi masih berdiri di sana. Tak berubah, seperti yang ia ingat.


“Eh … Aikawa-kun?”


Ibu Junichi yang menyambutnya sudah terlihat sangat tua, seperti yang bisa diduga.


“Ya, saya Aikawa. Lama tidak bertemu, Bu. Maaf mendadak … tapi apakah Junichi-kun ada di rumah?”


“Junichi itu .… ”


Setelah mendengar pertanyaannya, sang ibu langsung mengalihkan pandangan, seolah menghindar.


Kerutan di antara alis wanita tua itu saling menekan, seolah kunjungan Keito memberikan firasat bahwa ini bukanlah kedatangan yang menyenangkan.


Tak diragukan lagi, semua keluarga dari teman-teman masa kecil Keito telah terpengaruh oleh kecelakaan itu.


Tak bisa disalahkan bila ia tak menyukai kehadiran Keito—orang yang mengusulkan perjalanan itu sejak awal.


Wajah ibu Shizuka melintas di pikirannya.


Akan lebih baik jika ia pergi sebelum ibu Junichi menunjukkan ekspresi serupa.


“Maaf, saya akan kembali lain kali.”


“Ah, ehm … Junichi sedang tidak di rumah sekarang. Bisa datang di lain waktu? Kalau ada yang ingin disampaikan, bisa saya teruskan padanya.”


Nada suaranya terdengar sungkan. Mungkin, sebenarnya beliau tidak keberatan dengan kedatangan Keito.


“Saya ingin bertanya, Bu .... Apakah Anda tahu ke mana orang tua Takamori Shizuka pindah setelah kecelakaan itu .… atau mungkin lokasi makamnya?”


“Takamori-san? ... Maaf, aku juga tidak tahu apa-apa tentang mereka.”


Keito pun memberinya nomor ponselnya.


“Kalau Junichi-kun ada latihan hari ini, tolong sampaikan bahwa saya ingin dihubungi.”


“Latihan? Eh? Ah. .. iya, baiklah. Maaf ya .…”


Wanita itu membungkuk berkali-kali, meminta maaf saat Keito hendak pamit dari rumah keluarga Ezaki, tiba-tiba—


“Tunggu.”


Sebuah suara rendah terdengar dari dalam rumah.


“Kalau yang kau maksud itu aku, aku ada di sini. Jangan memutuskan sendiri kalau aku nggak ada.”


Suara yang begitu akrab—tanpa ragu, itu adalah Junichi. Orang yang perlahan muncul dari balik punggung ibunya itu adalah Ezaki Junichi, sahabat masa kecilnya yang baru pertama kali ia temui lagi sejak upacara kelulusan SMP, dua tahun lalu.


“Junichi … apa kamu yakin?”


“Kalau aku sudah muncul, berarti aku nggak masalah. Lama nggak ketemu, Keito.”


Junichi lebih tinggi dari rata-rata, dan bahkan lebih tinggi dari Keito. Namun sorot matanya tampak kosong, tubuhnya membungkuk, dan wajah mantan pemain andalan tim basket SMP itu tampak pucat.


“Ayo ke luar.”


Tanpa menunggu jawaban Keito, Junichi berjalan melewatinya. Ketika ia lewat di dekat Keito, Keito mencium samar aroma rokok. Ibu Junichi menatap Keito seolah sedang menitipkan harapan padanya.


Keito buru-buru menyusulnya.


Junichi melangkah sedikit menjauh dari rumahnya, menuju taman yang tadi dilewati Keito.
Keito mengikutinya dalam diam.


“Aku dengar apa yang kamu bicarakan tadi.”


Saat mereka memasuki gazebo taman, Junichi membuka suara.


“Kenapa baru sekarang kamu ingin membahas masa lalu?”


“Akhir-akhir ini … rasanya aku mulai bisa merapikan perasaanku sendiri. Karena itu aku ingin mengunjungi makamnya.”


Keito tak bisa bicara soal kata yang hilang. Tidak mungkin Junichi akan mempercayainya.
Karena itulah, itu hanya alasan. Kenyataannya, perasaannya belum rapi.


“Merapikan perasaan, ya. Maaf, tapi aku juga nggak tahu di mana orang tua Takamori sekarang. Dan tentu saja, aku juga nggak tahu di mana makamnya. Baru dengar mereka pindah aja hari ini.”


Keito menjelaskan bahwa kedua orang tua Shizuka bercerai setelah kematiannya, dan bahwa rumah itu kini kosong.


“Hmm.”


Junichi menanggapinya dingin, seolah tidak tertarik.


“Tadi aku cuma terbawa nostalgia dan salah langkah karena keluar. Tapi mestinya aku tetap diam. Kamu satu sekolah sama Takumi, kan? Dia gimana?”


“Kurasa hari ini dia ada latihan baseball.”


“Begitu, ya … Lalu gimana dengan Irifune?”


“Entahlah … Kami satu sekolah, tapi jarang bicara. Dia sekarang jadi wakil ketua OSIS.”


“Itu sangat Irifune, sih.”


“Jun-nii, sekarang …”


Keito mencoba bertanya tentang keadaannya sekarang, tapi tak sanggup melanjutkan. Ia tahu, Junichi kemungkinan besar sudah berhenti bermain baseball. Itu bisa ditebak bahkan tanpa ditanyakan.


“Jun-nii, ya? Panggilan yang nostalgic banget. Tapi sekarang kita cuma beda satu tahun, seakan nggak ada bedanya lagi. Banyak kok anak kelas dua yang lebih jago dari aku sekarang. Lebih luar biasa.”


“Kita masih bisa kumpul semua nggak, ya?”


“Buat apa? Kalau udah ketemu, mau ngapain? Nostalgia bareng sambil minum sake? Kamu ini kenapa, Keito? Udah kayak orang tua yang kangen masa lalu di reuni sekolah.”


“Aku pengen tahu soal Shizuka.”


“Hmph. Jadi kamu kehilangan cewek yang kamu suka dalam kecelakaan itu, sempat nangis, tapi sekarang akhirnya bisa bangkit. Terus kamu mikir ini saatnya melangkah ke depan, gitu ya?


Ya udah, bagus lah. Selamat, deh. Tapi aku nggak akan merasa senang kalau ngomongin Takamori. Nggak akan bikin aku sembuh juga. Aku nggak bisa memutus masa lalu semudah itu.”


“Shizuka … dia—”


Keito hendak menyebut soal kata yang hilang, tapi ia menahan diri. Mengatakan itu sekarang hanya akan menyulut api.


“Aku udah berhenti main baseball.”


Ucap Junichi tiba-tiba.


“Kamu nggak dengar dari Takumi, ya? Yah, aku sekarang nggak bisa mukul bola lagi.” Ia menyeringai miris, mengejek dirinya sendiri.


“Bohong.”


Refleks, Keito bergumam.


“Kalau gitu, aku kasih tau yang sebenarnya. Semua ini salahmu, Keito. Karena kamu, aku harus berhenti main baseball.”


“Salahku? Maksudmu apa?”


“Jangan paksa aku ngomong lebih jauh.”


Dengan suara penuh amarah yang tertahan, Junichi meninggalkan taman begitu saja.


Sebagai pemimpin alami dari lima sahabat masa kecil mereka, Junichi selalu menjadi poros.
Tapi kini Keito hanya bisa memandang punggungnya menjauh—terdiam, tak sanggup mengejarnya.


Ia hanya bisa menyaksikan waktu yang telah berlalu … dan semua jarak yang kini terlanjur terbentuk.


◇◇◇


Sepertinya Takumi tahu soal keadaan Junichi. Besok, Keito akan menanyakannya, sekalian tentang Shizuka.


Meski harus menahan sikap dingin sahabat lamanya, Keito menarik napas dan memutuskan untuk pergi ke rumah Sarasa selanjutnya.


Dia mungkin ada di rumah. Sulit membayangkan Sarasa pergi keluar main di akhir pekan. Ia membayangkan Sarasa pasti sedang sibuk belajar, mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi.


Kali ini ia melewati depan SD tempat mereka dulu bersekolah. Rumah Sarasa terletak persis di sampingnya. Saat kecil, Keito pernah iri karena Sarasa bisa tidur sampai menit terakhir dan tetap tidak terlambat ke sekolah.


Ia berdiri di depan rumah keluarga Irifune. Dahulu ia tidak terlalu memikirkannya, tapi seiring tumbuh dewasa, ia mulai memahami kondisi keluarga Sarasa.


Keluarga Sarasa bukan orang berada. Ayahnya mengelola bengkel kecil di kota. Dulu ekonomi mereka lebih baik, namun sejak Keito dan teman-temannya duduk di bangku SMP, sepertinya keadaan memburuk. Rumahnya kecil dan hanya satu lantai, tapi dulu terasa nyaman saat Keito bermain di sana. Ia masih ingat betapa alat-alat elektroniknya sudah terlihat tua dan usang.


Komik-komik yang ia baca berkali-kali di rumah itu kini pasti sudah lusuh. Ia tidak tahu apakah usaha ayah Sarasa masih berjalan, atau bagaimana keadaan finansial keluarga mereka sekarang. Tapi dari luar, rumah itu tidak tampak banyak berubah.


Sarasa yang dulu ceria, kini berubah. Barangkali karena tekanan hidup yang perlahan menekannya.


Setelah ia menekan bel, suara perempuan menjawab langsung dari balik pintu, bukan lewat interkom. Mungkin ibunya.


"Aku teman sekolah Sarasa. Namaku Aikawa. Apa dia ada di rumah?"


Pintu terbuka tiba-tiba tanpa jawaban.


"Aikawa?"


Yang berdiri di sana adalah Sarasa sendiri. Keito tidak siap bertemu langsung dengannya, hingga ia refleks mundur selangkah.


Sarasa yang mungil menatapnya tajam dari balik kacamatanya, wajahnya dipenuhi keraguan.


"Ada apa?"


"Ah, eh ... Aku ingin bertanya sesuatu, Irifune-senpai."


"Apa? Aku sedang sibuk belajar."


"Ini cuma sebentar. Tentang Shizuka. Takamori Shizuka."


Ekspresi Sarasa berubah sedikit saat nama itu disebut.


"Shizuka ... Ada apa dengannya?"


"Senpai dekat dengannya, kan? Bahkan waktu SMP, kalian sering terlihat bersama. Jadi, apa senpai tahu di mana keberadaan orang tuanya sekarang, atau letak makamnya?"


"...Oh, soal itu. Bukankah jasadnya tidak ditemukan? Jadi kurasa memang tidak ada makam. Atau kamu sudah menemukan mayatnya?"


"Belum."


"Kalau begitu, ya memang tidak ada. Sejak kejadian itu, aku tak pernah menghubungi mereka. Kami memang dulu akrab, tapi itu masa lalu. Kenapa kamu tiba-tiba nanya begini?"


"Aku ingin merapikan perasaanku."


Jawabannya sedikit berbeda dari yang ia berikan pada Junichi.


"Masih belum rapi juga? Salah satu teman kita meninggal. Iya, itu menyakitkan, tapi sudah dua tahun berlalu. Aku bukan anak kecil lagi. Menyedihkan kalau masih terus terjebak dalam masa lalu seperti itu.


Orang hidup harus menatap ke depan. Aku sudah menyelesaikan perasaanku sejak lama. Aku tidak tahu apa-apa, jadi tolong pulanglah."


"Maaf sudah mengganggumu saat belajar. Tapi ...."


Keito merasa Sarasa sebenarnya tahu sesuatu. Malam kecelakaan itu, selain dirinya, yang terakhir bertemu Shizuka adalah Sarasa.


Ia tiba-tiba teringat percakapan terakhirnya dengan Shizuka. Bukan karena ia lupa—tapi karena ia berusaha tidak mengingatnya.


"Shizuka pernah bilang... kalau dia ingin jadi ikan dan tidur di dasar laut, dan berharap aku menjadi angin yang datang menjemputnya. Apa kamu tahu maksudnya, Sarasa-chan?"


"Tsk. Kamu nggak sopan, manggil kakak kelas pakai ‘chan’."


"Memang sengaja."


"Meski kamu manggil aku kayak gitu, aku nggak bakal merasa nostalgia. Seperti yang aku bilang, aku sibuk. Aku nggak bisa terjebak di masa lalu, dan aku nggak butuh itu. Aku sudah melupakan Shizuka. Setelah lulus SMP, kebanyakan teman seangkatan akan kehilangan kontak. Itu biasa. Kalau kamu benar-benar ingin tahu sesuatu, tanya langsung ke Shizuka."


"Kalau aku bisa, aku sudah lakukan dari kemarin."


" ... Nggak mungkin. Bodoh."


Keito tak bisa bilang bahwa ia sudah bertemu kata yang hilang dari Shizuka.


"Lupakan saja. Lebih mudah kalau kamu lupakan segalanya, seperti yang kulakukan. Selamat tinggal, Keito-kun."


Kali ini, pintunya benar-benar tertutup. Suara pintu yang dibanting masih membekas di telinga Keito.


Pada akhirnya, dua teman masa kecil yang ia temui setelah sekian lama menolaknya mentah-mentah, dan ia tidak mendapatkan apa-apa.


Inilah akibat dari tidak mengatakan yang sebenarnya tentang kata yang hilang. Kalau ia menyebut bahwa ada kemungkinan roh Shizuka masih ada dan berkeliaran, mereka mungkin hanya akan menganggapnya gila dan berpaling darinya.


Senja pun tiba tanpa hasil. Ia sempat berpikir untuk mengunjungi rumah Takumi, tapi toh besok mereka akan bertemu di sekolah. Keito merasa lelah, baik fisik maupun batin.


Ia mendatangi Utaha, membawa semua kecewa itu bersamanya.


Mendengar laporan Keito, Utaha bertanya pelan.


"Aikawa-san, kamu pernah bermimpi tentang Shizuka?"


"Mimpi? Hmm ... ya, aku pernah."


Mimpi tentang Shizuka. Misalnya, sesaat sebelum kecelakaan. Mimpi-mimpi itu selalu datang bersama rasa nyeri yang berat di dadanya.


Baru beberapa hari lalu, ia bermimpi Shizuka berada di akuarium yang sudah tidak ada lagi. Ia juga bermimpi melihat dua Shizuka berdiri dalam kegelapan.


Kini sulit membedakan, mana yang kenangan, mana yang ilusi. Tapi yang jelas, ia selalu bangun dengan mimpi itu membekas di hatinya.


"Kamu ingat saat kamu bilang pernah bermimpi tentang ibunya Seiko, Haruko-san?"


"Iya."


Itu memang benar. Perasaan saat itu terasa menyakitkan, seperti luka lama yang belum sembuh.


"Misora-san juga sering bermimpi tentang Sasami-san."


" ... Benar."


Sama seperti dirinya, Misora juga kehilangan sahabat dalam kecelakaan itu. Ia juga masih menyesal karena tidak bisa menyelamatkannya.


"Dunia nyata adalah mimpi. Dan mimpi malam hari adalah kenyataan."


Utaha mengucapkannya dengan tenang, seolah tanpa konteks. Tapi justru kalimat itu membuat Keito teringat sesuatu yang pernah dikatakan Shizuka.


Kata-kata yang keluar dari mulut Utaha terasa seperti gema dari masa lalu—seolah bayangan Shizuka hadir kembali lewat ucapannya.


"Mimpi dan dunia nyata itu seperti dua sisi dari satu koin. Dulu, di zaman Heian, jika seseorang yang kita cintai muncul dalam mimpi, itu artinya orang itu juga sedang memikirkan kita."


"Bisa jadi... Haruko-san, Sasami-san, dan Shizuka... kata-kata mereka yang hilang muncul dalam mimpi karena mereka sedang mencari orang yang mereka rindukan."


"Maksudmu ... "


Ucapan Utaha dengan jelas mengarah pada satu jawaban.


"Kamu punya petunjuk?"


"Ya."


Keito mengangguk mantap dan berdiri.


"Sampai jumpa."


Saat Keito melangkah pergi, Utaha bergumam pelan dari belakang.


"Aku... masih belum pernah melihat ibuku dalam mimpiku."


Suaranya datar, tanpa intonasi—tapi justru karena itulah, terdengar begitu sunyi, seperti kesedihan yang sudah terlalu lama menetap.


◇◇◇


Ikan. Ya, Shizuka memang pernah mengatakan kalau dia ingin menjadi ikan. Mereka sempat membicarakan tentang akuarium tepat sebelum kecelakaan itu terjadi.


Cepatlah, Kei-kun. Aku sudah menunggumu dari tadi.


Keito masih belum bisa lari dari rasa sakit dan penderitaan itu. Tapi, jika ia mengingat kata-kata Utaha ... maka hanya ada satu tempat yang harus ia tuju.


Apakah aku masih terus berpaling tanpa sadar?


Ayo ke Taman Soumiya.


Matahari memang mulai tenggelam, tapi masih ada waktu sebelum gelap sepenuhnya.


Ia kembali mengayuh sepedanya. Hari itu, dia sudah berkeliling hampir setengah hari penuh—mengunjungi rumah teman masa kecilnya, mampir ke rumah Utaha, dan kini kembali lagi ke taman yang dulu begitu akrab.


Rasanya seperti kembali jadi anak-anak. Waktu itu, waktu seolah tak terbatas. Energi tak ada habisnya. Mereka bisa bermain sepanjang hari tanpa tahu apa itu rasa khawatir.


Tapi waktu itu tidak akan pernah kembali. Seperti air yang mengalir dan tak bisa ditampung lagi, waktu yang telah lewat tak bisa diambil kembali.


Lalu kenapa dia begitu keras kepala mencari kata yang hilang milik Shizuka?


Tindakan untuk mencoba mengambil kembali waktu yang telah berlalu ... bukankah itu sia-sia?


Saat pikiran-pikiran itu terus berputar, ia sudah sampai di gerbang taman. Banyak sepeda terparkir rapi di tempat penyimpanan—sepertinya masih banyak orang di dalam.


Kemungkinan besar itu adalah anak-anak yang datang bersama pasangan, teman, orang yang datang sendiri untuk memotret, atau hanya berjalan-jalan sambil membawa anjing mereka. Semuanya punya tujuan masing-masing.


Keito berjalan cepat melintasi taman. Ia bahkan tidak tahu mengapa dirinya terburu-buru.


Tempat ini dipenuhi hijaunya pepohonan dan angin yang sejuk menyentuh kulit. Mungkin itu sebabnya taman ini masih ramai meski matahari mulai turun.


Tampaknya semua orang keluar setelah musim hujan jeda sebentar dan awan kelabu menyingkir.


Wajah-wajah yang ia lewati tampak ceria, suara tawa dan obrolan menyebar di udara.


Sungai kecil yang mengalir di dalam taman melimpah airnya. Mungkin menampung air hujan beberapa hari lalu.


Singkatnya, tempat ini penuh dengan kehidupan.


Itulah sebabnya ....


... Bayangan, kematian, dan kesunyian yang tersembunyi di sudut taman ini terlihat begitu mencolok.


Namun, kata-kata itu bukan bermaksud menggambarkan hal negatif. Justru sebaliknya—seperti yang Keito rasakan dari perilaku Utaha. Tenang, namun sarat makna.


Secara alami, Keito menoleh ke arah tempat itu.


Dulu, di sana ada akuarium kecil.


Bangunannya telah lama dibongkar. Kini, tempat itu berubah jadi taman bunga permanen. Bangku biru di dekat sana kosong—tak ada yang duduk di situ.


Seorang gadis berdiri di sana, tepat di sebelah bangku.


Dia berdiri berselimutkan bayangan, kematian, cuaca, dan kekosongan.


Keito hanya bisa melihat punggungnya. Wajahnya menghadap arah matahari terbenam—ke barat. Apakah dia sedang memandangi matahari merah membara itu?


Cahaya senja membuat sosok gadis itu tampak seperti bayangan itu sendiri—gelap, hening, dan samar.


Rambut panjangnya melambai perlahan tertiup angin lembut. Ujung seragam sekolahnya pun ikut bergetar pelan.


Meski hanya melihat punggungnya ... Keito tahu. Tak mungkin ia salah orang.


Shizuka ada di sana.


◇◇◇


Hal pertama yang harus ia lakukan—adalah memprioritaskan perasaan itu.


Jarak mereka hanya beberapa meter. Kalau berjalan, sepuluh detik pun cukup untuk sampai. Ia bisa langsung melihat Shizuka berdiri di sana.


Ia ingin melangkah. Tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Jadi ia hanya diam menatap punggung Shizuka dalam diam.


Aroma samar yang keluar dari punggung gadis itu ... adalah ciri khas kata yang hilang.


Meski seharusnya tak mungkin, tapi itu ada. Atau setidaknya ... terasa ada, walau samar dan tipis.


Tak ada satu orang pun di sekitar mereka. Meski bagian taman lain ramai, sudut ini terasa seakan terpisah dari dunia.


Meski begitu, ia tetap melangkah—selangkah demi selangkah. Suara pijakannya di tanah terasa begitu keras di telinga sendiri. Tapi Shizuka tak bergeming. Ia tak menoleh sedikit pun.


"Shi-chan, di sini sudah nggak ada ikan."


Dengan bibir bergetar, Keito membuka suara. Itu kalimat pertama yang bisa ia ucapkan.


Akuarium itu sudah dibongkar bahkan sebelum kecelakaan. Shizuka tak mungkin tahu tentang itu saat masih hidup. Tapi Keito merasa, ia pasti datang ke sini... untuk mencari ikan.


Ia meletakkan tangan di bahu Shizuka yang tipis. Ia tahu tangannya bergetar hebat.


Namun meski disentuh, Shizuka tak juga menoleh. Akhirnya Keito memutar tubuhnya, menatap wajah itu dari depan.


Wajah Shizuka disinari cahaya senja, merah membara.


Walau tidak tersenyum padanya, walau mata itu tidak melihatnya, walau mulutnya tak memanggil namanya ....


Yang berdiri di sana ... tak diragukan lagi adalah Shizuka. Gadis yang seharusnya telah tiada sejak musim semi dua tahun lalu.


"Shi-chan. Maaf membuatmu menunggu lama. Aku datang menjemputmu."


Keito tak bisa merangkum perasaan yang membuncah di dadanya.


Bahagia, sedih, rindu, takut.


Ia senang bisa bertemu lagi dengan Shizuka. Tapi bersamaan dengan itu, perasaan takut juga muncul.


Kini mereka berdiri dekat satu sama lain. Tapi ... apa yang akan dikatakan oleh bibir itu? Apa yang akan disampaikan suara lembut itu kepadanya?


Meski begitu, Keito tak punya pilihan selain terus maju.


"Ada tempat ... yang ingin aku tunjukkan padamu."


Ia menggenggam tangan Shizuka—tangan yang gagal ia raih pada hari itu.


Tangan kanan Keito menyentuh tangan kiri Shizuka. Tak ada kehangatan. Hanya kulit dingin, kaku seperti porselen.


Saat ia menggenggam telapak tangan dingin dan kering itu, keringat mengalir dari telapak tangannya sendiri.


"Ayo."


Ia mencoba melangkah, tapi justru tersandung di langkah pertama.


" ... Eh?"


Seolah lupa cara berjalan, kakinya menolak bergerak.


"Ah ... ternyata aku gemetaran, ya."


Begitu ia menyadari hal itu, akhirnya tubuhnya mulai mendengarkan.


Saat ia menarik tangan Shizuka dan mulai berjalan pelan, Shizuka pun mengikuti—tanpa perlawanan sedikit pun. Keito memimpin langkah, Shizuka mengikuti di belakangnya.


"Shi-chan ... selama dua tahun ini, kamu ngapain aja?"


Tak ada jawaban.


"Aku ... masuk ke SMA Kikusui. Sarasa-chan dan Takumi juga sekolah di sana. Junichi di sekolah lain. Hari ini aku ketemu dia setelah sekian lama."


Tetap tak ada balasan.


"Kalau boleh, aku pengen banget ... masuk SMA bareng Shi-chan."


Ia mengutarakan keinginan yang mustahil terjadi. Tapi ia tetap mengatakannya, sambil menatap wajah yang tak menunjukkan reaksi, tak peduli seberapa lirih suara itu keluar.


Namun Keito tak bisa berhenti. Ia harus terus bicara.


Sudah berapa lama Shizuka berada di tempat itu?


Kapan terakhir kali Keito datang ke taman ini? Mungkin sekitar April, saat menyambut anggota baru klub seni dan melakukan sketsa. Ia juga sempat berjalan di sekitar taman... Shizuka tak ada di sana waktu itu.


Kalau begitu, kemungkinan terbesar ... Shizuka sudah ada di sini sekitar dua bulan?


Itulah saat-saat ketika Keito mulai bisa melihat kata yang hilang. Maka, bisa jadi... Shizuka sudah berada di sana sejak hari itu. Hanya saja, dia belum menyadarinya.


Kalau begitu, sejak kapan dia berdiri di sana?


Mungkinkah kemarin? Dua bulan lalu? Atau ... dua tahun lalu?


Tak akan pernah ada jawaban pasti. Tapi begitu Keito membayangkan waktu milik Shizuka yang berhenti begitu saja, dadanya terasa sesak. Ia nyaris tak sanggup menahannya.


Ia tak berani melepas tangan Shizuka. Ia tahu—kalau ia melepaskannya sekarang, ia mungkin tak akan pernah bisa menggenggamnya lagi. Maka ia terus menggenggamnya dengan erat, seolah tangan itu adalah satu-satunya tali yang mengikat mereka pada kenyataan.


Orpheus dan Izanagi pun pernah menempuh perjalanan ke dunia kematian demi menjemput kembali orang yang mereka cintai. Namun pada akhirnya, mereka kehilangan sosok itu ... karena mereka menoleh ke belakang.


Keito tak ingin mengulangi kesalahan itu. Maka sejak tadi, ia belum sekali pun menatap wajah Shizuka secara langsung. Ia akan menatapnya ... setelah mereka sampai di tempat Utaha.


Dingin di telapak tangannya, bercampur dengan keringat, terus mengingatkannya bahwa gadis itu masih bersamanya.


Kini mereka berdiri di depan pintu rumah Utaha.

“Utaha-san! Utaha-san!”


Ia memanggil sambil menahan gejolak emosinya. Utaha duduk di tempat yang sama seperti sebelumnya, seolah tak bergerak sama sekali.


Seolah memang sudah menunggu sejak tadi.


“Kamu tidak perlu berteriak. Aku bisa mendengarmu,” ujarnya tenang.


“Utaha-san ... aku menemukan Shizuka. Shi-chan ... aku menemukannya.”


“Begitukah.”


Utaha mengalihkan pandangannya. Tatapannya mengarah langsung ke Shizuka yang berdiri di belakang Keito.


“Selamat datang, Takamori Shizuka. Aku sudah menantikanmu.”


Seperti pada setiap orang yang datang ke toko ini, Utaha menyambutnya dengan kata-kata yang sama. Kata-kata yang sopan... tapi terasa jauh. Terlalu formal. Terlalu netral.


Dan justru karena itu, Keito merasa jengkel.


“Aku harus gimana ... buat nyelametin Shi-chan?”


Tanpa sadar, kalimat itu mengalir dari mulutnya.


‘Menyelamatkan’
—kata itu muncul begitu saja. Tapi apa maksudnya?


Apakah Shizuka benar-benar butuh diselamatkan?


Apa yang membuat dirinya bisa menggunakan kata seperti itu, seolah-olah dia pahlawan yang datang di akhir cerita?


Ia membalikkan badan, menatap Shizuka di bawah cahaya lampu. Wajah itu... masih sama seperti dua tahun lalu. Tapi juga terasa seperti cangkang kosong.


Cangkang yang diam-diam menyimpan kata yang hilang—fragmen perpisahan, kenangan, perasaan yang tak pernah sampai.


Dengan hati-hati, Keito membuka telapak tangan Shizuka. Ia melonggarkan jari-jarinya satu per satu, yang mulai mengeras karena digenggam terlalu erat.


Ia selalu ingin menggenggam tangan itu... Tapi sekarang, mereka justru terlepas.


Yang sebenarnya ingin ia tolong—adalah dirinya sendiri.


Yang sebenarnya ingin diselamatkan—juga dirinya sendiri.


Orang yang ingin lepas dari kutukan hari itu... adalah dirinya sendiri.


“ ... Tolong bantu aku ... Utaha-san.”


Suaranya nyaris seperti erangan. Sebuah permohonan yang tak disaring oleh logika.


Namun Utaha hanya menggeleng.


“Aku tidak bisa.”


Penolakan itu jatuh pelan. Namun terasa berat seperti palu yang menghantam dadanya.


“Hanya dirimu sendiri yang bisa menolongmu, Aikawa-san. Dan satu-satunya orang yang bisa mengungkapkan kata-kata dari Takamori Shizuka ... juga dirimu.”


Kenapa?


Bukankah sampai sekarang, Utaha sudah banyak membantunya? Dengan Chikako. Dengan Misora. Bahkan dengan anak laki-laki kecil dan orang tuanya yang bersedih.


Kenapa sekarang... justru ia mundur?


“Aku ... aku yang melepas tangannya waktu itu. Orang sepertiku ... apa aku pantas mendengar kata-kata terakhir Shi-chan? Apa aku pantas menerima pesan yang ingin dia sampaikan?”


Dan di sanalah, Keito mulai membuka dirinya. Mulai menceritakan semua yang terjadi pada hari itu—kepada Utaha.



◇◇◇


Itu terjadi tepat setelah Shizuka berkata, “Kamu tahu tidak?”


Sisa kalimatnya tenggelam dalam suara lonceng nyaring, dan ia tak pernah mendengarnya untuk kedua kalinya.


“ … Apa tadi itu?”


Orang-orang yang berada di dek juga mulai menyadari suara tajam tersebut dan terdiam. Namun yang terdengar hanyalah gemuruh ombak di kejauhan.


“Ada apa ya?”


“Ayo kita kembali.”


Atas ajakan Keito, Shizuka mengangguk, meski raut wajahnya tampak enggan.


Orang-orang di sekitar mereka mulai bergerak.


Di antara mereka yang masih kebingungan, terdengar siaran:


Saat ini terjadi kebakaran di dalam kapal. Harap mengikuti instruksi awak dan lakukan evakuasi dengan tenang. Saya ulangi.


Siaran itu menggema di seluruh kapal, dan suasana pun langsung menjadi hiruk-pikuk.


Ia tidak tahu pasti berapa banyak orang yang ada di kapal itu—mungkin puluhan.
Selama sumber kebakarannya masih di dalam, Keito berpikir akan lebih aman bagi para penumpang yang belum kembali ke dalam kapal untuk tetap berada di luar. Maka Keito dan Shizuka tetap di tempat mereka.


Ia khawatir dengan keluarganya yang masih di dalam—juga tiga sahabat masa kecilnya—tapi saat itu ia masih cukup optimis.


“Gak apa-apa kok. Api pasti langsung dipadamkan. Siapa tahu ini cuma alarm palsu.”


Di sekolah juga sering ada simulasi kebakaran. Mungkin ini hanya kesalahan teknis atau prosedur pengamanan yang tidak biasa.


Haruskah ia kembali ke kabin untuk mengambil jaket pelampung, atau menunggu instruksi berikutnya?


Saat orang-orang di sekitar mereka masih belum banyak bergerak, Keito dan Shizuka menunggu untuk melihat perkembangan.


Ingatannya mulai mengabur sejak saat para penumpang dan awak kapal keluar ke dek satu per satu dengan jaket pelampung mereka.


Suara para awak kapal tak terdengar jelas di tengah kepanikan penumpang yang mulai berdesakan. Melihat keadaan yang kian kacau, hati Keito pun makin tidak tenang.


Terdengar suara ledakan.


Pada saat yang sama, seseorang berteriak kalau ada api.


Tak jauh dari sana, nyala api menjilat langit malam seolah membakar bintang-bintang. Asap hitam pekat naik tinggi, lalu disapu angin kuat ke arah mereka.


Kapal pun langsung terjerumus dalam kepanikan. Orang-orang berbondong-bondong menuju sekoci. Jumlah orang yang ternyata begitu banyak mengejutkan Keito. Ia dan Shizuka langsung terseret arus manusia.


“Shi-chan!”


“Kei-kun!”


Namun Keito berhasil menggenggam tangan Shizuka dan memegangnya erat, berusaha tak akan pernah melepaskannya. Ia bisa merasakan kapal mulai miring—terguncang ke kanan dan ke kiri.


Sudah terlalu kacau untuk mengikuti arahan siaran; kekacauan menelan segala bentuk arahan.


Di tengah kekacauan itu, kejadian lain yang tak biasa terjadi. Terdengar cipratan air yang keras—seseorang jatuh ke laut atau melompat masuk untuk menyelamatkan orang lain. Mereka tak tahu pasti saat itu.


“Tenang saja. Aku pasti akan menyelamatkanmu, Shi-chan.”


Wajah Shizuka yang memerah akibat cahaya api menunjukkan keterkejutan. Keito mungkin menunjukkan ekspresi yang sama. Itulah kenapa ia berusaha menenangkan Shizuka sekuat tenaga.


Namun, meski ia penuh tekad, mereka terus terdorong ke tepi kapal. Sudah terlambat untuk mengetahui siapa melakukan apa—arus manusia itu seperti aliran lumpur yang tak bisa dihentikan.


“Kau tahu, Kei-kun, aku—”


Begitu Shizuka mengucapkan kata-kata yang sama lagi,


Kapal tiba-tiba miring—dan terasa sangat besar dampaknya. Keito terlempar ke laut bahkan sebelum menyadarinya.


Api terasa jauh kini. Air laut bulan Maret yang begitu dingin membasahi tubuhnya, dan dinginnya menenggelamkan rasa sakit yang sebelumnya ia rasakan.


Namun dingin itu bukan hanya karena suhu air.


“Shi-chan!”


Tangan kanannya, yang tadi ia genggam begitu erat—kini kosong.


Langit berbintang yang tadi mereka pandangi pun telah jauh. Kegelapan mutlak menyelimuti sekelilingnya. Namun di tengah kegelapan itu, terdengar suara.


Jeritan, teriakan, suara tertawa getir, suara meminta tolong, tangis pilu, suara yang mencari orang lain—suara, suara, suara, suara.


Ia bisa mendengar suara-suara itu, tapi tak bisa melihat siapa pun. Mereka yang terjatuh ke laut seperti dirinya juga tersesat dalam gelapnya samudera luas, tak tahu di mana berada.
Tapi semuanya dipenuhi suara-suara penyesalan dan kehilangan.


Keito berteriak dengan suara serak, menantang pekatnya malam.


“Shi-chan!”


“Kei-kun!”


Ada jawaban.


“Aku datang! Tahan sebentar lagi!”


Pakaian basah yang dikenakannya terasa berat, menarik tubuhnya ke dasar laut. Tapi ia berjuang melawan tarikan itu dan terus berenang.


“Shi-chan!”


“ … Kei-kun.”


Suara Shizuka makin lemah. Padahal ia yakin berenang ke arah yang benar.


“ … Kei-kun.”


Panggilannya lembut, nyaris tak terdengar, kontras dengan Keito yang meneriakkan namanya sekuat tenaga.


“Shi-chan!”


“Kei-kun.”


Akhirnya ia berhasil menggenggam tangan yang terulur itu.


Di tengah kegelapan. Di tengah laut. Itu adalah keajaiban. Keito berhasil menggenggam kembali tangan yang dulu terlepas.


“Kamu sudah aman sekarang.”


Ia memeluk tubuh Shizuka yang hampir tenggelam. Cardigan yang tadi dikenakannya telah hilang entah ke mana. Hanya seragam sekolahnya yang kini kuyup, membuatnya tampak sangat lemah.


“Aku takut ….”


Ia sudah berusaha sekuat tenaga. Yang bisa Keito lakukan hanyalah membalas keberanian itu.


“Tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja.”


Ia terus mengulanginya berkali-kali, mencoba menyemangatinya.


Wajah Shizuka ada di depan mata. Tampaknya tubuhnya telah mencapai batas—gemetar karena dingin dan takut, ia tak punya tenaga untuk membuka mulut lagi. Namun ia percaya pada Keito dan berusaha tetap kuat.


“Shi-chan.”


Ah, ya. Itu dia.


Ombak besar menelan mereka berdua dengan kejam—tanpa ampun.


Di mana tubuh Shizuka yang tadi ia peluk?


Di mana tangan yang ia genggam erat?


Perlawanan Keito berakhir sia-sia—Begitu mudahnya mereka terpisah lagi.

“Kau tahu …”


Tidak ada gunanya menatap mata Shizuka terlalu lama.


“Aku .…”


Ada rasa takut yang menyeruak saat kembali mencoba meraih tangan Shizuka.


“Kei-kun .…”


Memikirkan wajah Shizuka justru membakar dadanya dengan kemarahan yang ia sendiri tak mengerti.


Tampaknya Shizuka dipenuhi oleh berbagai macam perasaan—rasa bersalah karena telah mengkhianati Keito yang percaya bahwa ia pasti akan datang menyelamatkannya, rasa sesal karena telah melepas genggaman tangannya.


Namun justru karena itulah, cahaya yang bersinar dari matanya di akhir—yang menangis, meminta, memohon dengan lirih—terlihat paling kuat dari semuanya.


Hari itu, saat kelas lima SD, ia pernah berpikir bahwa mata Shizuka memiliki warna yang sama ketika ia dimaki oleh orang lain—warna kesedihan yang terpendam.


“Shizuka!”


Tak ada waktu lagi untuk menyampaikan rasa, doa, maupun permintaan maaf.


Shizuka menghilang ditelan ombak dan tak pernah muncul ke permukaan lagi.


Ia telah tenggelam menuju dasar lautan yang begitu ia cintai.


◇◇◇


Setelah itu, Keito bahkan tak tahu bagaimana ia bisa diselamatkan.


Ia tak sadarkan diri ketika ditemukan oleh sekoci. Ia bahkan tak mengenakan jaket pelampung—tetapi berhasil selamat, hanyut dalam laut pasang di malam hari.


Itu disebut sebagai keajaiban. Begitulah kata orang.


Namun Keito merasa ia tak butuh keajaiban macam itu.


Satu-satunya keajaiban yang ia inginkan hanyalah—ia tak pernah melepaskan tangan Shizuka.


Karena senyum kedua orang tuanya dan adik perempuannya, serta tiga sahabat masa kecil mereka yang juga berada di kapal itu, dan berkat jaket pelampung yang dikenakan mereka sejak awal, semuanya berhasil dievakuasi lebih cepat meski dalam kekacauan.


Semua orang sangat khawatir pada Keito dan Shizuka yang berada di dek saat itu. Dan ketika mendengar bahwa Keito berhasil diselamatkan, orang tuanya dan Emi menghela napas lega.


Namun kebahagiaan itu tidak utuh. Hati mereka hancur saat tahu bahwa Shizuka masih hilang.


Keito berbohong. Ia mengatakan bahwa mereka sempat bersama saat kebakaran diumumkan, namun terpisah karena keributan.


Mengucapkan kebohongan itu terasa sangat menyakitkan—seolah hatinya mengeras karena beban yang ia tanggung. Namun ia tak punya keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya.


Kecelakaan itu meninggalkan luka pada semua orang—baik yang selamat maupun yang tidak. Perjalanan yang semula dimaksudkan untuk mengunjungi rumah nenek Keito, sebagai tempat bernostalgia, pun dibatalkan.


Keito menginap semalam di rumah sakit. Keesokan harinya, seluruh anggota keluarganya datang menjenguk.


Masa paling menyakitkan adalah ketika ia harus mengulangi kebohongan itu saat menjelaskan kepada orang tua Shizuka.


Keluarga Keito menginap semalam di rumah kakek-neneknya. Dari pantai di dekat situ, Keito bisa melihat tempat kejadian kecelakaan dari kejauhan.


Beberapa hari kemudian, ia mendengar bahwa orang tua Shizuka terus mencari anak mereka di pantai itu.


Setelah itu, Keito sempat bertemu dengan Takumi, Junichi, dan Sarasa—namun percakapan mereka terasa canggung dan tidak alami. Mereka pun secara perlahan mulai saling menghindar.


Ia bahkan tak bertemu Junichi—yang masuk ke SMA berbeda—sampai hari ini.


Adik perempuannya, Emi, kini duduk di kelas enam, tapi tidak lagi sekolah. Ia menjadi takut untuk keluar rumah.


Orang tua Keito dengan penuh kasih terus menjaga Emi dengan sabar. Jika bukan karena orang tua yang seperti itu, mungkin Keito sudah berada dalam kondisi yang jauh lebih buruk.


Ia sangat bersyukur untuk hal itu.


Namun tetap saja, ia tak pernah bisa mengungkapkan apapun … tentang saat-saat terakhir Shizuka.


◇◇◇


Dia merasa seolah-olah telah berbicara begitu lama. Namun ketika memeriksa jam, ternyata belum begitu banyak waktu berlalu.


Yang membuatnya merasa begitu sepi adalah kenyataan bahwa semuanya—kejadian pada hari itu—ternyata bisa dijelaskan dalam waktu yang begitu singkat.


“Kau orang pertama yang pernah kudengar ceritaku sejauh ini secara detail, Utaha-san.”


Ucap Keito, matanya mengikuti bayangan Shizuka.


Ia sadar pandangannya mulai kabur oleh air mata. Sambil menahan dorongan untuk menangis, ia mengalihkan pandangannya, mencari Shizuka, karena ia tak sanggup menatap Utaha langsung.


Gadis itu berjalan seperti sedang mengejar ikan—ikan yang sebenarnya tak pernah ada.


Saat berdiri di depan lukisan peninggalan Mari dan lukisan yang ia gambar sendiri, Keito sedikit memiringkan kepala dan berhenti melangkah. Namun hanya itu. Ia tampaknya tak menyadari bahwa dirinya sendiri ikut tercermin di sana.


“Terima kasih sudah menceritakan semuanya dengan rinci.”


Setelah mengutarakan simpati, Utaha menyuguhkan secangkir kopi akar dandelion. Awalnya Keito merasa lebih cocok minum yang dingin karena cuaca cerah dan ia sudah lama bicara, tapi kehangatan kopi itu menyusup dari tenggorokan langsung ke hati.


“Sudah tenang sekarang?”


“Iya, sudah.”


Tangan kanannya masih sedikit gemetar. Tapi Keito mengepalkan tinjunya, menggenggam erat.


“Shizuka-san adalah lost words yang punya ikatan sangat kuat denganmu. Tak perlu aku katakan, kau sendiri tahu jauh lebih baik daripada siapapun. Kau tahu—dialah orang yang selama ini paling ingin kau temui.


Atau kau masih ingin bergantung padaku? Perlu bantuanku? Coba pikirkan … siapa yang benar-benar dibutuhkan oleh Shizuka?”


“ … Aku yang akan melakukannya.”


Aku yang akan menyelamatkannya, dengan tanganku sendiri, bukan orang lain.


Aku tak ingin ada penyesalan lagi.


Aku akan memastikan bahwa aku tidak akan pernah lagi melepaskan tangan yang dulu pernah kulepaskan.


“Sudah larut. Bagaimana kalau untuk hari ini kau pulang dulu? Aku akan menjaga Shizuka-san di sini.”


Saat ia memeriksa ponselnya, ternyata ada banyak panggilan tak terjawab dari rumah. Ia benar-benar terlalu terfokus pada Shizuka hingga tak menyadari sama sekali.


“Tolong jagakan, ya.”


“Seperti yang sudah kukatakan tadi, aku akan memberikan nasihat padamu. Aku juga tertarik pada masa depanmu. Biarkan aku melihat seperti apa akhir kisah ini nantinya.”


Merasa sedikit lega mendengar kata-kata itu, ia melihat ke arah Shizuka sekali lagi. Sosok gadis bernama Shizuka itu masih berdiri di sana, tak berubah dari sebelumnya.


“Selamat tinggal, Shi-chan. Sampai jumpa besok.”


Ia tahu tak akan mendapat balasan, tapi terasa wajar baginya untuk mengucapkan itu.


Saat ia kembali ke rumah, kedua orang tuanya dan Emi sudah menunggunya dengan wajah penuh kecemasan. Perasaannya seharusnya sudah lebih tenang dalam perjalanan pulang, namun ketika melihat wajah Emi yang tampak memerah karena air mata yang telah mengering, yang bertanya dengan suara nyaris menangis apakah ada sesuatu yang terjadi—Keito merasa hangat dalam hati. Adik perempuannya, yang sejak kecelakaan itu jadi menutup diri, ternyata masih menyimpan sisi lembutnya.


◇◇◇


Keesokan harinya, sejak pagi Keito tak henti memikirkan Shizuka. Namun email singkat dari Shiba mengatakan bahwa tidak ada perubahan, jadi ia berangkat ke sekolah seperti biasa.


“Hai, Aikawa-kun. Kamu nggak apa-apa kemarin?”


Begitu ia masuk kelas, Seiko langsung menghampirinya.


“Aku baik-baik saja. Nggak ada apa-apa.”


“Yakin? Soalnya suasana kamu kemarin tuh beda banget, loh.”


“Itu karena aku buru-buru ke toilet.”


“Kalau gitu… kenapa kamu ada di taman kemarin?”


“Itu… untuk menggambar sketsa.”


“Hmm… Kalau ada masalah, kamu bisa cerita ke aku juga, lho?”


Seiko menunjukkan ekspresi khas ketua kelas yang bisa diandalkan. Ia salah satu dari sedikit orang yang mengetahui rahasia tentang kata-kata yang hilang. Dan Keito bersyukur—karena ia menerima hal yang tak masuk akal dengan mudahnya.


Selama pelajaran, Keito terus memikirkan masa depan. Mungkin terdengar optimis, tapi itu hal yang baik.


Bagaimana caranya mengeluarkan kata-kata dari Shizuka?


Dia hanya mengenal satu pengirim pesan, yaitu Utaha. Dan hanya tahu metode miliknya: mengikuti perasaan kata-kata yang hilang, bicara mewakili mereka, dan memberikan medium seperti puisi atau lagu yang sarat dengan kenangan dari masa lalu.


Ibunya, Mari, menggunakan lukisan sebagai media. Tapi Keito tak tahu detailnya. Lukisan-lukisannya mungkin tidak cukup kuat menyampaikan perasaannya seperti Mari dulu.


Kalau begitu, ia harus lebih memahami Shizuka. Ia hanya bisa mulai dengan mengikuti jejaknya.


◇◇◇


“Takumi, aku mau bicara. Makan siang bareng, yuk?”


Saat istirahat makan siang, Keito mendatangi kelas sebelah.


“Wah, udah lama banget nggak diajak ngobrol gini.”


Mereka duduk di sudut kelas Takumi, menyatukan meja, dan makan bersama. Seperti kata Takumi—kapan terakhir kali mereka seperti ini? Sejak masuk SMA pun belum pernah.


“Aku ketemu Junichi kemarin.”


“Hah, serius?”


“Aku mau nanya sesuatu .… Eh, kamu tahu soal Jun-nii berhenti dari baseball? Padahal dia udah usaha banget.”


“Jadi kamu udah tahu, ya .…”


Ekspresi Takumi menjadi pahit.


“Itu justru karena dia udah berusaha banget. Karena terus berusaha, saat dia sadar udah nggak bisa … dia jadi nggak tahu harus gimana. Dia berhenti. Bingung harus ngapain setelah itu. Aku sebenarnya dilarang ngomong ini, tapi … Junichi cedera di bahu waktu kecelakaan itu.”


Takumi tentu bicara soal ‘kecelakaan itu’.


“Bahu dia terbentur saat semua orang panik dan dia ikut jatuh ke tengah kerumunan. Aku nggak lihat sendiri, tapi aku tahu dari cerita setelahnya. Junichi pengin aku yang cerita ke kalian, apalagi ke kamu, Keito.”


Kata Takumi, bahunya memang sembuh, tapi tidak sepenuhnya. Untuk kehidupan sehari-hari tidak masalah, tapi ia tak bisa lagi bermain basket seperti dulu.


Junichi, yang berniat serius di klub basket, awalnya tidak cerita ke siapa pun soal cederanya. Tapi karena tidak bisa lagi melempar bola seperti dulu, dia beralih menggunakan tangan kiri—dan itu malah memperburuk kondisinya. Akhirnya dia berhenti.


Takumi, yang masuk klub basket satu tahun setelahnya, tidak melihat nama Junichi di daftar dan langsung menghubunginya. Dari situlah ia tahu semuanya.


“Junichi suka basket, hidupnya tentang basket… tapi sekarang dia nggak bisa main lagi. Dan dia nggak tahu harus ngapain. Akhirnya dia jadi kayak gitu…”


“Kamu masih ketemu dia?”


“Kadang-kadang. Buatku, dia tetap Jun-nii yang hebat main basket. Tapi sekarang… melihat dia yang sekarang tuh nyesek. Dan dia sendiri juga benci ngelihat dirinya begitu. Makanya aku udah jarang ketemu dia akhir-akhir ini.”


“Pantas aja kemarin dia bilang ‘itu salahku’ .…”


“Mungkin itu alasan dia nggak mau aku cerita ke kamu—karena dia tahu kamu bakal ngerasa bersalah. Tapi kenapa kamu masih nyari dia? Kamu udah nggak ada urusan lagi sama dia, kan?”


Kata-kata itu terdengar sepi. Tapi ada kebenaran di dalamnya. Kalau bukan karena urusan Shizuka, mungkin Keito tak akan menemui Junichi dan tahu kondisinya sekarang.


“Aku … ada yang mau kutanyain soal Shizuka. Nggak nyangka ternyata semua ini terjadi .…”


“Shizuka … maksudmu Takamori Shizuka? Kenapa baru sekarang tiba-tiba kamu—?”


“Junichi juga berpikir seperti itu?”


Baik Junichi maupun Sarasa sama-sama mengucapkan kata yang sama: ‘kenapa baru sekarang’.


“Aku nggak salah. Buat kita semua, semua itu sudah berakhir dua tahun lalu. Sesuatu yang ingin kita lupakan.”


“Tidak. Buatku, itu belum selesai. Buatku, itu bukan masa lalu … Shizuka adalah present continuous tense. Dia masih ada.”


“Jadi, apa yang mau kamu tahu soal Shizuka? Jangan bilang kamu bukan cuma ke tempat Junichi, tapi juga ke tempat Irifune?”


“Iya. Dan dia juga bilang ‘kenapa baru sekarang’, sesuai dugaan.”


“Ya jelas.”


“Yang ingin kutahu adalah di mana keberadaan orang tua Shizuka… dan letak makamnya.”


“Kalau dipikir-pikir … aku juga nggak tahu di mana. Begitu ya, jadi kamu juga.”


Awalnya tujuan Keito adalah menemukan kata-kata yang hilang milik Shizuka. Tapi sekarang itu bukan prioritas. Meski begitu, dia tahu pada akhirnya, dia akan sampai juga ke sana.


Saat ini, tujuannya adalah memanggil kata-kata dari lost words Shizuka—sesuatu yang tak bisa dia lakukan sendiri. Dan karena itu, dia memutuskan untuk tidak bergantung pada Utaha. Tapi… apa semua teman masa kecil Shizuka sudah tak peduli lagi padanya?


Kalau begitu, dunia ini terlalu menyedihkan.


“Aku ... bertemu Shizuka.”


Ini taruhan. Sebuah perjudian atas kepercayaan.


“Hah?”


Takumi yang sedang menyendok nasi sontak berhenti dan menjatuhkan butiran-butirannya.


“Itu semacam perumpamaan? Shizuka masih hidup? Mustahil. Atau kamu nemu semacam diary, semacam arwah masa lalu yang bangkit? Mau kamu kasih ke orang tuanya atau diletakkan di makamnya?”


Takumi menerima taruhannya.


“Kamu memang imajinatif banget, Takumi. Aku nggak kepikiran sejauh itu. Makanya maksudku ya… seperti yang kuucapkan.”


“Jadi maksudmu… arwah Shizuka? Baiklah, aku akan ikutan bercanda sebentar. Jadi, Shizuka masih ada di sini? Dengerin obrolan kita dari sebelah?”


“Sekarang nggak. Dia ada di tempat lain.”


“Di mana?”


“Di rumah kenalanku. Kamu nggak kenal orangnya.”


“Jawaban yang nggak memuaskan. Shizuka yang suka baca buku pasti bakal protes.”


“Baiklah, aku kasih tahu. Dia bersama Umegae Utaha.”


“Wah, jadi serius nih. Siapa tuh? Kayaknya ajaib banget orangnya bisa beneran ada. Tapi begitu kamu sebut namanya, aku bisa bayangin—Shizuka memang ada di sana. Jadi, ceritanya makin jelas.


Kita anggap aja Shizuka emang di tempat si Umegae-san itu. Tapi apa dia ada ngeluh ke kamu? Katanya arwah itu bisa muncul sebagai roh penasaran. Tapi kupikir Shizuka nggak punya dendam sama kamu.”


“Itulah yang ingin kutahu.”


“Itu?”


“Apa yang ingin Shizuka sampaikan padaku, apa yang ingin dia tuduhkan… Mungkin dia memang menyimpan dendam. Tapi dia nggak bicara apa-apa, nggak ngajarin aku apa-apa. Makanya aku pengin tahu. Dan untuk itu… aku butuh bantuan semua orang. Kupikir begitu.”


“Semuanya? Maksudmu Junichi dan Irifune-senpai juga? Wah, susah tuh. Kayaknya mereka nggak bakal percaya cerita absurd begini.”


“ … Benar juga.”


“Omong-omong, aku nggak punya kemampuan indigo atau semacamnya .… Tapi aku bisa lihat Shizuka juga, nggak?”


“Kurasa nggak bisa.”


“Sayang sekali. Tapi meskipun sebelumnya aku bilang ‘udah lama nggak ngobrol’, bukan berarti aku nggak peduli. Kalau aku bisa lihat Shizuka, aku juga pengin ketemu. Penasaran aja. Shizuka itu pendiam, dewasa sejak kecil, dan makin cantik pas SMP …


… bukan berarti aku suka sama dia, ya. Walaupun dia agak susah didekati, aku kagum sama dia. Tapi kamu cinta dia kan, Keito?”


“ … Iya.”


Kejujuran Keito dijawab oleh Takumi, “Aku udah duga.”


“Maaf, buatmu cerita ini memang masih sekarang. Nggak gampang lho lupa sama seseorang yang pernah kamu cintai. Bahkan kalau mau nyari cinta baru pun, kamu pasti pengin menutup cerita yang lama dulu dengan baik.”


“Takumi, kamu lebih puitis dari aku.”


“Enggak juga. Soalnya aku juga lagi suka seseorang.”


“Takumi … apa itu cinta?”


“ … Kamu malah balik jadi penyair. Aku juga nggak tahu jawabannya, meskipun udah sering denger pertanyaan itu. Tapi kalau kamu bilang kamu suka sama dia… ya berarti itu cinta. Bukan logika, tapi perasaan. Kadang tenang dengan sendirinya, kadang juga nggak bisa dilupakan meski udah lama banget. Perasaan kayak marah dan bahagia tuh memang bertahan lebih lama. Gitu aja.”


Keito bertanya-tanya, siapa gerangan orang yang disukai Takumi.


“Aku ngerti.”


Keito sempat mengernyit, “Ngerti apanya?” tapi Takumi langsung lanjut bicara.


“Ngerti maksudmu. Kamu pengin Shizuka bisa beristirahat dengan tenang, kan?”


“Kalau kamu bilang begitu sih kesannya aneh, tapi ya … aku cuma pengen tahu apa yang pengin disampaikan Shizuka.”


“Kalau gitu, biar aku bantu.”


“Serius? Kamu percaya omonganku?”


“Hmm … kalau ditanya percaya atau enggak, aku nggak bisa bilang pasti. Tapi kamu bakal ketemu Junichi dan Irifune-senpai juga kan? Ya udah, ayo kita minta bantuan mereka juga.


Kita dulu sering main bareng pas kecil. Junichi itu orang yang bikin aku ikut baseball. Aku nggak sejago dia, dan target timku juga cuma bisa lolos sampe babak ketiga di daerah, jauh dari Koshien. Tapi mainnya tetep seru.


Aku juga nggak ngerti kenapa Irifune-senpai dulu mau main bareng kita. Tapi itu masa yang menyenangkan. Nggak ada salahnya ngobrol sama dia sekali lagi.”


“Gimana kalau kita ke tempat Jun-nii sekarang?”


“Hari ini? Boleh aja sih. Tapi cuma karena kita bareng, bukan berarti obrolannya bakal lancar.”


“Nanti kupikirin pas waktunya.”


“Baiklah … aku nggak nyangka kamu punya sisi inisiatif, Keito.”


“Mungkin nggak juga. Tapi kalau aku berhenti sekarang… aku takut nggak bakal bisa bergerak lagi.”


Aku orang lemah. Orang yang gampang terbawa arus. Karena itu, aku terus mendaki bukit ini—dan perlahan-lahan, aku mulai berubah.


“Rasanya udah lama banget ya kita ngobrol kayak gini. Kamu selama ini ngindarin aku, ya?”


“Itu ….”


“Aku nggak nyalahin kamu. Aku juga ngerasa gitu. Sejak masuk SMA, aku sibuk sama klub, punya teman baru. Tapi yang paling utama … saat aku lihat wajahmu atau Irifune-senpai, aku langsung ingat kecelakaan di kapal itu. Aku sih nggak luka parah, tapi itu karena aku beruntung.


Tapi kamu kehilangan Shizuka yang kamu sayang. Luka di hatimu pasti jauh lebih dalam. Dan meskipun begitu … kamu sekarang berusaha bangkit. Makanya aku pengin bantu.”


Waktu istirahat hampir habis tanpa mereka sadari. Mereka cepat-cepat menghabiskan makanan mereka meski sampai tersedak sedikit.


Saat Keito kembali ke kelas, pelajaran siang pun langsung dimulai begitu dia duduk.


Aku rasa … aku senang telah bicara dengan Takumi hari ini.


Selama ini, akulah yang membangun dinding di antara kami. Tapi ternyata dinding itu semu—hanya ada dalam pikiranku. Dan dengan begitu … mungkin aku bisa berbicara lebih jujur dengan Sarasa juga.


◇◇◇


Sepulang sekolah, Keito pergi ke kelas Sarasa bersama Takumi.


Saat mereka memanggilnya, Sarasa berjalan menghampiri dengan ekspresi kesal yang jelas terlihat di wajahnya.


"Ada apa kalian berdua?"


"Tolong dengarkan apa yang ingin kukatakan."


" … Kita pindah tempat saja."


Mungkin karena sebagian siswa memperhatikan dan menguping, atas saran Sarasa, mereka bertiga menuju Ruang OSIS.


"Tidak ada rapat hari ini, jadi seharusnya tidak ada yang datang. Cepat saja, ya."


"Aku ingin menyampaikan sesuatu."


"Aku sudah dengar. Tapi aku tidak punya apa-apa untuk dikatakan."


"Apa kami pernah menyakitimu, senpai? Kupikir tak ada alasan untukmu bersikap sekeras itu. Meski cuma sebentar, bukankah kita dulu berteman dan bermain bersama?"


"Gotanda, jangan bilang kamu bareng dia karena soal Shizuka."


"Kurang lebih begitu. Aku memutuskan membantu karena rasa nostalgia."


"Astaga. Kalau kamu masih terjebak di masa lalu, lebih baik fokus ke masa depan. Anggap ini peringatan dari kakak kelasmu."


Sarasa membungkukkan tubuh mungil dan rampingnya, menatap mereka dengan tajam.


"Kemarin kamu bilang sudah melupakan Shizuka. Itu benar?"


"Kalau secara fisik, tentu saja aku masih ingat. Ingatanku tidak seburuk itu. Tapi itu semua sudah berlalu. Kanji untuk ‘masa lalu’ itu ditulis dengan karakter yang berarti ‘telah lewat’. Tahukah kau? Yang sudah lewat artinya sama dengan yang terlupakan."


"Semakin kamu menekankan itu, semakin terdengar kalau kamu belum benar-benar melupakannya, senpai."


" … Benar kita pernah bermain bersama. Tapi sekarang berbeda. Itu harusnya sudah kalian pahami. Teman-teman yang kalian miliki di usia ini adalah mereka yang punya minat dan kepribadian serupa. Tak masuk akal kalau kita berteman selamanya hanya karena kebetulan tinggal dekat saat kecil. Waktu mengubah segalanya, dan aku tak perlu menoleh ke masa lalu."


"Termasuk Shi-chan?"


"Seperti yang kubilang kemarin. Aku memang dekat dengan Shizuka. Kecelakaan itu membuatku sangat sedih. Tapi itu masa lalu. Sudah selesai. Sudah berakhir.


Kalian mau apa dengan Shizuka? Mengenangnya? Mengobrol soal kenangan? Konyol. Kalian sudah lebih dari setahun masuk sekolah ini. Kenapa baru sekarang mencariku?"


"Aku punya alasannya. Apa kau tidak ingin bertemu Shizuka sekali lagi, senpai?"


" … Bertemu? Shizuka?"


Untuk pertama kalinya, ekspresi Sarasa yang tegas berubah menjadi bingung.


"Kemarin dan hari ini juga, sebenarnya apa sih yang kalian inginkan? Shizuka ini, Shizuka itu. Hentikan. Aku nggak punya waktu untuk ini. Jangan ganggu aku! Berhenti membingungkanku! Berhenti menyiksaku!"


Sebuah suara pecah penuh kesakitan keluar darinya.


Sarasa berbalik, tampak malu karena emosinya meledak.


"Kalau kalian sudah selesai bicara, aku mau pergi."


"Tunggu. Aku ingin kau jawab pertanyaanku. Cukup jawab ya atau tidak."


"Jawabannya tidak. Dari tadi kalian dengar kan? Aku mengerti betul—tak ada yang lebih hampa dari menjawab pertanyaan dengan syarat yang tak mungkin.


Kalau begitu, selamat tinggal. Jangan cari aku lagi. Kau juga, Gotanda. Kita dulu teman. Tapi sekarang dan seterusnya, itu berbeda."


Setelah berkata begitu, Sarasa melangkah pergi.


"Aku … mencintai Shi-chan. Karena itu aku ingin menolongnya."


Takumi berdiri di sampingnya dan berbisik, "Berani juga."


"Itulah masalahnya. Meskipun menyedihkan, gadis yang kau cintai itu… sudah tidak ada. Sadarlah."


Sarasa berhenti, tapi tak menoleh sedikit pun.


Kata-kata perpisahannya menusuk. Mengapa dia begitu ingin menjauhkan diri dari mereka?


Kalau memang dibenci, tak perlu memaksakan diri untuk mendekat.


Menjaga jarak dari seseorang yang tak cocok memang cara terbaik untuk menjaga kestabilan batin. Keito tahu itu.


Tapi di saat yang sama, dia juga tahu bahwa sekarang bukan saatnya mundur.


"Itu yang mereka sebut tsundere ya?"


"Mungkin nggak juga."


"Benar juga. Ini baru 'tsun'. Aku nggak lihat sisi 'dere'-nya sama sekali. Kalau dia diam aja, dia masih secantik dulu … sayang banget."


"Rasanya sia-sia banget."


"Itu kalimat yang udah lama pengin kukatakan. Aku iri kamu bisa pakai kalimat itu sekarang, Keito."


" … Apa-apaan sih."


Mereka meninggalkan sekolah bersama, lalu naik sepeda menuju rumah Keito.


Saat baru masuk sekolah dan belum kenal siapa-siapa, mereka sempat beberapa kali pulang bersama. Tapi karena beda kelas, beda kegiatan, dan kehidupan masing-masing pun berjalan, mereka makin menjauh seiring berjalannya waktu.


Kadang Keito juga merasa ada jarak, tapi saat mereka berjalan sejajar seperti ini … semuanya terasa kembali seperti dulu, mengejutkannya.


Sambil menuju rumah Junichi, mereka ngobrol tentang banyak hal—tentang klub, kelas, masa SMP, dan masa kecil mereka.


"Aku harap Jun-nii mau ketemu sama kita."


"Dia lagi di rumah nggak ya?"


" … Siapa yang tahu?"


"Dia udah keluar dari klub, dan sekolahnya lebih dekat dari kita. Mungkin aja dia udah pulang. Tapi bisa jadi dia mampir ke tempat lain dulu."


"Maaf, cuma nebak doang sih."


"Tebakanmu masuk akal juga. Ya sudahlah."


Takumi mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan.


"Aku nggak punya nomor dia."


Sebelumnya Keito sempat memberikan nomornya ke ibu Junichi … tapi setelah itu entah bagaimana kelanjutannya.


"Udah lama aku nggak ngirimin dia pesan. Tapi lebih lama lagi sejak terakhir kali ketemu."


Akhirnya mereka sampai di rumah Junichi tanpa mendapat balasan. Setelah menekan bel, Junichi muncul beberapa saat kemudian—masih mengenakan seragam, dan menatap Keito dengan tatapan tajam.


"Jadi kamu datang juga, huh."


Ternyata Takumi tidak menyebutkan bahwa Keito akan ikut.


Keito merasa sedikit tertekan—wajah kesal Sarasa kemarin masih membekas, dan kini ditambah tatapan Junichi hari ini.


"Lama nggak ketemu. Kamu sehat?"


"Kelihatannya aku sehat?"


"Yah … enggak juga sih. Bukan sakit secara fisik, tapi lebih ke nggak enak dilihat. Maksudku, kamu kelihatan nggak sehat."


"Aku bisa ngerti maksudmu tanpa kamu jelaskan lagi. Jangan bilang pesanmu tadi ada hubungannya sama apa yang Keito bicarakan kemarin. Kalau iya, aku nggak perlu dengar lagi."


"Ada tempat yang ingin kutunjukkan padamu sekarang."


Sebelum Junichi sempat masuk kembali ke rumah, Keito melangkah lebih dulu.


"Aku ingin kalian berdua bertemu dengan Shizuka. Jadi, tolong ikut denganku."


Tak ada lagi jalan memutar.


Keito memang buruk dalam menyerah. Negosiasi bukan keahliannya. Maka ia menyampaikan niatnya secara jujur, langsung, dan penuh tekad.


◇◇◇


Keito tahu bahwa cara pendekatannya berhasil pada Takumi. Ia juga tahu bahwa baik Takumi maupun Junichi adalah lawan yang berat untuk diyakinkan.


“Hah? Serius? Takamori lagi? Aku cuma keluar karena kupikir Takumi datang sendiri. Tapi kalau Keito ada di sini, mana mungkin aku ikut.”


“Tolong pinjamkan kekuatanmu, Jun-nii. Kau juga, Takumi.”


“Pinjamkan kekuatanku? Aku?”


Junichi berbalik, menatap Keito tajam. Meski ia sudah berhenti bermain basket, tubuhnya tetap tegap, posturnya tetap mengintimidasi.


“Benar. Aku membutuhkannya untuk menyelamatkan Shi-chan.”


“Takamori, Takamori, Takamori. Ini semacam permainan, ya? Permainan imajinasi kayak anak kecil? Kalau iya, gamenya membosankan banget.”


“Kau boleh bilang apa pun. Tapi kalau kau tidak mau membantu, aku akan melakukannya sendiri. Tapi tanpa semua orang, ini tidak akan berhasil. Tolong beri aku satu kesempatan lagi untuk memulai dari awal.”


“Kesempatan, ya? … Dengar, aku kasih tahu sesuatu yang bagus. Manusia itu gak dapat kesempatan kedua kalau sudah melakukan kesalahan. Itu sudah titik akhir.”


“Kau menyerah hanya karena bahumu cedera? Itu terlalu lemah. Apa itu Jun-nii yang kukenal?”


“Sial, apa yang kamu tahu tentang aku? … Tidak, kamu pasti tahu. Tanpa basket, aku bukan siapa-siapa. Aku gak bisa belajar, gak bisa ngapa-ngapain. Aku bukan Jun-nii kalian lagi, jadi biarkan aku sendiri.


Bahkan kalau aku bisa bertemu Takamori, aku gak mau dia melihat aku yang sekarang, payah begini. Bukankah itu menyedihkan? Aku … gak bisa memenuhi harapannya.”


Suara Junichi meredup, dan ia menundukkan kepala.


“Shi-chan gak akan menertawakanmu cuma karena kau sekarang kelihatan nggak keren. Aku juga nggak menganggapmu menyedihkan. Kau tahu sendiri bagaimana Shizuka itu orangnya. Kalau kau merasa kau nggak cukup baik, justru itu tandanya kau masih peduli. Kau pasti akan baik-baik saja, Jun-nii.


Jadi, maukah kau ikut denganku? Kau cuma perlu ikut saja. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa merebut kembali masa lalu itu. Aku akan mengambil kembali yang dulu hilang. Dan aku ingin kau menjadi saksinya. Aku mohon padamu.”


“ … Kalau gagal, aku akan tertawa melihatmu.”


“Kau boleh tertawa. Tapi sebagai gantinya, aku ingin kau lihat semuanya sampai akhir.”


“ … Aku cuma akan ikut. Hanya itu.”


◇◇◇


Junichi menyusul mereka berdua dengan mengayuh sepedanya dalam diam. Tak ada obrolan antara Keito dan Takumi. Kapan terakhir kali mereka bertiga berkumpul seperti ini? Sulit untuk diingat.


Angin senja bertiup sejuk, membuat orang mudah lupa bahwa musim hujan masih berlangsung. Sinar matahari senja yang menembus celah awan dari barat menyinari mereka, melukis tubuh-tubuh itu dengan cahaya jingga.


Pernah ada masa, ketiganya berlari bersama di bawah langit yang sama menjelang senja seperti ini. Meski waktu dan tanggalnya mungkin telah hilang dari ingatan… kenangan itu masih hidup di hati mereka.


◇◇◇


Mereka menghentikan sepeda mereka di depan toko milik Utaha.


[Tsukuyusa]? Shizuka ada di dalam sini?”


Takumi, yang setengah yakin setengah tidak, masuk bersama Junichi yang sejak tadi terus diam tanpa sepatah kata pun.


“Selamat datang, Aikawa-san. Hari ini kau agak terlambat. Apakah dua orang ini kenalan Shizuka-san? Aku sudah menunggu.”


“Aku akan memperlihatkan tempat ini pada kalian.”


“Baik.”


Utaha sedikit mengangguk dan mengawasi mereka dengan pandangan yang tenang.


“Keito, dia ini Umegae-san yang kamu sebut waktu makan siang tadi? Cantik banget .…”


“Ya. Dia pemilik toko ini. Dan … orang yang bisa membantu kita.”


Entah Junichi mendengarkan atau tidak, ia hanya berjalan di belakang mereka dalam diam.


Mereka melewati semua lukisan yang tergantung di dinding tanpa berhenti.


Sebenarnya, kalau bukan karena alasan mendesak, mereka pasti sudah melihat satu per satu dengan saksama. Namun saat ini, Keito harus segera mengantar mereka ke tujuan.


“Lukisan ini ….”


Begitu mereka berdiri di depan lukisan Shizuka, Takumi dan Junichi seolah kehilangan kata-kata.


“Kenapa ada gambar Shizuka di sini? Apa dia pernah berpose untuk lukisan ini sebelum kecelakaan?”


Yang bertanya adalah Takumi. Sementara Junichi masih berdiri mematung di depan lukisan itu, tak bergerak sedikit pun. Seolah Shizuka benar-benar hadir di sana.


Faktanya, kata yang hilang milik Shizuka memang sedang berdiri tepat di samping mereka. Namun hanya Keito yang bisa melihatnya. Tak ada perubahan pada penampilannya.


“Itu karena orang yang melukis lukisan ini pernah melihat Shizuka.”


“Siapa yang melukisnya?”


“Ibunya Utaha-san. Mari-san adalah seseorang yang bisa melihat kata yang hilang. Karena itu, apa yang ia lihat, ia tinggalkan dalam lukisan ini. Sama seperti dia … aku juga bisa melihat kata yang hilang milik Shizuka.”


Kata yang hilang? Apa maksudmu … kata yang hilang?”


Takumi bertanya lagi, seperti yang sudah diduga. Karena memang Keito belum menjelaskan apa-apa soal itu. Ia sengaja menunggu sampai mereka bisa melihat lukisannya terlebih dahulu.


Keito mulai menceritakan tentang keberadaan kata yang hilang, tentang peran pengirim pesan, dan bahwa motifnya adalah untuk mendengar kata-kata yang belum sempat diucapkan oleh kata yang hilang milik Shizuka.


“Tak ada bukti kalau semua ini benar, kan?”


Untuk pertama kalinya, Junichi yang sejak tadi diam akhirnya membuka mulut, suaranya mengandung nada tantangan.


“Kalau begitu, bagaimana dengan lukisan ini?”


“Mungkin ini lukisan yang sudah kalian siapkan dari awal untuk menipuku. Bukankah mudah kalau kamu dan dia bekerja sama?”


“Ini bukan cuma tentang Shi-chan. Ingat tidak, Jun-nii? Ini laut tempat kita biasa bermain waktu kecil. Laut di dekat rumah kakekku. Laut itu, pantai itu.”


“Aku mengerti. Pantas saja terasa familiar … pemandangan itu memang tepat seperti aslinya.”


“Itu tempat yang kau kenal baik. Tapi tetap saja, itu belum cukup membuktikan apa-apa.”


“Lalu kenapa aku harus repot-repot menipumu?”


“Untuk mempermainkan kami, untuk menertawakanku. Perempuan itu juga pasti komplotanmu, kan?”


“Junichi, kamu sendiri tahu kata-katamu itu tidak masuk akal, kan?”


Keito mengambil napas dalam-dalam. “Aku jujur padamu, Junichi. Aku juga masih ragu dengan semua ini. Tapi lukisan ini … entah kenapa, aku bisa percaya. Setelah kematian Shizuka, kalau tiba-tiba kau melihat lukisan seperti ini, siapa pun pasti berpikir—ya, ini memang dia. Kalau ini yang kau sebut kata yang hilang, maka aku mengerti.”


“Itu benar. Lagi pula, tidak ada alasan bagiku untuk mengerjai kalian. Mau percaya atau tidak, kata yang hilang milik Shizuka memang tergambar di sini, dan dia masih ada di sini, tepat di samping kita.”


Pandangan Keito beralih ke Shizuka yang berdiri di sebelah mereka. Kepada kata yang hilang milik gadis itu—seseorang yang belum memilih masa depannya, belum menemukan kata-katanya sendiri, belum mampu menjalankan peran terakhirnya.


Walaupun dua orang temannya tidak dapat melihatnya, Shizuka tetap ada.


Dia menatap Keito, lalu perlahan memandang ke arah Takumi dan Junichi.


“Itulah kenapa aku … ingin tahu kata-kata terakhir yang belum sempat Shizuka ucapkan. Aku tak tahu apakah itu untuk kita, untuk Irifune-senpai, atau untuk orang tuanya yang tak jelas keberadaannya. Aku hanya ingin menyampaikan kata-kata itu kepada orang yang dituju. Tapi aku tak bisa melakukannya sendiri.”


Junichi menatap Keito dalam-dalam.


“Jadi, kau bilang … hanya kau yang diberi kesempatan kedua? Bukan aku… tapi kau?”


Dan akhirnya, ia menunduk seperti seseorang yang telah patah sepenuhnya.


Takumi melihat ke arah Junichi, lalu bergumam pelan, “Aku ikut.”


“Aku nggak tahu apa-apa soal ini. Tapi terlalu berlebihan kalau dibilang bohong. Lagipula … aku tahu rasanya ingin melakukan sesuatu untuk seseorang yang kau cintai. Apalagi kalau orang itu … sudah tidak ada.”


Suaranya lembut, memberi dukungan secara tak terduga.


Namun wajah Junichi masih tertunduk, seakan tak ingin melihat siapa pun.


“Bagaimana bisa kamu tahu? Lagipula, aku dan Takumi ini bisa apa? Kami tak bisa melihat Takamori, tak bisa mendengar suaranya, tak bisa menyentuhnya. Apa yang bisa kami lakukan? Kami nggak punya kuasa apa-apa.”


Ia merintih seperti orang yang nyaris menangis.


Seseorang yang dulu adalah pemimpin mereka, kini hanya seorang anak laki-laki realistis yang ketakutan.


“Aku nggak punya jawaban hebat. Aku sendiri nggak tahu. Tapi … cukup dengan berada di sisiku.”


“ … Tadi juga sudah kukatakan, aku cuma ikut. Jangan paksa aku.”


Dengan suara berat, Junichi berbalik dan meninggalkan toko lebih dulu. Keito tidak bisa menghentikannya.


“Sepertinya … dia belum bisa menerima kenyataan sekarang. Yah, aku pun sama sih. Tapi aku yakin, dia akan membantu.”


Setelah berkata begitu, Takumi juga pamit, “Aku pulang duluan.”


Lingkungan sekitar telah menjadi gelap sepenuhnya. Keito menatap cahaya lampu sepeda Takumi sampai tak terlihat lagi. Tubuhnya terasa sangat letih.


Hari ini terasa sangat panjang.


“Aku juga pulang. Tolong jaga Shizuka-san.”


Utaha, yang sejak tadi diam dan hanya mengamati mereka, menjawab dengan singkat, “Hati-hati di jalan.”


“ … Aku akan kembali besok.”


Terakhir, Keito menoleh ke arah Shizuka yang masih berdiri di sana, dan berkata lirih padanya.


Keito mulai mengayuh sepedanya perlahan. Badannya lelah, pikirannya kacau. Tapi kakinya terus bergerak, dan sepedanya tetap melaju ke depan.


◇◇◇


Sesampainya di rumah, ia menyantap makan malam terlambat, lalu mandi. Segera setelah itu, kantuk berat menyerangnya. Ia sempat berpikir untuk mengerjakan PR, namun rasa kantuknya menang, dan akhirnya ia langsung berbaring di tempat tidur.


Apakah ia masih akan memimpikan Shizuka … meski kini telah bertemu dengannya? Apakah itu menyiratkan sesuatu? Meski begitu, ia berharap malam ini tidak diselimuti mimpi.


Namun—ia kembali bermimpi.


Keito berdiri di pantai. Tepat di tempat yang sama seperti dalam lukisan peninggalan Mari. Begitu miripnya hingga Keito merasa seperti ditelan masuk ke dalam kanvas lukisan itu.


Matahari bersinar menyilaukan di langit selatan. Deru ombak menghempas pantai dengan irama yang tetap.


Keito berdiri sendirian, menghadap laut—sebagai anak kecil.


Tak ada siapa-siapa. Tidak ada Shizuka, Takumi, Junichi, atau Sarasa. Tidak ada satu pun.


Dengan enggan, Keito melangkah menuju tepi air. Air laut sedang pasang, dan ombak dingin menyapu kakinya hingga basah.


“Kei-kun.”


Ia merasa seperti ada seseorang yang memanggilnya dengan suara lembut. Suara itu seperti bisikan angin—pelan, namun menuntunnya. Tertarik oleh suara itu, Keito terus berjalan maju.


Beberapa batu kecil berguling di bawah telapak kakinya. Di depannya, batu-batu itu membentuk semacam lingkaran, seperti pagar alami yang mengelilingi sesuatu. Saat ia melongok ke dalamnya, seekor ikan kecil terlihat berenang di sana. Ikan itu tidak ia kenali, namun tampak lembut dan lincah. Meski air laut sedang pasang, ikan itu tetap terperangkap—karena air di dalam lingkaran itu tidak mengalir keluar.


“Kei-kun.”


Seseorang memanggil lagi.


“Ayo kita bebaskan dia, Kei-kun.”


Jika ikan yang terkurung itu dibiarkan begitu saja, cepat atau lambat ia akan mati.


Tapi … siapa yang bicara? Apakah ikan itu sendiri yang memohon? Atau seseorang yang tak terlihat tengah berbicara dari kejauhan?


Keito tak mampu memahaminya. Lagi.


Namun ia mematuhi suara yang tak dikenalnya itu, dan mencoba menyelamatkan ikan dengan menyendoknya keluar.


Namun ikan itu—yang tadinya berenang dengan tenang—selalu lolos dari sela-sela jemarinya. Setiap kali Keito mencoba menangkapnya, ikan itu meluncur pergi. Dan itu terus terjadi berulang kali. Semakin ia cemas, semakin ia sadar—bahwa ia tidak bisa melakukan ini sendirian.


Andai saja ada orang lain di sini. Andai saja ada seseorang yang bisa membantuku.


“Tolong … Kei-kun.”


Ada seseorang—memohon padanya.


Apakah itu suara Shizuka? Atau … suara ikan? Apakah Shizuka adalah ikan itu? Atau… ikan itu adalah Shizuka?


◇◇◇


Saat ia terbangun, tubuhnya kembali basah kuyup oleh keringat.


Piyamanya melekat pada kulit, dan ia merasa kesulitan saat melepasnya. Nafasnya berat. Kepalanya pening. Tapi yang paling terasa—adalah kehampaan.


Mimpi itu, seperti menggambarkan sesuatu yang tak sanggup ia ucapkan. Seolah ada luka yang belum selesai, namun tak bisa ia jangkau sendirian.


◇◇◇


Ia menyisakan setengah dari sarapannya. Semalam ia pulang terlambat, dan pagi ini pikirannya mengawang terus. Suara cemas dari orang tua dan adiknya seperti hanya menggema di awan—tak benar-benar masuk ke telinganya.


Keito tak sanggup mengayuh sepedanya, jadi ia naik bus. Hujan yang turun sejak subuh membasahi gang-gang sempit dan membuat udara lembab.


Saat turun dari bus, ia mengangkat payung dan melangkah menuju sekolah. Sepanjang jalan, ia mengulang-ulang mimpi yang ia lihat pagi tadi dalam benaknya.


Siapa yang terjebak di pantai itu? Siapa yang tertinggal di laut itu?


Jawabannya, sesungguhnya, selalu berada tepat di hadapannya.


Saat hendak masuk kelas, Takumi sudah berdiri menunggunya di pintu.


“Makasih buat kemarin … Tapi kamu tidur gak cukup ya? Lingkaran hitam di bawah matamu parah banget.”


“Aku … melihat mimpi yang aneh.”


“Mimpi aneh?”


“Iya, semacam itu.”


“Setelah semua yang terjadi kemarin, ya wajar belum ada kemajuan sih. Tapi kamu mau pergi bareng hari ini?”


“Nggak. Aku mau pergi sendiri. Kamu pasti ada latihan, kan? Sekarang udah masuk semester baru juga.”


“Itu bener juga… Oke deh. Walau ada banyak pertandingan, tetap aja latihan itu wajib.”


Klub bisbol SMA Kikusui sudah bertanding dua minggu lalu di turnamen lokal dan langsung kalah di pertandingan pertama. Sekarang tim mereka sudah mulai transisi ke generasi baru, dan Takumi sudah naik menjadi senior.


Tapi … sepertinya Takumi tidak terpilih menjadi pemain cadangan sekalipun.


Di mata Keito, Takumi yang dulunya jago bisbol itu … apakah sekarang hanya jadi salah satu dari sekian banyak anggota tim yang tak diperhitungkan lagi saat masuk SMA?


Di kelas, Seiko juga tampak khawatir akan hal yang sama.


“Kamu nggak apa-apa? Beneran nggak ada masalah? Lingkaran matamu parah banget.”


Kelihatannya memang mencolok.


“Aku baik-baik saja.”


“Tapi kamu kelihatan aneh sejak ketemu aku di taman dua hari lalu, Aikawa-kun .…”


“Aku memang dari lahir udah aneh.”


Saat ia menjawab begitu dan memaksakan tawa,


“Misalnya nih, kalau besok adalah deadline pameran seni, dan lebih dari separuh karya yang harus ditampilkan belum selesai … kalau kayak gitu, kamu bakal gimana, Haruchika?”


“Aku bakal berusaha sekuat tenaga dan gak menyerah, pastinya!”


“Yap, sesuai dugaanku. Aku juga begitu.”


“Berarti kamu lagi ada sesuatu yang harus kamu selesaikan ya sekarang? Oke, aku ngerti. Tapi jangan terlalu memaksakan diri ya.”


“Aku bakal hati-hati.”


Meski ia bilang begitu, Keito tahu ada saat di mana seseorang memang harus memaksakan diri. Dan sekarang adalah saat itu.


Aku akan membawa Shizuka bersamaku.


Ke pantai tempat kenangan mereka dulu tertinggal. Pantai yang pernah mereka tuju, tapi tak pernah mereka capai. Tempat di mana ia dan Shizuka pernah bermain sewaktu kecil.


Sekali lagi, di tempat itu. Bersama orang-orang yang dulu. Bersama kata yang hilang milik Shizuka.


Keito sepertinya sudah tahu sejak ia bermimpi pagi tadi—atau bahkan jauh sebelum itu—bahwa hanya dengan cara itulah ia bisa mendengar kata-kata yang belum tersampaikan dari Shizuka.


Ada dua Shizuka.


Satu yang tenggelam bersama waktu di dasar laut.


Dan satu lagi—yang menampakkan dirinya, yang dipenuhi perasaan namun belum bisa bicara.


Shizuka yang mati di bawah air—sedang memanggilnya.


Keito harus menemuinya.


◇◇◇


Sepulang sekolah.


Klub seni sedang mengadakan rapat sebelum liburan musim panas, dan seharusnya Keito hadir. Tapi ia meminta izin pada Seiko yang menjabat sebagai wakil ketua, dan memutuskan untuk absen.


“Setelah semua selesai, aku pasti balik lagi. Jadi tolong tunggu ya. Maaf banget.”


“Kamu makin baik hati, Aikawa-kun.”


“Baik hati?”


“Iya. Maksudku, kamu memang dari dulu baik sih… tapi sekarang, aku ngerasa kamu lagi berusaha keras banget. Aku bisa lihat kalau kamu sedang memperhatikan seseorang dengan tulus. Itu bentuk kebaikan juga, kan?”


“……Begitu ya? Aku nggak yakin juga.”


“Yang penting, jaga kesehatanmu.”


Bus dari arah stasiun menuju utara kota makin lama makin penuh seiring masuknya para murid SMA Kikusui. Meski ada pendingin udara, hawa lembab tetap membuat perjalanan itu terasa pengap dan tidak nyaman.


Keito tak mendapat tempat duduk. Dan setiap kali bus berhenti di halte atau lampu merah, rasa frustasi itu makin menumpuk.


Saat turun di halte terdekat, ia membuka payungnya dan berjalan cepat dengan punggung menghadap Gunung Kinpu yang tertutup kabut hujan.


Saat akhirnya membuka pintu
[Tsuyukusa], seragamnya sudah basah kuyup.


“Selamat datang, Aikawa-san … Apa kamu baik-baik saja?”


Dengan lingkaran hitam di bawah mata, bahu yang naik turun seperti sulit bernapas, dan seragam yang menempel erat ke tubuh, ia tampak sangat kelelahan.


“Aku akan buatkan kopi. Itu akan menghangatkan tubuhmu.”


Merasa sangat berterima kasih, Keito langsung menyampaikan niatnya dengan semangat:


“Aku ingin membawa Shi-chan pulang ke rumah. Di mana dia sekarang?!”


Melihat Keito yang bersikap sangat terburu-buru, Utaha hanya berkata pelan:


“Tenangkan dirimu dulu.”


Keito menerima handuk yang disodorkan Utaha dan mengusap leher serta dahinya. Hanya dengan itu saja, rasa tak nyamannya sudah sedikit mereda. Setelah menyeruput kopi dandelion yang dibuatkan Utaha, Keito menyampaikan tekadnya.


Ia ingin membawa Shizuka ke pantai—tempat yang hadir dalam mimpinya pagi tadi.


Utaha mendengar keinginan itu dan mengangguk pelan.


“Aku mengerti. Menurutku itu ide bagus, membawanya ke tempat kenangan.”


“Kalau begitu, mari kita langsung———”


Namun, Utaha menahan langkahnya.


“Tapi ada kabar buruk. Kata yang hilang milik Shizuka-san … tidak punya banyak waktu lagi. Jika terus seperti ini, ia akan segera menghilang.”


Keito menerima kabar itu dengan tenang, lebih dari yang ia sangka.


Mungkin karena ia sudah merasakannya sejak mimpi pagi tadi. Bahwa perpisahan mereka semakin dekat. Bahwa waktunya hampir habis.


Semakin besar alasan baginya untuk cepat-cepat membawa Shizuka pulang.


“Selama ini, Shi-chan menunggu di taman? … Kenapa dia nggak datang ke sini?”


Jika kata yang hilang yang datang ke toko ini langsung masuk ke dalam dan bertemu Utaha, mereka pasti bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama.


“Apakah kamu kebetulan melewatinya? Atau mungkin, selama ini Shizuka-san memang sedang menunggu kamu di sana?


… Atau … bisa jadi Shizuka-san terjebak di tempat itu.”


Mendengar kata-kata Utaha itu, Keito mendadak teringat sesuatu.


Begitu ya. Kalau Shizuka itu seekor ikan, maka dialah ikan kecil yang akhirnya berhasil aku angkat dari kolam batu sempit itu—tempat di mana ia selama ini terperangkap.


Saat itu aku gagal menyelamatkannya. Tapi sekarang … tidak akan lagi.


Ini barulah permulaan.


“Aku akan berangkat hari Sabtu. Utaha-san, bisakah kau ikut denganku?”


Liburan musim panas telah dimulai. Meskipun begitu, masih tersisa empat hari lagi, termasuk hari ini.


“Ya. Aku punya kewajiban … dan alasan untuk menyaksikan takdirmu.”


Utaha menjawab dengan wajah lembut, meski terselip kesan muram yang tak bisa ia sembunyikan.


Saat Keito berjalan ke bagian belakang ruangan, Shizuka berdiri di hadapan lukisan itu seorang diri.


Ia tak bergerak—bagaikan sebuah patung.


Namun, jika seseorang terlalu lengah … mereka bisa kehilangan pandangan akan dirinya.


Keito menyipitkan mata, dan barulah ia bisa melihatnya.


Keberadaan Shizuka … jauh lebih tipis daripada kemarin.

Memang sejak awal, kata-kata yang hilang memiliki ciri khas berupa ketidakhadiran ekspresi, atau emosi yang samar. Tapi kini … bahkan itu pun hampir tak tersisa. Jika sebelumnya Keito masih bisa merasakan kehadirannya secara halus—seperti perbedaan antara cahaya dan bayangan, terang dan kelam, fakta dan fiksi—kali ini, ia hampir tak bisa merasakannya sama sekali.

Ia sedang memudar.


“Kalau kamu tidak punya banyak waktu lagi … aku ingin menghabiskan sisa waktu ini bersamamu, Shi-chan.”


Dengan hati-hati, Keito menggenggam tangan kanan Shizuka.


Rasanya seperti memegang sehelai kain tipis.


Jika ia melepaskannya, bahkan hanya sejenak, Shizuka bisa saja terbang melayang ke langit dan menghilang entah ke mana.


Namun jika ia menggenggamnya terlalu kuat, ia bisa hancur … hancur begitu saja, dalam genggamannya sendiri.


◇◇◇


“Ayo pergi, ya?”


Keito berjalan pulang ke rumah dengan hati-hati dan pasti. Shizuka mengikuti di belakangnya tanpa perlawanan.


Dulu, saat mereka masih kecil, ia akan menarik tangan kecil itu dan berlari bersama di taman. Sekarang, ia berjalan pelan, menggenggam ringan tangan yang begitu fana—seolah bisa lenyap hanya dengan sentuhan.


Ia menggenggam tangan kanan Shizuka dengan tangan kirinya, dan memegang payung dengan tangan kanannya. Keito memiringkan payung ke satu sisi, agar Shizuka tidak basah. Meskipun separuh tubuhnya sendiri diguyur hujan, ia merasa … itu menyenangkan.


Sesampainya di rumah, Keito mengajak Shizuka masuk ke kamarnya. Untuk mengeringkan tubuhnya, ia mandi sebelum makan malam. Ia khawatir meninggalkan Shizuka sendirian, tapi ia tidak bisa mandi bersama, tentu saja.


Usai mandi, Shizuka masih menunggunya di kamar.


Saat makan malam, Shizuka berdiri di sampingnya. Tak mungkin orangtuanya—yang telah mengenal Shizuka sejak kecil—akan menyangka bahwa gadis itu kini berada di ruangan yang sama dengan mereka. Memikirkan hal itu membuat Keito merasa sedikit konyol.


Setelah itu, ia kembali ke kamar dan mengerjakan PR.


“Sudah lama ya, Shi-chan … sejak terakhir kamu ke rumahku.”


Meskipun tahu tak akan ada balasan, Keito tak bisa menahan diri untuk terus bicara padanya.


“Kira-kira kamarku sekarang kelihatan beda gak, ya?”


Terakhir kali Shizuka masuk ke kamarnya kemungkinan besar adalah waktu kelas lima SD—sehari sebelum ia berkata kasar padanya. Meski kondisi kamarnya waktu itu sudah tertutup kabut ingatan, ia yakin tata letak meja dan raknya kini berbeda.


Barang-barang seperti smartphone dan charger di atas mejanya—itu semua adalah hal yang dulu bahkan tak terpikir olehnya saat masih kecil.


Ia menatap rak bukunya.


“Karena kamu, sekarang aku jadi punya lebih banyak buku, Shi-chan … meskipun masih malu juga.”


Ia membeli banyak buku yang dulu Shizuka suka baca—dengan harapan bisa mengenalnya lebih dalam, sekaligus sebagai bentuk penebusan. Beberapa terbit saat Shizuka masih hidup, beberapa lainnya sesudah ia tiada.


Keito membacanya seolah paham, tapi ia tak yakin bisa menjelaskan isi bukunya kalau ada yang bertanya. Meski begitu, ia jadi menyukai membaca, berkat Shizuka.


Saat SMP dulu, Shizuka sudah membaca buku-buku yang terasa sulit di mata Keito. Ia tak seharusnya merasa minder, tapi ia tak bisa menahan diri untuk tidak membandingkan dirinya.


Kamu boleh baca sebanyak yang kamu mau. Kalau gak mau, gak perlu. Saat kamu ingin baca, cukup baca buku yang ingin kamu baca.


Saat ia bertanya pada dirinya sendiri, ia tiba-tiba teringat ucapan Shizuka itu.


“ … Kamu gak bisa baca buku lagi ya, Shi-chan .…”


Banyak buku baru yang diterbitkan setelah Shizuka meninggal. Dan Shizuka … tak akan bisa membacanya lagi. Itu membuat Keito sadar akan kematian.


Kalau lampu kamar dimatikan, akankah Shizuka larut ke dalam kegelapan dan menghilang?


Ia tak berani mematikan lampu karena ketakutan itu.


Walau niatnya tidur dengan lampu menyala, ia tetap kesulitan untuk benar-benar tertidur.


Saat membuka mata, Keito menoleh dan memastikan Shizuka masih ada di samping tempat tidurnya.


“Apa yang kamu inginkan, Shi-chan? Apa yang harus kulakukan … apa yang harus kusampaikan agar bisa mengembalikan kata-katamu?”


Tentu saja, tak ada jawaban yang datang.


Itu adalah jawaban yang harus Keito temukan sendiri.


Meski ia berusaha melawan rasa kantuk, tidur akhirnya menjemputnya juga.


◇◇◇


Keesokan paginya, ia bersyukur Shizuka masih ada di kamarnya.


Shizuka berdiri samar di bawah sinar matahari pagi.


“Selamat pagi.”


Ia menyapanya seperti berbicara kepada diri sendiri, lalu mulai berganti pakaian.


Meskipun yang berdiri di sana hanyalah kata yang hilang milik Shizuka, tetap saja rasanya malu jika hanya mengenakan celana dalam di depannya. Ia menjadi sadar kembali akan keberadaan gadis itu—meskipun tak ada tanggapan, meskipun wujudnya nyaris lenyap. Ia pun membalik badan dan cepat-cepat berganti pakaian.


Hari itu menandai berakhirnya musim hujan, dan cahaya musim panas segera bersinar terang.


Keito membawa kata yang hilang milik Shizuka ke sekolah.


Itu adalah waktu rahasia mereka—ia tidak memberitahu siapa pun, bahkan Takumi.


“Kamu kelihatan senang, Aikawa-kun.”


“ … Serius?”


Ia menanggapi pertanyaan Seiko dengan pura-pura tidak tahu, meskipun ia sendiri tak yakin apa alasannya.


Sementara itu, Shizuka terus berdiri di sampingnya.


Ia ingin Shizuka mengenal sekolah yang tak pernah bisa ia datangi. Tentu saja, kata yang hilang milik Shizuka hanya berdiri di sana, tanpa merasakan apa pun.


Meski Keito tahu ini hanyalah bentuk kepuasan diri, ia tetap ingin melakukannya.


◇◇◇


Hari-hari pun berlalu, dan keberangkatan ke tempat kenangan—dua hari lagi—semakin mendekat.


Takumi bilang ia akan ikut.


Ia sudah mengabari Junichi soal jadwal, tapi belum mendapat jawaban.


Sarasa … tidak ia beri tahu sama sekali.


Selama tiga hari itu, Keito menjalani kehidupan aneh bersama Shizuka. Sekolah, makan, bersantai di kamar, tidur—semuanya bersama dia.


Hanya tiga hari. Tapi terasa panjang. Bahkan saat kecil dulu pun, ia tak pernah bersama Shizuka selama ini.


Awalnya ia merasa gelisah. Tapi perlahan, ia merasa kesepian.


Shizuka hanya berdiri di sana, tidak menjawab pertanyaannya, tidak tertawa saat ia membuat kesalahan, tidak malu saat ia berganti baju.


Keito tak menyalahkannya.


Tapi … apakah benar dia masih menyimpan kata-katanya?


Keito tidak hanya jatuh cinta pada rupa Shizuka, tapi juga pada pikirannya, hatinya, pada seluruh dirinya sebagai Takamori Shizuka.


Kalau begitu … yang ada di depannya ini hanyalah tiruan. Sebuah fenomena bernama kata-kata yang hilang.


Amarah yang tidak wajar pun meledak dalam dirinya—dan Keito jijik pada dirinya sendiri karena bisa berpikir seperti itu.


“Seseorang pernah bilang kalau air mata adalah laut terkecil di dunia. Kamu dulu pernah ngomong sesuatu yang mirip, ya kan, Shi-chan?”


Keito memberitahu Shizuka soal yang ia dengar dari Misora sebelumnya.


“Hei, Shi-chan, kamu denger gak sih?”


Keito terus bicara pada kata yang hilang milik Shizuka—yang mungkin berdiri di sebelahnya, atau mungkin … tidak ada sama sekali.


Gadis di sampingnya itu tak menjawab. Tapi kesedihan dalam hatinya terus tumbuh, tak bisa ia ubah jadi kata-kata.


“ … Kenapa kamu gak jawab?”


Keito bertanya, tapi ia tahu jawabannya takkan datang.


Utaha-san, kau bilang kata-kata itu punya kekuatan.


Tapi bagaimana jika dia sendiri tak lagi punya kekuatan untuk berkata?


Apa masih ada makna dalam "kata-kata yang hilang" …?


Saat ia memikirkan itu, ia langsung mengirim pesan pada Junichi:


Gak apa-apa kalau kau gak datang besok. Aku bisa sendiri. Aku gak akan maksa, meskipun aku tahu kau membenciku.


Apa aku ini cuma nyeret teman lama yang udah nyaris rusak ke dalam masalah? Apa aku ini cuma gangguan?
—itulah yang mendorongnya mengirim pesan itu.


Ia hampir mengirim pesan serupa ke Takumi, tapi … ia ragu.


Seperti sebelumnya, Shizuka berdiri di sampingnya, terlihat kesepian. Ia tahu itu hanya bayangan dari perasaannya sendiri.


Namun … Shizuka benar-benar terlihat seperti menangis saat itu.


Keito berjalan mendekat dan menyeka air mata yang tidak ada.


“Aku jadi penasaran, air mata yang Shi-chan teteskan itu … apa akan bermuara ke laut juga?”


Ia menjilat jari telunjuk Shizuka yang kanan—tak terasa apa-apa.


Sama seperti air mata yang tak tampak itu, ia tak bisa melihat laut yang mewakili isi hati Shizuka.


Menolak keberadaan kata yang hilang miliknya walau sebentar saja … bukan ide yang baik.


Bukan karena Shizuka tak bermakna—tapi karena Keito lah yang tak cukup kuat.


Ia belum tahu bagaimana mengungkapkan kata-katanya.


Keito sadar akan ketidakmampuannya, saat ia terpaksa bersandar pada kata-kata orang lain.


Pesan ke Junichi sudah telanjur terkirim.


Dan saat ia ragu untuk mengirim ulang, ia pun tertidur dalam keraguan.


◇◇◇


Hari Jumat. Setelah upacara penutupan sekolah, besok adalah hari keberangkatan yang sesungguhnya.


“Kamu kelihatan nggak sehat, Aikawa-kun. Padahal biasanya liburan musim panas itu menyenangkan, kan?”


Seiko bertanya dengan nada khawatir—mungkin karena Keito yang belakangan tampak ceria, kini mendadak murung.


“Nggak ada apa-apa.”


Keito sendiri tak yakin apakah ia bisa menertawakannya.


“Jangan-jangan ... kamu lagi galau soal cinta?”


“Kenapa kamu mikir begitu?”


“Biasanya, penyebab naik-turunnya perasaan dalam waktu sesingkat itu ya soal cinta. Seharian bisa bahagia cuma gara-gara ngobrol sama orang yang disukai, terus jadi sedih banget cuma karena lihat dia ngobrol sama orang lain. Hal sepele buat orang lain, tapi besar banget buat yang ngerasain.”


“Apa kamu berpengalaman, Haruchika?”


“Aku serahkan itu ke imajinasimu.”


Ia tersenyum masam, tapi tampak sedikit gembira.


“Kalau dipikir-pikir, bahkan masalah yang menyakitkan banget buat satu orang, kadang gak berarti apa-apa buat orang lain.”


“ … Tapi kamu tahu, yang masih hidup itu aku. Jadi ya … nggak bisa dihindari.”


“Iya sih. Memang gak bisa dihindari.”


“Aku gak bilang ini mudah buat diceritain ke orang, tapi kalau kamu mau cerita, paling nggak bebanmu bisa sedikit berkurang.”


“Baiklah. Kalau demi orang yang aku sayangi … ya, sepertinya gak ada pilihan.”


“Aku mengerti.”


Saat ia tertawa pelan—agak sedih,


“Semangat ya!”


Ia memukul bahu Keito dengan cukup keras.


“Aduh!”


“Aku iri sama cewek yang bikin kamu galau, Aikawa-kun. Semoga berhasil, ya …. Ngomong-ngomong, upacara penutupan bentar lagi dimulai. Ayo kita berangkat.”


Masih ada waktu sebenarnya, tapi Seiko sudah lebih dulu meninggalkan kelas.


Setelah upacara selesai, Keito memastikan kembali janji pertemuan dengan Takumi untuk besok—jam delapan pagi di stasiun.


“Junichi sama Irifune-senpai bakal ikut juga gak?”


“ … Entahlah.”


“Aku khawatir, nih. Perlu aku hubungin mereka gak?”


“Gak usah. Biar aku aja yang urus. Gak apa-apa.”


Ia pun berpisah dengan Takumi—yang tampaknya masih ingin mengatakan sesuatu—dan pulang sebentar ke rumah. Setelah itu, Keito menuju rumah Shizuka. Saat ini rumah itu kosong, tapi di sanalah Shizuka tinggal sepanjang hidupnya … sampai dua tahun lalu.


“Andai aku bisa ajak dia ke sini lebih awal.”

Namun, perasaan kuatnya menolak untuk menunjukkan rumah yang sepi itu pada Shizuka.


“Masih ingat nggak? Ini rumahmu. Tapi kamu gak bisa masuk sekarang.”


Meski Shizuka berdiri di depan rumahnya sendiri, Keito tak tahu apakah ia menyadarinya. Tidak ada cara untuk menilainya dari luar.


Apa aku seharusnya nggak membawanya ke sini ...?


Tepat saat ia berpikir begitu—


“Aikawa …?”


“Irifune-senpai?”


Sarasa berdiri di sana, masih mengenakan seragam, dan memanggilnya dengan suara lembut.


“ … Kenapa kamu di sini?”


“Aku juga bisa tanya hal yang sama, Senpai.”


Mereka saling menatap sesaat. Lalu, Sarasa lah yang pertama memalingkan wajah.


“Sampai jumpa. Jangan lupa belajar selama liburan.”


Ia bergegas pergi, tapi—


“Tunggu!”


Keito sebenarnya berencana mengunjungi rumahnya nanti, tapi ini kesempatan emas. Ia segera menghentikannya.


“ … Apa?”


“Uhh …. Besok aku mau pergi.”


“Terus?”


“Ayo ikut.”


“Kamu ngomong apa sih, Aikawa ….”


Meski agak mendadak, Keito berhasil membuat Sarasa berhenti.


“Mulai besok, aku mau pergi bareng Shi-chan. Kalau bisa, aku pengen Jun-nii dan kamu ikut juga.”


Ia lanjut bicara tanpa jeda.


Bahkan ia sendiri terkejut. Semalam ia merasa putus asa, merasa dirinya tak berguna. Tapi nyatanya, semangatnya belum sepenuhnya padam. Walaupun kelihatannya seperti rasa tanggung jawab, pada akhirnya … itu tetap tekad.


“Dengan Shizuka … maksudmu apa?”


“Dia ada di sampingku sekarang.”


“Aku gak ngerti, sih .…”


Keito mengulurkan tangan kiri—yang sedari tadi menggenggam tangan Shizuka—ke arah Sarasa. Bahkan di depan sahabat lamanya, ekspresi Shizuka tetap tak berubah.


“Shi-chan ada di sini.”


Sarasa menyipitkan mata, mencoba melihat gadis tak kasatmata di ujung tangan Keito. Ia menatap tas kecil yang dibawanya, lalu buru-buru menyembunyikannya ke belakang.


Keito kira Sarasa akan membalas dengan kata-kata tajam seperti biasanya.


“Apa sih yang kamu mau? … Apa yang kamu tahu, Aikawa?”


Namun suara Sarasa ternyata lebih pelan dari perkiraannya.


“Dulu aku bilang … kalau aku udah seharusnya lupa soal Shizuka. Aku juga bilang aku gak mau ketemu dia lagi. Tapi kenapa … kenapa kamu masih aja menghakimi aku, Aikawa-kun?”


Ucapan terakhirnya lirih, tapi jelas terdengar oleh Keito.


“Menghakimi?”


Itu kata yang tidak biasa keluar dari mulut Sarasa.


“Kalau memang Shizuka beneran ada di situ, dia pasti … ngelihatin aku dengan tatapan benci.”


Ah … memang tatapan seperti itu yang pantas untuk seseorang yang telah meninggalkan semuanya begitu saja.


Tapi menyedihkannya, di mata Shizuka … tak ada refleksi Keito maupun Sarasa. Tak ada siapa pun.


“Tapi aku gak pernah berniat menyalahkan kamu.”


“ … Iya, gak mungkin Shizuka ada di sini.”


Sarasa menatap tajam ke arah Keito.


“Pasti ada yang salah sama aku. Masa aku bisa-bisanya percaya omongan aneh kamu. Aku tuh gak hidup di masa lalu, tahu.”


Ia membujuk dirinya sendiri, lalu mencoba pergi lagi.


“Kalau gitu, kenapa kamu ada di rumah Shi-chan, Senpai? Mau ngobrol sama aku? Bukannya kamu juga masih terjebak masa lalu?”


“Apa aku wajib jawab semua pertanyaanmu?”


“Enggak. Tapi … aku penasaran.”


“Kalau soal pertanyaan sebelumnya—aku lagi ada urusan lain, kebetulan lewat sini aja. Lagian, ngunjungin rumah kenalan lama itu wajar aja, kan? Dan soal tadi … aku cuma lengah. Lihat wajah yang dikenal, ya wajar kaget. Semua orang juga pernah kayak gitu.”


“Shi-chan beneran ada di sini. Kata-kata yang hilang miliknya adalah hal yang nyata. Apa kamu gak penasaran, sebenarnya … kata-kata terakhir apa yang pengen dia sampaikan ke kita?”


Keito berkata demikian, lalu mulai menjelaskan segalanya tentang lost words kepada Sarasa—yang akhirnya berbalik menatapnya. Ini adalah kartu truf terakhirnya. Kalau Sarasa menolak semua ini sebagai omong kosong, maka tamat sudah.


“ … ”


Namun, setelah menatap Keito yang sudah menyelesaikan penjelasannya, Sarasa hanya berkata satu hal:


“Beneran ya ….”


Lalu setelah hening sesaat,


“Apa aku … beneran bisa lihat Shizuka lagi?”


“Kamu bisa, kalau kamu ikut denganku.”


“Begitu ya ….”


Sarasa menundukkan kepalanya, lalu bergumam pelan:


“Baiklah, aku akan ikut. Aku akan ikut … kalau itu memang penting buatmu.”


“Aku akan ikut dalam khayalanmu ini …. Toh, anak itu memang suka bermimpi, jadi gak aneh juga kalau dia masih ‘mengembara’ di dunia ini.”


Dan akhirnya, ekspresi Sarasa melunak. Ia tersenyum.


“Umm, aku tahu ini aku yang ngomong, tapi … gimana soal belajar?”


“Aku bisa belajar di mana aja. Di kereta juga bisa.”


“Terima kasih ya. Aku jadi nggak sabar.”


“Haaah … emang ada yang aneh deh sama kamu dan Gotanda … termasuk aku juga.”


“Gotanda kenapa emangnya?”


“Kemarin dia dateng ke kelasku dan nyoba ngebujuk aku juga. Dia nyuruh aku dengerin kamu. Tapi… aku gak nyangka ceritanya bakal kayak gini.”


“Wah, dia sampai segitunya……”


Keito benar-benar tak menyangka. Takumi memang bilang mau bantu, tapi ternyata diam-diam ia sudah berusaha lebih jauh lagi.


Mungkin karena itulah Sarasa bisa sampai di sini.


Namun, muncul satu pertanyaan lain—apa mereka akan pergi berempat? Keito, Junichi, Takumi, dan Sarasa? Meski mereka bisa menginap di rumah kakek Keito, tetap saja akan ada yang mempertanyakan.


“Tenang aja.”


Saat Keito menjelaskan bahwa Utaha-san juga akan ikut,


“Sama orang asing?”


Sarasa sempat cemberut, tapi akhirnya mengangguk. Ia menerima penjelasan itu.


Karena Sarasa bilang dia tidak membawa ponsel, Keito menyampaikan langsung tempat dan waktu pertemuan besok pagi.


“Aku yakin kamu bakal datang. Aku akan nunggu.”


“Aku gak ada niat buat batalin janji.”


Saat mengucapkan itu, Sarasa dengan perlahan memutar posisi tas kecil yang tadinya berada di punggung ke depan tubuhnya—memeluknya seolah ingin menyembunyikannya. Keito bertanya-tanya, ada apa sebenarnya di dalam tas itu?


Sarasa memang seperti radio yang hanya bisa menangkap sinyal dari satu frekuensi tertentu—dan jika cocok, dia bisa mendengar dengan jelas, memahami tanpa perlu kata.


Keito pun menyetujui hal itu.


“Meskipun Shizuka dan kamu, dan Shizuka dan aku berada di frekuensi yang cocok, tapi antara kamu dan aku—kita berdua gak pernah nyambung. Aku jadi mikir, jangan-jangan … anak itu adalah penghubung kita. Aneh banget, ya.”


Malam itu, setelah melewati keraguan yang panjang....


Keito akhirnya mengirim pesan:


『Kau akan datang besok, Jun-nii?』


Dan setelah beberapa lama, balasan singkat pun datang:


『Datang.』


Hanya satu kata. Tapi cukup untuk membuat Keito lega.


Saat ia mencoba menelepon Junichi—


“Kalau kamu ngirim pesan seputus asa itu, aku malah makin khawatir. Aku juga udah dibujuk sama Takumi … tapi kalau kamu gak ngontak aku duluan, mungkin aku gak akan ikut.”


Nada suaranya sudah mulai kembali kuat—mendekati suara Junichi yang dulu Keito kenal. Seolah sebagian dari masa lalu yang hangat … akhirnya pulang.


Prev    ToC    Next

Posting Komentar

Posting Komentar