OxB0k9cwmLdjse93ShCWJA620ioxDFw9UULpRrkC
Bookmark
Featured Post

Utaha-san wa Betsu no Uta o Yomi Hajimeru - Afterword

Afterword Translator: Canaria Proofreader: Canaria Salam kenal semuanya. Namaku Kashida Leo. Aku menulis kata penutup ini di sebuah kamar di ru…

Utaha-san wa Betsu no Uta o Yomi Hajimeru - Chapter 4

 

Chapter 4: --Bagai Angin Liar--

Translator: Canaria
Proofreader: Canaria


Hari Sabtu, akhirnya mereka berangkat.


Keito bilang ke keluarganya bahwa ia akan pergi ke rumah kakeknya bersama teman-teman, “liburan musim panas biasa,” katanya. Padahal, dalam dirinya, ini terasa seperti sebuah perjalanan suci. Untuk pertama kalinya, Shizuka akan diajak “pulang”.


Bus pagi itu penuh sesak—hari pertama libur musim panas, sudah tentu. Karena tak ada kursi kosong untuk Shizuka, mereka berdiri berdua. Keito sengaja membuka ruang agar ia bisa berdiri seperti “melindungi” Shizuka, menggenggam tali pegangan dengan kedua tangan. Kulit Shizuka yang pucat semakin transparan … dan bibir merah muda samar itu tampak seperti bisa robek hanya dengan sentuhan.


Mereka tetap berdiri begitu sampai ke stasiun kereta.


Setibanya di Stasiun Somiya—pintu gerbang kota yang ramai—Keito langsung menuju tempat janjian di depan kedai kopi pintu utara. Ia nyaris telat. Takumi dan Junichi sudah datang lebih dulu.


“Kamu yang ngatur semua ini, jangan malah telat,” gerutu Junichi.


“Maaf, agak lama tadi. Makasih udah dateng, Jun-nii.”


“Kayak yang kubilang kemarin … kapan terakhir kali aku bangun sepagi ini?”


“Ngomong-ngomong, Irifune-senpai juga bakal datang.”


“Dia ikut juga?!”


“Dia ikut juga?!”


Keduanya hampir berseru bersamaan.


“Udah lama banget aku gak lihat dia.”


“Jujur aja, aku takut banget sekarang. Jadi hati-hati ya, Jun-nii.”


“Dari SMP dia udah kayak gitu.”


“Kalian tau aku bisa denger, kan?”


Sarasa tiba-tiba berdiri di hadapan mereka. Seragam rapi ala wakil ketua OSIS. Tegas, berkarisma. Elegan tapi mematikan.


“Yo. Udah lama.”


“Aku semenyeramkan itu ya, Gotanda?”


“Kayak pake armor.”


“Kamu lebih cocok pake baju besi Jepang. Yang ada topengnya.”


“Ezaki, udah lama gak ketemu dan itu kalimat pertamamu? … Dan kamu gemukan. Tunggu, apa itu bau rokok?!”


“Aku gak ngerokok beberapa hari ini …. Mungkin nempel di baju.”


“Aku gak percaya! Aikawa, aku pulang!”


Sarasa beneran angkat koper dan bersiap pergi—sampai matanya menangkap seseorang yang baru datang.


“Terima kasih telah menunggu semuanya. Maaf atas keterlambatan saya.”


Utaha datang, mengenakan pakaian yang santai namun hangat. Kehadirannya menghentikan langkah Sarasa.


“Gotanda-san, Ezaki-san. Kita sempat bertemu beberapa hari lalu. Mohon bantuannya kali ini.”


Lalu Utaha menoleh pada Sarasa.


“Dan kamu pasti Irifune-san, bukan? Perkenalkan, saya Umegae Utaha. Kali ini saya akan menemani perjalanan ini. Walau masih banyak kekurangan, saya mohon kerja samanya.”


Sarasa membungkuk pelan, canggung.


“K-Kamu terlalu sopan .… Senang bertemu juga.”


Karena sudah saling menyapa, Sarasa tak bisa lagi mundur. Dan begitulah, lima orang itu—Keito, Junichi, Takumi, Sarasa, dan Utaha—berangkat menuju utara.


Untuk Shizuka.


◇◇◇


Butuh waktu setengah hari untuk mencapai tujuan mereka via Tokyo. Keito sudah mengatur agar kakeknya menjemput mereka dengan mobil dari stasiun tujuan. Rute kapal laut dari Pelabuhan Narumi sudah lama tak aktif sejak kecelakaan itu. Jadi transportasi kali ini tak akan sama.


Selama perjalanan, kereta padat. Mereka duduk acak hingga sampai di Tokyo, dan Keito memastikan agar tidak kehilangan Shizuka di tengah keramaian. Ia bahkan menyisakan kursi kosong dengan membuka jendela—kursi itu, untuk Shizuka.


“Shizuka beneran ada?” tanya Sarasa, memandangi bangku kosong di depannya.


Wajar, ia masih setengah percaya.


“Umegae-san, kamu bisa lihat?”


Utaha mengangguk.


“Ya.”


Sarasa lalu menatap tempat duduk itu lama, seolah berusaha menangkap bayangan yang tak terlihat. Bukan wajah Shizuka yang ia lihat—melainkan kehilangan yang Shizuka tinggalkan.


“Terus, rencananya gimana? Jangan bilang kita cuma nunggu sampai sampai rumah kakekmu?”


“Aku pengen denger cerita kalian tentang Shizuka. Baik yang aku tahu atau enggak. Pasti ada petunjuk untuk memanggil kata-katanya kembali.”


“Ngungkit masa lalu itu … rasanya gak guna, tapi ya udah lah.”


“Kamu tahu rumah orang tuanya atau makamnya?”


“Enggak. Aku belum tahu dua-duanya.”


“Padahal kalau kita tahu setidaknya makamnya…”


“Karena dia ‘hilang’ dan belum ditemukan, mungkin bahkan gak ada makamnya.”


Sarasa menyebutkan soal hukum pencatatan keluarga, bahwa bisa saja Shizuka sudah dicatat sebagai “meninggal” secara administratif tanpa jenazah. Tapi itu pun tergantung apakah orang tuanya melaporkannya.


Lalu pembicaraan berpindah.


“Kamu sekarang ngapain, Ezaki? Kelihatannya udah gak main baseball?”


“Panjang ceritanya.”


“Oh, si Ezaki jagoan baseball sekarang udah pensiun?”


“Siapa yang jagoan …. Kamu sendiri gimana, Irifune? Jadi kutu buku banget sekarang. Padahal dulu tomboy banget.”


“Jelaslah. Masa kita mau stuck jadi anak kecil selamanya?”


“Ya udah. Aku juga udah gak bisa terus jadi anak baseball polos yang penuh mimpi.”


Dan ketika Junichi seolah ingin bicara lagi, Keito memotong:


“Ngomong-ngomong soal baseball, inget gak waktu itu?”


Keito mulai membuka kotak kenangan.


Waktu itu, mereka main baseball di taman dekat rumah Junichi. Bukan baseball beneran—hanya lempar bola karet, pukul pakai tongkat plastik. Sisanya lari-lari nguber bola. Sederhana. Tapi itulah kebahagiaan kecil mereka.


Junichi memang sudah menunjukkan bakat dalam bisbol sejak saat itu. Ketika Shizuka menjadi pelempar dan Junichi pemukul, ia selalu bisa memukul bola yang dilempar Shizuka tepat di tengah-tengah tongkat. Bertolak belakang dengan suara ringan yang terdengar, bola itu membentuk lengkungan tajam dan meluncur jauh ke rerumputan di pinggir taman.


Ketika Junichi bersorak gembira, “Itu homerun!”, Shizuka pun ikut bersuka cita dan berkata, “Kamu hebat, Jun-kun! Aku yakin suatu hari kamu bisa jadi pemain bisbol terkenal,” meski ia yang bola lemparannya dipukul jauh.


Namun, itu hanya sekejap. Setelah itu, meskipun mereka mencarinya lama, bola itu tak pernah ditemukan.


“Aku minta maaf, maaf, sungguh maaf, Kei-kun ....”


Shizuka meminta maaf berulang kali. Hari itu, Keito yang membawa bola tersebut. Shizuka mungkin merasa bertanggung jawab karena ia yang melempar bola hingga hilang.


Akhirnya, mereka bubar tanpa pernah menemukan bola itu. Tapi setelahnya, Shizuka terus mencari ke seluruh taman berkali-kali. Keito pun ikut menemaninya, menyisir tempat yang sama berulang-ulang.


Pada masa itu, Keito selalu merasa kehilangan sesuatu. Meski kini ia sudah melupakan sebagian detailnya, perasaan kehilangan itu tak pernah pudar. Bahkan jika yang hilang hanya hal-hal sepele, rasa kehilangannya tetap tinggal.


Dan bola dari hari itu—adalah salah satunya.


Sekitar sebulan kemudian, Shizuka akhirnya menemukan kembali bola itu di rerumputan—tempat yang entah sudah berapa kali ia periksa.


“Aku nemuin! Aku nemuin! Kei-kun, aku nemuin bolanya!”


Dengan daun-daun kecil yang menempel di bola itu, ia melompat girang.


“Syukurlah .… Aku sungguh merasa bersalah sudah membuat bolamu hilang. Aku sudah coba cari, gak ketemu-ketemu … tapi sekarang, aku senang. Senang banget.”


Saat melihat Shizuka menangis haru begitu, Keito tak sanggup memberitahunya bahwa itu sebenarnya bukan bola yang hilang. Mungkin bola itu milik orang lain yang juga kehilangan.


“Terima kasih. Ini semua berkat kamu, Shi-chan. Aku gak tahu harus berterima kasih bagaimana lagi.”


Tersenyum dan menerimanya. Yang paling penting saat itu adalah melepaskan rasa bersalah dari hati Shizuka.


“Kita main lagi ya?”


“Main lagi? Bukannya kemarin juga kita main?”


“Soalnya … aku takut Kei-kun marah sama aku .…”


“Aku sama sekali gak marah, kok.”


Mendengar jawaban Keito, akhirnya Shizuka terlihat benar-benar tenang.


Setelah menerima bola dari tangan Shizuka, diam-diam Keito mengembalikannya ke tempat ia menemukannya. Untuk seseorang lain di luar sana yang mungkin merasa kehilangan, seperti Shizuka saat itu.


◇◇◇


" … Entah kenapa, itu memang khas kalian," Takumi tersenyum kecut setelah mendengar cerita Keito.


"Kalian berdua terlalu baik. Bodoh sekali."


"Tapi bukankah justru karena itu kita jadi berteman? Lupakan yang sekarang, dulu kita seperti itu."


"Shizuka sering memukulmu, kan, Ezaki? Karena kamu jauh lebih payah dari aku dalam olahraga."


"Sepertinya gak ada yang bisa menghentikanmu, Jun-nii."


"Aku yakin Shizuka menaruh harapan besar kamu jadi pemain bisbol … ah, maaf."


Semua terdiam sejenak. Tapi kemudian Junichi kembali bicara, seolah mengingat sesuatu dari masa lalu.


"Takamori itu orang pertama yang ngajak Keito bergabung ke kelompok kita, loh."


"Serius?"


Keito pura-pura gak tahu.


"Kamu gak ingat? Aku masih ingat jelas. Waktu pertama kali lihat kamu, aku langsung gak suka."


Keito sendiri gak ingat pernah dibenci oleh Junichi.


"Soalnya mukamu suram banget. Ditambah lagi kamu tukang nangis."


"Itu mungkin benar, tapi gak bisa disalahin juga. Aku gak mau pindah dari rumahku di Tokyo ke tempat asing ini."


"Aku tanya ke Takamori, 'Kenapa bawa anak kayak dia?' Dan tahu gak dia jawab apa?"


"Apa?"


"Dia bilang, 'Anak ini dari Tokyo. Keren kan? Dia datang dari tempat yang punya laut!' Saking bodohnya jawaban itu, sampai sekarang pun aku masih ingat jelas."


Keito memang ingat Shizuka sempat bertanya kesannya soal laut waktu mereka pertama kali kenal.


Padahal ia jarang pergi ke laut di Tokyo. Kalau pun pernah, airnya pun keruh.


Sebaliknya, rumah kakek-nenek dari ibunya di Tohoku itu lebih dekat ke laut. Dan tiap musim panas, ia bisa main ke sana. Momen itu yang paling membekas. Dan setiap ia cerita, mata Shizuka akan berbinar-binar.


"Sejak itu, kita mulai sering main bareng. Begitu Keito mulai terbiasa tinggal di sini, mukanya gak muram lagi. Tapi dia tetap aja tukang nangis sampai sekarang."


"Anak itu … dia baik banget. Terlalu baik, terlalu ramah … bodoh banget dia .…"


Sarasa bergumam pelan, nyaris tak terdengar oleh siapa pun.


Kereta melintasi banyak terowongan, menyusuri hutan pegunungan berwarna hijau tua yang lebat.


Sinar matahari masih bersinar terang, memantul di daun-daun yang tumbuh lebat di pepohonan, membuatnya menyilaukan bahkan di sore hari. Banyak penumpang lain di kereta itu—orang-orang yang bepergian bersama teman atau keluarganya untuk liburan musim panas. Tapi suasana tidak terlalu padat. Suara riuh-rendah di sekeliling justru terasa menyenangkan.


Namun, punggung Keito mulai pegal karena duduk terlalu lama. Sambil berdiri, merentangkan badan, dan memakan camilan yang dibawanya, Keito mencoba mengingat kembali percakapan-percakapannya bersama Shizuka, lalu bergumam sendiri pelan.


Sesekali, suasana saat ini membangkitkan kenangan teman-teman sekelas semasa SMP.
Begitu mendengar nama yang sudah lama tak terdengar, mereka pun merasa seperti kembali ke masa kecil.


"Eh? Jadi Aikawa-kun sekarang ikut klub seni, ya?" Sarasa tampak terkejut.


"Loh, bukannya kalian satu sekolah, senpai? Masa gak tahu?"


"Soalnya aku gak tertarik ngurusin dia setelah masuk SMA. Kupikir kamu bakal lanjut di bisbol sih, Gotanda. Tapi ngomong-ngomong, kamu udah pernah gambar apa? … Tapi kenapa kamu masuk klub seni? Bukannya waktu SMP kamu ikut klub lain?"


"Iya, tapi … itu ada hubungannya sama Shi-chan."


Jujur, ini bukan cerita yang menyenangkan. Tapi aku juga sudah mendengar banyak cerita tentang Shizuka yang tidak kuketahui. Maka, aku pun harus ikut berbagi. Meski rasanya menyakitkan.


"Waktu kelas lima SD, aku pernah melakukan hal buruk ke Shi-chan."


Begitu Keito mulai bercerita—


"Ahhh."


Ketiga orang lainnya mengangguk bersamaan. Rupanya mereka sudah tahu tentang kejadian itu.


Setelah saling mengucap kata-kata kasar, ia dan Shizuka mulai jarang bertemu.
Tepatnya bukan jarang, tapi Keito yang dengan sengaja menghindar.


Sama seperti sekarang—ia kekanak-kanakan, bodoh, dan pengecut. Tapi hanya dengan cara seperti itu, ia bisa menjaga jarak tanpa benar-benar sadar.


Tak lama kemudian Shizuka lulus SD, dan kesempatan bertemu pun makin langka.
Setahun berlalu. Bahkan setelah Keito masuk SMP, jarang sekali ia bisa melihat sosok Shizuka di lingkungan sekolah karena beda tingkatan.


Di SMP, semua siswa wajib ikut klub. Keito tak pandai olahraga. Yang menarik perhatiannya hanya klub shogi atau drama. Ia hanya tahu sedikit cara main shogi dan hampir tak punya pengalaman akting, tapi keduanya tampak menarik. Lagi pula, kedua klub itu terkesan santai dan tidak terlalu ketat.


Setelah mengintip aktivitas klub shogi, ia pergi ke gym tempat latihan klub drama. Di atas panggung, ada belasan anak laki-laki dan perempuan yang sedang berlatih. Di antara mereka, ia melihat wajah yang tak asing. Itu Shizuka.


Secara refleks, Keito hendak pergi diam-diam.


Namun Shizuka lebih cepat. Ia berseru dari atas panggung:


Eh? Kei … Aikawa-kun!? Kamu datang buat lihat aku ya!?


Suaranya terdengar ceria, tanpa dendam.


Y-Yah … Lama gak ketemu, Takamori-senpai.


Begitu mereka berbincang, semua anggota klub dan pengunjung langsung menatap ke arah Keito.


Kalau begitu, aku pamit duluan.


Eh, tunggu. Kenapa gak sekalian lihat lebih dekat aja?


Soalnya aku masih mau lihat tempat lain.


Sampai jumpa lagi ya. Jangan lupa loh.


『 
… Iya.


Akhirnya Keito tetap pergi.


Namun, bukan karena merasa bersalah telah berbohong, ia justru datang kembali ke gym lain waktu untuk melihat lebih dekat.


Shizuka ternyata bukan pemeran utama, tapi bagian kru. Ia berlari ke sana kemari mengurus properti.


Dibanding masa SD, saat Shizuka selalu duduk di meja dan membaca buku saat jam istirahat, sekarang ia terlihat berbeda. Klub drama ternyata lebih seperti klub fisik, penuh gerakan. Dan Shizuka … ia tidak pernah lincah.


Takamori, simpan barang-barang ini!


Lambat banget, Takamori!


Seorang kakak kelas tampaknya memberikan instruksi tanpa ampun.


Shizuka memang tidak cekatan sejak dulu. Melihatnya bergerak panik di atas panggung seperti itu, rasanya tidak menyenangkan.


Tapi saat melihat Keito, Shizuka tetap tersenyum dari panggung.


Maka, jika Keito langsung pergi lagi, kali ini rasanya akan terasa lebih buruk. Seperti benar-benar meninggalkannya.


Keito pun memutuskan menunggu Shizuka selesai.


Setelah latihan klub selesai, Shizuka dan beberapa anak lainnya beres-beres.
Begitu semua selesai, Shizuka langsung berlari ke arah Keito sambil terengah-engah.


Ma-Maaf ya udah nunggu lama.


Gak apa-apa kok … Tapi kamu kelihatannya sibuk banget.


Tak ada siapa pun di sekitar mereka, jadi nada suara Keito secara tak sadar kembali seperti dulu.


Kei-kun … eh, maksudku, Aikawa-kun, kamu tertarik ikut klub drama?


Aku cuma lihat-lihat, belum mutusin. Tapi aku gak nyangka kamu ikut klub drama, Takamori-senpai.


Sebenarnya aku pengen banget masuk klub sastra, tapi gak jadi. Kupikir drama itu mirip, sama-sama produksi cerita. Tapi ternyata sulit juga. Tapi suatu hari aku ingin belajar soal penulisan naskah.


Shizuka menampilkan senyum yang agak lelah.


Ada seorang penulis yang pernah bilang: "Dunia nyata adalah mimpi. Dan mimpi saat tidur adalah kenyataan". Dunia ini adalah mimpi, dan mimpi di malam hari adalah kenyataan. Aku juga merasa itu benar. Katanya kita gak boleh lari, tapi menurutku kadang kita justru butuh tempat buat melarikan diri. Karena terlalu menyakitkan kalau bahkan tempat pelarian pun gak ada.


Dengan membaca buku, atau melihat pertunjukan teater, saat sesekali menyaksikan dunia fiksi… itu bisa membuatmu bertahan lagi, walaupun ada hal menyakitkan di kenyataan.


Begitu ya .…


Selain itu, aku juga selalu merasa ditopang oleh “buku jimat” saat aku mulai merasa lelah. Aku yakin, pasti ada seseorang di luar sana yang menyayangiku. Meski aku ini bukan orang yang hebat atau istimewa.


Buku jimat?


Iya, tapi itu rahasia.


Shizuka tertawa kecil, menunjukkan ekspresi malu-malu seperti habis ketahuan.


Eh, Kei-kun … maksudku, Aikawa-kun, kamu jago gambar, kan?


Gambar? Yah, lumayan lah.


Aku sadar aku memang lebih bagus dalam menggambar tiruan dibanding kebanyakan orang.


Kei-k … maksudku, Aikawa-kun, waktu kamu masih SD kamu pernah gambar Salamander Raksasa Jepang di Taman Soumiya, kan? Gambar kamu bagus banget.


Panggil aja aku Kei-kun. Aku juga bakal panggil kamu Shi-chan.


Baik.


Shizuka tersenyum manis.


Aku biasanya menggambar hal yang kulihat langsung. Siapa pun juga bisa melakukannya.


Gak semua orang bisa!


Ia membantah langsung.


Makanya aku bilang, masuk klub seni itu ide bagus.


Shizuka mencoba menyelidiki sedikit.


Kalau kamu mau, kenapa gak coba masuk klub drama aja? Baik itu latar panggung atau set, aku yakin gambar kamu pasti bisa berguna.


Aku pikir-pikir dulu deh.


Tapi sebenarnya, jawabannya di hatiku sudah jelas.


Perasaanku pada Shizuka belum pernah pudar. Tapi kegiatan klub terasa terlalu menyita waktu dan penuh semangat, lebih dari yang kubayangkan.


Lagi pula, aku merasa bisa melihat Shizuka kapan pun aku mau.


Saat itu, aku benar-benar berpikir seperti itu.


Sekarang, kalau mengingat kembali … aku berharap dulu bisa lebih serius mendengarkan perkataan Shizuka. Kalau saat itu aku menyambut tawarannya, akankah sesuatu berubah? Entahlah. Tak ada gunanya menyesali jalan yang tak pernah dipilih.


Belakangan aku baru tahu bahwa kutipan yang Shizuka ucapkan itu—
Dunia nyata adalah mimpi. Dan mimpi saat tidur adalah kenyataan—adalah kalimat favorit Edogawa Ranpo, penulis terkenal dari Akechi Kogorou dan The Fiend with Twenty Faces, yang ditulis di atas kertas shikishi.


Waktu SMP, aku hanya tahu Ranpo dari cerita-cerita detektif untuk anak-anak. Tapi ternyata, ia juga menulis kisah untuk orang dewasa. Cerita-cerita seperti The Caterpillar dan The Air Raid Shelter yang kubaca saat SMA membuat hatiku berdebar oleh absurditasnya.


Dunia nyata adalah mimpi. Dan mimpi saat tidur adalah kenyataan


Saat SMP, aku tak mengerti maknanya. Tapi sekarang… setelah Shizuka tiada, kalimat itu tertanam dalam benakku. Dan setelah aku tahu tentang keberadaan kata-kata yang hilang, makna kalimat itu menjadi lebih dalam.


Namun, aku tak pernah tahu apa sebenarnya “buku jimat” yang ia maksud. Apakah hanya candaan seorang gadis SMP yang kekanak-kanakan?


“Keito, kamu masuk klub shogi waktu itu, kan?”


“Iya. Waktu itu aku gak kepikiran klub seni … tapi pada akhirnya, aku juga jadi anggota hantu di klub shogi.”


Aku merasa bersalah pada anggota lainnya. Aku orang yang setengah-setengah.


Setelah itu, Shi-chan sempat bertanya apakah aku serius menjalani kegiatan klubku. Dan tanpa sadar, aku menjawab, “Iya.” Padahal kenyataannya tidak. Aku gak jujur sama dia.


“Itulah kenapa … setelah kecelakaan itu, setelah masuk SMA, aku mulai mempraktikkan kata-kata Shi-chan. Begitu aku masuk klub seni, aku sadar ternyata itu dalam dan menyenangkan. Meski aku gak banyak berkembang.”


Kata-kata Shizuka telah menjadi bagian dari diriku—anggota klub seni. Tapi itu juga sejalan dengan penyesalan.


“Buku jimat, ya .…”


Sarasa bergumam dengan suara gemetar setelah mendengar cerita Keito.


“Kamu tahu soal itu?”


“N—Nggak. Gak tahu.” Ia menggeleng cepat-cepat, seolah menyangkal sekuat tenaga.


“Ngomong-ngomong, ada yang mau kutanyain ke kamu, senpai.”


Ada hal yang ingin Keito pastikan pada Sarasa—tentang saat sebelum kecelakaan itu. Sebelum Shizuka muncul di dek, Sarasa—yang sekamar dengannya—adalah orang terakhir yang bertemu dengannya, selain Keito sendiri.


Apakah dia melihat sesuatu yang aneh? Apa yang mereka bicarakan? Tidak harus formal, Keito hanya ingin tahu … seperti apa Shizuka dari sudut pandang Sarasa.


“Aku gak terlalu ingat.” Namun Sarasa menjawab cepat, dan dingin.


“Apa saja gak masalah.”


“Aku gak bisa ingat. Karena situasinya waktu itu terlalu kacau .…”


Kali ini, ada nada penyesalan kecil dalam suaranya. Tapi dengan itu, Keito tahu, tidak ada gunanya bertanya lebih lanjut.


Tanpa jawaban yang Keito harapkan, obrolan pun perlahan memudar. Memang, dari awal keempat orang ini sudah lama saling menjauh, dan satu-satunya yang mengenal Utaha hanyalah Keito sendiri.


Kereta terus berjalan, berguncang pelan secara teratur.


Hanya Keito dan Utaha yang bisa melihatnya. Kata yang hilang dari Shizuka duduk di sebelah Keito sejak awal.


Mereka sudah banyak bicara soal masa lalu … tapi mungkin, Keito belum benar-benar bisa memahaminya, dan karena itu dia hanya diam tanpa banyak gerak.


Aku akan mewujudkan harapan terakhirnya … apapun yang terjadi. Aku ingin menyampaikan kata yang ingin ia sampaikan … kepada seseorang.


Sampai titik ini, aku percaya … kelima orang ini dan laut itu memiliki hubungan.


Meski hatiku masih penuh keraguan … aku harus percaya bahwa langkah yang kutempuh … tidak salah.


◇◇◇


Mengesampingkan kesadaran akan pemandangan yang mengalir di balik jendela kereta, Keito membiarkan pikirannya hanyut ke masa lalu.


Itu adalah sekitar saat pertama kali ia bertemu Shizuka. Belum lama tadi, ia tidak memberi jawaban yang jelas pada Junichi saat ditanya kenapa ia menolak untuk bergabung, tetapi Keito sebenarnya masih mengingat dengan baik saat Shizuka memanggilnya.


Saat itu, senja tiba-tiba menghantam dirinya dengan rasa kesepian yang begitu kuat.


Ia masih bisa mengingat dengan jelas perasaan sepi dan cemas yang ia rasakan saat baru pindah ke kota ini—saat orang tuanya sibuk membongkar barang dan mengurus adik perempuannya yang baru lahir.


Karena hanya akan menjadi gangguan jika tetap di rumah, Keito pun berjalan sendiri menyusuri lingkungan sekitar. Saat ia menatap langit senja yang memerah, kesadarannya akan tempat asing ini semakin nyata—kesepian, sedih, dan tak lama kemudian air matanya mulai menetes.


Saat adik perempuannya lahir, ia berpikir, “Aku kan sekarang sudah jadi kakak, harusnya nggak boleh nangis.” Tapi justru makin deras air mata itu mengalir. Orang-orang sudah cukup sering memanggilnya si cengeng.


Air mata itu sama seperti air laut.


Sebelum ia menyadarinya, seorang gadis muncul di depannya dan berkata begitu—lalu menyeka sudut matanya dengan jari telunjuk. Setelah itu, ia meletakkan jarinya ke dalam mulutnya sendiri.


Iya, asin. Rasanya seperti laut.


Gadis itu tertawa.


Aku suka laut. Jadi kamu boleh nangis sepuasnya.


Begitu ya … jadi nggak apa-apa nangis.


Keito terhipnotis oleh senyuman gadis itu, dan tanpa sadar, air matanya berhenti.


Gadis itu memperkenalkan dirinya sebagai Takamori Shizuka, lalu bertanya:


Hei, kamu asalnya dari mana?


Saat Keito menyebut namanya dan menjawab,
Dari Tokyo, Shizuka langsung berseru, Di Tokyo kan ada laut juga, ya?!—dan entah kenapa, itu membuat Keito merasa sangat senang.


Dan sisanya … persis seperti yang Junichi ceritakan.


◇◇◇


Akhirnya, stasiun tujuan mereka pun mendekat.


Di luar jendela, langit sudah benar-benar gelap. Saat Keito melihat jam, ternyata sudah sangat larut.


“Aku lapar,” gumam Junichi.


Semua orang setuju dengan ucapan itu. Rasa lelah pun jelas terlihat di wajah Sarasa dan Utaha.


Kereta mulai melambat perlahan. Suara rem terdengar konstan hingga akhirnya kereta berguncang sedikit dan berhenti di stasiun.


Kota tempat kakek-nenek Keito tinggal berada dekat pesisir. Saat mereka turun, aroma air laut terasa samar menyapa.


Lampu-lampu di kota menyebar tak merata. Selain lampu listrik dari stasiun, hanya ada cahaya dari balik tirai rumah-rumah warga.


Bulan purnama yang tadi sempat bersinar kini tampak mulai beringsut dan memudar di bawah langit malam.


Mereka semua meregangkan tubuh dan mengendurkan bahu yang tegang. Saat mendongak ke atas, tampak langit penuh bintang—langit yang sama yang terhubung dengan laut di Somiya.


Keito menarik tangan Shizuka dan menuju gerbang tiket.


Angin di sini terasa lebih sejuk dibanding kota asal mereka—mungkin karena ini wilayah utara. Dari kejauhan, suara serangga bersahut-sahutan. Sejenak, Keito merasa seolah malam musim gugur telah tiba.


Namun, kenyataannya musim hujan belum selesai di daerah ini. Rata-rata masih akan berlangsung sekitar seminggu, tapi untungnya cuaca sedang bersahabat. Prakiraannya pun menyebutkan besok akan cerah sepanjang hari.


Begitu keluar dari gerbang tiket, mereka langsung disambut oleh kakek Keito yang sudah menunggu.


“Kami akan berada dalam perawatan Anda. Maaf kalau jumlah kami cukup banyak,” ucap Sarasa sambil membungkuk sopan.


Kakek Keito menjawab sambil melambaikan tangan ringan, “Tak masalah. Rumah ini punya banyak kamar kosong.”


Selain Utaha, tiga orang lainnya sudah kenal dengan sang kakek sejak mereka kecil. Meski begitu, sudah bertahun-tahun sejak pertemuan terakhir mereka—bahkan Keito sendiri belum pernah bertemu sang kakek lagi sejak kecelakaan itu.


Kakek Keito menyambut mereka semua dengan senyuman cerah dan berkata, “Wah, kalian makin besar ya.” Lalu, ia memiringkan kepala saat menatap Utaha, lalu bertanya, “Sepertinya kita baru bertemu kali ini ya?”


“Iya, nama saya Umegae Utaha. Terima kasih banyak karena telah menerima permintaan saya yang mendadak ini.”


Kakek itu memandangi wajah Utaha sejenak dengan saksama, lalu berkata, “Hmm… apa kita pernah bertemu sebelumnya?”


“Sepertinya ini pertama kalinya. Tapi mungkin Ibu saya pernah sering ke sini dulu, jadi mungkin yang Kakek lihat itu beliau.”


“Begitu ya … mungkin ini memang sudah takdir.”


Ia tersenyum lagi, lalu mulai menuntun mereka ke mobilnya.


Begitu sampai di rumah kakek-neneknya, rasanya seperti mereka melompati waktu. Bentuk rumah, tata letak ruangan, dan kondisi taman seolah menghidupkan kembali sesuatu yang pernah mereka sentuh langsung di masa lalu.


Memori memang bekerja dengan cara yang aneh. Ia tetap menyambung, meski waktu terus berlalu.


Keito sempat merasa kakek-neneknya menyiapkan makanan terlalu banyak—tapi Takumi dan Junichi membuktikan bahwa kekhawatiran itu tidak perlu.


Seperti yang bisa ditebak, semua merasa lelah karena perjalanan panjang, jadi mereka tidur lebih awal.


Kamar dibagi menjadi dua: Keito, Takumi, dan Junichi bersama di satu kamar, sementara Sarasa dan Utaha di kamar lain.


Kamar yang Keito tempati adalah kamar yang sama dengan yang ia gunakan saat kecil setiap kali berkunjung ke sini. Ia merasa nostalgia melihat coretan-coretan di dinding dan noda di langit-langit.


Keito teringat masa kecilnya, saat ia pernah ketakutan karena mengira noda itu adalah hantu.


Karena ibunya punya banyak saudara, dan anak-anak mereka (sepupu Keito) sering ikut menginap, jumlah futon di sini pun sesuai dengan jumlah besar tersebut. Kakek-neneknya pun terlihat senang karena akhirnya bisa menggunakan kembali semua futon itu.


“Kalau begitu, sampai ketemu besok ya,” ujar Takumi, suaranya sudah setengah mengantuk saat masuk ke futon.


“Berasa kayak liburan sekolah lagi ….” Junichi juga menjawab dengan suara yang nyaris masuk dunia mimpi.


“Semangat buat besok.”


Keito sempat menyapa keduanya, tapi yang terdengar hanya suara napas teratur.


Meski Keito juga merasa ngantuk dan lelah, ia tetap tidak bisa tidur meski sudah berbaring. Rasa antisipasi terlalu besar menguasainya.


Di sudut ruangan, Shizuka ada di sana. Dalam kamar yang hanya diterangi lampu tidur kecil, bayangannya yang samar seakan benar-benar menyerupai hantu.


“Tunggu aku, Shi-chan ….”


Ia berbisik pelan.


Ia tidak boleh membiarkan Shizuka menghilang begitu saja. Namun, jika nanti ia berhasil mengungkapkan kata-kata dari Shizuka, itu juga berarti waktunya untuk berpisah dengan kata yang hilang itu akan datang.


Keito tak berani memikirkan momen itu. Ia hanya ingin fokus menyelesaikan misinya.


Namun karena tetap tak bisa tidur, ia pun bangkit dan pergi ke toilet.


Ia teringat masa kecilnya, saat harus menyusuri lorong gelap hanya untuk ke kamar mandi dan merasa sangat takut.


Setelah selesai, sambil mencoba tidak menimbulkan suara saat berjalan kembali, Keito mendengar suara langkah kaki.


Sarasa muncul dari balik kegelapan.


“Mau ke toilet juga, senpai?” tanyanya.


“Kamu benar-benar tak punya etika, ya? Aku cuma keluar cari udara segar.”


Dia bergumam dengan suara serak di akhir kalimat. Mungkin hanya perasaannya saja, tapi Keito merasa seolah Sarasa hendak menangis.


Ia khawatir dan hendak memanggilnya, namun sebelum sempat berkata apa-apa, Sarasa sudah kembali ke kamarnya sambil mengucapkan selamat malam.


Keito pun kembali keluar. Ia masih belum bisa tidur, dan udara malam yang sejuk membuatnya ingin menghirup napas panjang.


Ternyata ada seseorang yang lebih dulu berada di depan pintu rumah. Itu adalah Utaha.


Keito terdiam sejenak, tak langsung menyapanya, hanya menatap profil wajahnya yang sedang menatap bulan di langit sambil membiarkan angin malam menerpa wajahnya.


“Aikawa-san,” panggilnya.


Utaha menoleh. Di tempat yang cukup terang, rambutnya yang memiliki semburat merah seperti bercampur dengan cahaya senja, kini diterpa cahaya perak dari bulan dan tampak lebih gelap dari warna darah. Kulitnya yang pucat tampak semakin mencolok karena kontras dengan piyama malam hitamnya. Ketimpangan itu justru menghadirkan kecantikan yang memikat dan membuat Keito sesaat tertegun.


“Utaha-san juga nggak bisa tidur?”


“Tidak juga. Aku hanya sempat bicara sedikit dengan Irifune-san.”


“Dengan senpai? Tapi barusan aku bertemu dia, dan .…”


Sarasa tak menyebutkan apapun soal Utaha.


“Kalian bicara apa?”


“Hanya sedikit … soal kata yang hilang. Kamu sendiri tidak bisa tidur, ya?”


Utaha langsung mengalihkan topik. Sepertinya ia memang tidak berniat membahas lebih jauh percakapannya dengan Sarasa.


“Iya … aku gelisah memikirkan besok … eh, maksudku, hari ini.”


“Bagaimana dengan Shizuka-san?”


“Waktu aku keluar tadi, dia masih jongkok di sudut ruangan.”


“Begitu … Irifune-san mungkin sudah beristirahat sekarang. Ayo kita bicara sebentar saja, lalu kembali ke kamar masing-masing.”


Keito pun membuka mulut, seolah diundang oleh kata-kata Utaha.


“Sejujurnya … aku agak takut.”


“Kenapa?”


“Alasannya banyak … Tapi yang paling besar mungkin soal apa yang akan dikatakan Shi-chan. Pada akhirnya, aku yang melepaskan tangannya. Mungkin dia menyimpan dendam padaku. Atau… sudah pasti. Dan itu yang paling aku takuti.”


“Lalu?” Utaha mendorongnya untuk melanjutkan.


“Kamu bilang, apapun yang ingin disampaikan oleh kata yang hilang, tugas pengirim pesan adalah menyampaikannya, kan? Tapi aku sendiri … tidak tahu apakah aku siap atau tidak. Dan itu juga menakutkan.”


“Lalu?” Utaha mengulang sekali lagi dengan tenang.


“Apa aku bisa melakukannya? Jangan-jangan aku malah nggak bisa apa-apa, dan akhirnya kehilangan segalanya. Lalu Shi-chan menghilang sebelum aku sempat melakukan apa pun. Kalau begitu, buat apa aku datang sejauh ini?”


“Begitu ya.”


“Tapi … aku tetap ingin tahu apa kata-kata Shi-chan. Apapun itu … Bahkan jika pada akhirnya, semua orang menyalahkanku, itu lebih baik.”


Keito tahu, dirinya sedang digerakkan oleh perasaan putus asa yang mencoba menerobos batas.


“Kamu ingin merasa lega?”


“Tentu saja ingin … Kalau akhirnya hati ini bisa bebas dari beban yang menyesakkan, tentu akan lebih baik.”


Kata-kata yang ia ucapkan itu pun terbawa oleh angin malam, lenyap ke kegelapan.


“Sebenarnya … apa sih kata yang hilang itu? Bukankah kalau seseorang meninggal, ya sudah. Seperti kata Junichi, masa lalu tidak bisa diulang. Faktanya, kita tidak bisa mengulang apa pun. Itu sebabnya, seperti yang senpai bilang, pilihan yang tersisa hanya … melupakannya.


Kalau begitu, bukankah kata yang hilang itu Cuma … semacam kehadiran yang datang untuk mengusik kita? Kenapa mereka ada?”


“Aku juga tidak tahu. Tapi kita tidak punya pilihan selain menerima kenyataan bahwa mereka ada. Kenapa ibuku, lalu Aikawa-san, dan sebagian orang lain bisa melihat kata yang hilang? Aku juga tak tahu.


Tapi aku pikir, satu hal yang mereka miliki bersama adalah: mereka semua pernah kehilangan seseorang yang sangat berharga … dengan cara yang tiba-tiba.”


Keito pun mengingat kembali pengalamannya sendiri. Ibu Utaha meninggal tepat di depan matanya. Apakah hal yang sama terjadi juga pada ibu Utaha?


“Aku tahu bagaimana pentingnya menyampaikan perasaan … karena aku sendiri sudah mengalaminya. Mungkin kata ‘terpilih’ terdengar agak berlebihan, tapi aku ingin menjalani peran yang sudah diberikan padaku. Bahkan jika aku terus tersesat sekalipun ….


“Aku tidak akan memaksamu, Aikawa-san. Tapi kamu … harus menemukan peranmu sendiri.”


Kata-kata Utaha pun melayang sekali lagi, terbawa oleh tirai malam yang pekat.


Saat Keito kembali ke kamarnya, rasa kantuk akhirnya menghampiri. Ia terus menguap. Takumi dan Junichi yang tidur di sebelahnya sudah berguling ke sana kemari, menunjukkan kebiasaan tidur mereka yang buruk.


Shizuka masih duduk jongkok di sudut ruangan, tak bergeming dari posisinya sejak tadi. Keito merasa sedikit lega karena ia belum menghilang. Dan di saat bersamaan, tekadnya kembali menyala. Semuanya akan ditentukan esok hari—tidak, hari ini.


Kalau ia tidak tidur, semua yang sedang berjalan ini akan sia-sia.


Apapun akhir dari cerita ini, semuanya akan berakhir saat ‘esok’ tiba.


Saat ia berbaring dan memejamkan mata, perlahan-lahan ia pun tertarik ke dalam pelukan tidur.


◇◇◇


Bahkan setelah bangun pun, kesadarannya belum sepenuhnya jernih. Di bawah langit-langit asing yang berbeda dari kamar tidurnya, Keito pun teringat bahwa dirinya sedang berada di rumah kakek-neneknya.


Junichi dan Takumi yang tidur sekamar dengannya mulai menggeliat dan perlahan terbangun.
Sepertinya Shizuka tetap berada di sudut kamar semalaman. Saat pagi tiba pun, ia masih duduk di posisi yang sama.


Setelah Keito mencuci muka dan berkumpul untuk sarapan, Utaha dan Sarasa juga sudah duduk di meja. Sayur dan ikan yang dibeli dari pasar pagi sudah tertata di meja makan.


Begitu mereka selesai makan dan bersiap, mereka semua berangkat menuju pantai. Jaraknya sekitar dua puluh menit berjalan kaki.


Dulu, kalau masih anak-anak, jarak itu terasa jauh. Tapi sekarang tak jadi masalah.


“Hati-hati, ya. Kalian boleh main air, tapi dilarang berenang.”


“Aku tahu.”


Ada sebuah titik di dekat laut yang tiba-tiba menjorok seperti teluk dalam, sehingga tidak cocok untuk berenang. Waktu masih kecil, Keito hanya bisa ke sana kalau ditemani orang tua.


Setelah itu, mengikuti di belakang kakek Keito yang terus mengingatkan soal ini-itu, mereka semua mulai berjalan menuju tujuan.


“Bau arus lautnya terasa kuat.”


“Bau pantai banget, ya. Meski baunya nggak enak, entah kenapa malah bikin pengen nyium terus.”


“Kayak bau telapak kaki atau tanah di bawah kuku. Nggak enak tapi bikin penasaran.”


“Mungkin itu tandanya kita sudah dekat?”


“Ngobrol kalian bikin kepala pusing.”


Melihat wajah Sarasa yang pasrah sekaligus jengkel pun terasa menyenangkan.


“Kalian akrab juga ternyata.”


“Benarkah? … Eh, ya juga sih.”


Keito mengingat kembali rasa cemas yang seperti berjalan di atas benang tipis.


Dulu, tak terbayangkan bahwa Junichi, Sarasa—bahkan Takumi—bisa ikut dalam perjalanan ini. Semua ini terjalin berkat benang halus bernama Shizuka. Sedikit saja diberi beban, mungkin langsung putus.


Ia tak tahu apa yang akan terjadi setelah musim panas ini berakhir.


Tapi untuk sekarang, yang bisa ia lakukan adalah melakukan yang terbaik.


Matahari pagi sudah terasa terik. Malam sebelumnya memang sejuk, tapi sekarang, keluhan soal panas pun tak bisa dihindari.


Sambil terus berjalan dan berkeringat, mereka meneguk air yang dibawa masing-masing.


Semakin mendekati pantai, jalur yang mereka lewati makin menyempit. Mereka berjalan satu per satu di sisi jalan kecil tempat mobil pun harus berjuang untuk lewat.


Keito berada di paling belakang, memastikan Shizuka yang berjalan di belakangnya tetap bisa mengikuti.


“Kamu ingat jalan ini? Kaerakhir kali kita ke sini? Aku anehnya gak inget apa-apa,” sahut Gotanda.


“Padahal aku kira kamu cuma idiot, ternyata ingatanmu bagus juga.”


“Itu pujian?”


“Boro-boro.”


Semua tertawa kecut mendengar sindiran Sarasa.


Di kejauhan, mereka mulai bisa melihat windbreak di balik breakwater di pinggir pandangan. Secara alami, langkah mereka jadi semakin cepat. Keito juga menggenggam tangan Shizuka dan mempercepat langkah.


Setelah menyeberangi jalan dan menaiki tangga pemecah gelombang, mereka akhirnya bisa melihat laut dari puncaknya.


Permukaan laut yang tenang menjelang musim panas berkilauan karena dipantulkan sinar matahari.


Pasir yang kasar dan batu-batu kecil menutupi sepanjang pantai. Kalau menoleh ke belakang, mereka bisa melihat pemandangan kota yang telah mereka lewati.


Mercusuar yang berdiri di kejauhan tampak kesepian diterpa cahaya matahari.


“Ah .…”


Suara kekaguman itu keluar dari Utaha. Mungkin ia terkejut melihat pemandangan yang persis seperti lukisan yang ditinggalkan oleh Mari.


Bahkan Keito yang sudah sering melihat pemandangan ini, tetap merasakan hal yang sama.


Kapal penumpang yang dulu terbakar pun sedang menuju pelabuhan lokal. Setelah menghabiskan malam di kapal itu, mereka akan segera berlabuh.


Orang-orang yang berhasil diselamatkan juga dibawa ke pelabuhan itu. Keito dan Takumi termasuk di antaranya. Sedangkan benda-benda yang hanyut dibawa ombak, semuanya tersapu ke pantai ini, bersama sebagian jenazah.


Sayangnya, tidak ada petunjuk sedikit pun tentang keberadaan Shizuka. Mungkin orang tuanya sudah sering datang ke sini, berkali-kali.


Menuruni tangga di sisi lainnya, mereka melangkah di atas pasir kasar menuju laut. Namun saat angin semilir bertiup dan mereka sampai di tengah pantai, Keito tiba-tiba tidak bisa menggerakkan kakinya lagi. Sepertinya yang lain pun merasakan hal yang sama.


“Kamu mau ngapain sekarang, Aikawa?”


Wajah Sarasa tampak sedikit pucat. Mungkin kenangan akan kecelakaan itu kembali menghantuinya. Ia memeluk tas kecil yang sama seperti yang Keito lihat sebelumnya, mungkin tanpa sadar.


Keito pun bertanya soal Shizuka.


Meski mereka sudah datang sejauh ini, tidak ada yang berubah secara nyata. Akan bohong kalau mereka tidak mengharapkan sesuatu yang dramatis, tapi kenyataannya … tidak semudah itu.


“Shi-chan masih belum ditemukan. Bahkan kalau secara hukum dia sudah dianggap meninggal, Shi-chan masih … beristirahat di suatu tempat di lautan ini. Akhirnya … kita bisa datang untuk menjemputnya.”


Keito mengatakannya dengan penuh keteguhan, lalu mulai melangkah maju.


“Kalian ingat waktu kita ke sini tujuh tahun lalu?”


Takumi dan yang lainnya mengikutinya dari belakang saat ia bertanya.


“Tujuh tahun yang lalu … maksudmu sebelum kecelakaan? Yang waktu kita main ke sini? Terlalu samar.”


“Hari ketika kita menangkap ikan.”


Keito terus berjalan perlahan menuju laut sambil bercerita.


“Itu ikan kecil yang kita tangkap pakai tangan. Aku lupa siapa yang dapat pertama, mungkin Junichi atau Takumi. Tapi kayaknya aku yang nyaranin buat kita pelihara.”


Itu adalah kenangan polos masa kecil mereka.


Ia sempat membuat kurungan dari batu-batu di sekitar sana. Ketika ikan itu dilepas di sana, ia berenang kecil di pinggiran kurungan itu.


Orang yang paling bahagia karena kurungan itu adalah Shizuka.


Ayo tangkap lebih banyak lagi!


Karena ingin melihat senyum Shizuka, Keito mencoba menangkap ikan-ikan lain yang berenang di dekat situ.


Tapi semuanya lolos dari tangannya. Mungkin ikan pertama tadi tidak secerdas itu, atau mungkin teknik Keito saja yang payah.


Karena gengsi, ia tidak mau minta bantuan dari Takumi atau Junichi, dan berjuang sendirian—tapi tetap saja nihil.


Saat Keito dan Shizuka sibuk dengan “akuarium dadakan” itu, Takumi dan yang lain sudah main sendiri di tepi air. Keito dan Shizuka menonton ikan itu berenang, dengan cahaya matahari menyinari punggung mereka.


Rasanya, Keito tidak pernah bosan memandangi itu. Tapi kemudian ibunya memanggil mereka untuk makan siang. Setelah makan, ia dan Shizuka kembali bergabung dengan yang lain.


Hari mulai gelap dan mereka pun bersiap pulang. Mereka memang berencana kembali keesokan harinya, jadi kunjungan ke rumah kakeknya akan berakhir.


Keito merasa senang sudah mengajak semua orang. Ia pikir, suatu saat nanti mereka harus datang lagi.


Tepat sebelum mereka beranjak pulang, Shizuka sempat berseru pelan:


Ah—


Ia kemudian mulai berlari menuju bibir pantai. Keito, panik, langsung mengejarnya dari belakang.


Shizuka berjongkok dan menatap ke dalam akuarium dari tumpukan batu yang mereka buat sebelum siang tadi, bahunya bergetar, dan ia menangis.


Maaf … maaf … maaf. Andai saja aku melepasmu lebih cepat .…


Sosok gadis yang meminta maaf itu tampak tumpang tindih dengan dirinya yang kehilangan bola beberapa hari yang lalu. Ikan kecil itu mengambang di permukaan air, dengan perutnya menghadap ke atas, berwarna putih.


Itu bukan salahmu, Shi-chan … mungkin dia memang sudah lemah sejak awal aku menangkapnya.


Mungkin itulah alasan mengapa ikan itu bisa ditangkap oleh seorang anak kecil. Namun, penghiburan itu sama sekali tidak membantunya. Shizuka tidak menjawab.


Aku benar-benar minta maaf .…


Keito menggenggam tangan Shizuka yang sedang berjongkok dan menangis, lalu buru-buru mengajaknya kembali karena hari mulai gelap.


Aku seharusnya tidak menaruhnya di sana … maaf .…


Keito pun merasa terpuruk.


Air mata yang menetes di wajahnya bukan hanya karena ia tersentuh oleh tangisan Shizuka. Kehilangan sesuatu itu memang, memang menyedihkan.


Kamu juga menangis, Kei-kun?


Iya … karena air mata itu terhubung dengan laut, setidaknya aku ingin menangisi ikan kecil itu—yang tidak sempat kembali ke rumahnya.


Begitulah, keduanya meninggalkan pantai dengan air mata mengalir di pipi.


◇◇◇


“Itu yang terjadi, ya.”


Nada suara Takumi terdengar jujur, tapi penuh kekecewaan.


“Itu tempatnya.”


Keito menyapu pandangannya ke permukaan air, tepat saat ombak mulai mendekat. Tidak peduli seberapa keras ia mencarinya, tak ada lagi akuarium dari batu, tak ada lagi ikan kecil yang pernah mereka jebak di dalamnya.


Tentu saja. Karena mimpi dan masa lalu tidak sama dengan kenyataan dan masa kini.


“Aku sungguh ingin melepasnya waktu itu.”


Waktu tak akan pernah berputar kembali. Namun, sebagai gantinya, akhirnya ia bisa membawa Shizuka sampai ke titik ini.


“Apakah ikan itu mati karena aku? Aku pernah dengar dari Shizuka. Saat kita tumbuh dewasa, kita akan melupakan masa kecil kita, dan ingatan pun menjadi samar. Tapi meski aku melupakan detailnya—hal buruk, kesalahan, bahkan hal-hal yang anak kecil pun bisa pahami—rasa sakit itu, rasa sakit yang menyesakkan dada, akan selalu kuingat.”


Benar. Seperti saat kehilangan bola karet yang dicari berjam-jam, tapi tak pernah kembali.


“Aku juga ingin tanya sesuatu padamu, Aikawa. Ceritakan padaku tentang detik-detik terakhir Shizuka.”


“Itu .…”


“Tolong.”


Sebelum ia sadar, Junichi dan Takumi sudah menatapnya lekat-lekat.


“Malam itu, kami sedang bicara di dek kapal. Aku yang ke sana lebih dulu, lalu Shizuka menyusul. Malam itu anginnya kencang. Kami bicara ngalor-ngidul … soal masa kecil, soal SMA … kurasa begitu.”


Ia tak bisa melanjutkan. Walaupun kata-kata itu sudah sampai ke tenggorokan, rasanya seperti tersumbat. Ia mual.


“Urgh .…”


Ketiganya menatapnya dengan cemas saat Keito terdiam.


Benar.


Aku sudah melupakannya. Tidak—aku sengaja menolak untuk mengingat.


Dua orang yang terlempar ke laut, jari mereka yang saling menggenggam akhirnya terlepas. Aku seharusnya bisa menyelamatkannya—tapi nyatanya tidak.


Aku tak pernah cerita pada Sarasa. Atau pada siapa pun. Kecuali Utaha.


Aku bohong setelah kejadian itu.


Benar. Aku menyembunyikan bagian terpenting.


Dan sekarang aku malah mengharapkan kerja sama mereka?


Betapa munafiknya aku.


Yang kubutuhkan hanyalah sedikit keberanian. Keberanian untuk membuka isi hatiku.


Laut tak pernah bercerita, dan langit tetap diam.


Keberanian itu ada dalam diri kita. Begitu juga dengan kebenaran.


Angin laut bertiup.


Menghadap ombak dari laut yang mengamuk, Keito pun mengangkat suaranya. Agar suaranya terbawa angin, demi menjemput kembali Shizuka.


“Dengar aku baik-baik!!”


Ketiganya membuka mata lebar-lebar mendengar teriakannya. Meski pengaruhnya hanya sesaat, itu cukup untuk memulai sesuatu.


Keito mulai bicara dengan kata “Sebenarnya .…”


Malam terakhir yang ia habiskan bersama Shizuka memang nyata.


Sambil menceritakan apa yang terjadi setelah mereka terjatuh ke laut, ia menyampaikan kata demi kata dengan hati-hati, memeriksa ekspresi teman-temannya tiap kali.


Sarasa, Junichi, dan Takumi mendengarkannya tanpa menyela.


Disapu ombak, ia tak mampu menggenggam tangan Shizuka lagi. Ia mengucapkannya seolah memeras seluruh penyesalan dari dadanya.


“Maaf … karena selama ini aku menyembunyikannya.”


Entah akan dituduh pengecut, ditertawakan, atau dikritik, ia siap menerima semuanya.


Karena untuk bisa menyampaikan kata-kata Shizuka, ia harus mengungkap semuanya lebih dulu.


Tapi ia belum melakukannya.


Bodohnya aku.


Langit musim panas menyambut mereka dengan biru yang begitu luas—terlalu indah hingga terasa seperti kebohongan. Sinar matahari menusuk, seakan ingin membakar tubuh Keito.


Sejak kapan matahari sudah setinggi itu di pagi hari?


Ia merasa pusing.


Lautan luas di hadapannya bergemuruh pelan.


Laut biru yang pernah menelan Shizuka kini membentang tenang, seakan bersiap menelan Keito pula.


Tak satu pun dari mereka berbicara.


Keito memalingkan pandangannya ke tempat Shizuka seharusnya berdiri—berusaha melarikan diri dari keheningan itu.


Namun, tak ada siapa-siapa di sana.


Ia panik, menoleh ke sekeliling—Shizuka tak terlihat.


“Shi-chan?!”


Ia memanggil secara naluriah.


“Ada apa, Keito?”


“Shi-chan … nggak ada di sini.”


Begitu kata-kata itu keluar, Keito langsung berlari. Kemana perginya dia saat mereka semua sedang bicara?


“Shi-chan!? Kamu di mana?!”


Berlarian di atas pasir sangat sulit; berkali-kali ia hampir terjatuh.


Lagi pula, Keito sendiri tak tahu harus berlari ke arah mana. Mencari tanpa arah hanya akan membuat segalanya sia-sia.


Apa dia tersesat? Kalau begitu, mestinya tak pergi jauh. Kalau dicari, pasti ketemu.
Namun, kemungkinan terburuk pun muncul: kata yang hilang milik Shizuka sudah mulai menghilang. Waktunya telah tiba. Tanpa bisa melihatnya lagi, bahkan untuk sesaat. Dan tentu saja, kata-kata itu tak akan pernah tersampaikan.


“Utaha-san!? Kamu lihat Shi-chan?”


Keito bertanya pada Utaha dengan nada nyaris memohon. Namun Utaha hanya menggeleng.


“Tadi aku memang melihatnya sebentar. Tapi … sekarang aku juga tidak tahu dia ke mana.”


“Tidak mungkin …! Tolong, kasih tahu aku, kamu barusan ke mana?”


Ia harus segera menemukan Shizuka. Namun, saat Keito mulai terburu-buru—


Dunia nyata adalah mimpi. Mimpi malam adalah kenyataan.


Utaha mengucapkan kalimat itu dengan nada lambat yang terasa menjengkelkan.


“Apa maksudnya?”


Aku tahu arti kalimat itu. Tapi yang ingin kudengar adalah alasan dia mengatakannya sekarang.


“Kita semua harus tahu satu hal—apa yang terlihat bukanlah segalanya, dan apa yang tak terlihat pun tetap nyata. Aku dan Aikawa-san bisa melihat kata-kata yang hilang yang tidak bisa dilihat orang lain. Tapi sekarang, aku kehilangan jejak Shizuka-san. Kalau begitu … mungkin, yang biasanya tidak bisa melihatnya, justru sekarang bisa melihat wujud nyatanya.”


Utaha lalu mengarahkan tatapannya ke Sarasa yang berdiri di samping Keito.


“Kamu juga berpikir begitu, bukan, Irifune-san?”


Sarasa—yang disebut namanya—seketika tubuhnya menegang. Ia membuka mulutnya … tapi tak ada suara keluar. Aku khawatir padanya, tapi sekarang kami sedang dalam kondisi genting.


Keito, penuh kegelisahan, kembali berseru memanggil Shizuka yang bersembunyi entah di mana.


“Maaf, Shi-chan, maaf ….


Sebanyak apa pun aku minta maaf, aku telah melakukan hal yang tak bisa dimaafkan. Aku melepaskan tanganmu. Kau pasti benci aku. Tapi … meski begitu, tak apa. Kalau memang boleh … bisakah kau katakan satu kata saja?”


Namun, Shizuka tak kunjung muncul.


◇◇◇


“Tunggu, Aikawa.”


Akhirnya Sarasa membuka suara, dengan nada serak.


Saat ia bergumam pada dirinya sendiri, “Ada hal yang hanya bisa kulakukan sendiri,”


“Seperti halnya kamu berani mengungkap rahasia yang kamu simpan, aku juga harus bicara … tentang kebenaran yang hanya aku tahu. Dan … aku juga harus meminta maaf padanya.”


Ia mengeluarkan sesuatu dari tas kecil kesayangannya yang dibawanya sejak awal.


“Aku selalu menyesal. Aku cuma bisa bilang kalau aku tergoda … Tapi ya, itu cuma alasan.”


Ia memegang sebuah buku tipis di tangannya. Sampulnya dihiasi bunga-bunga kecil berwarna biru pucat.


Warnanya sudah memudar, tampak kusam—mungkin karena sudah dibaca berkali-kali. Judulnya adalah
Potret Chieko. Keito juga mengingatnya sebagai buku yang pernah mereka pelajari di kelas. Sebuah antologi puisi karya penyair Takamura Kōtarō.


“Aku mencuri … buku berharga milik Shizuka.”


Itulah pengakuan dosa dari Sarasa.


Beberapa waktu sebelum perjalanan dua tahun lalu, Shizuka pernah mengundangnya untuk bertemu.


“Saat itu, rumahku sedang dalam tekanan besar. Aku menolak ikut perjalanan karena tidak mampu membayar. Tapi dia dengan tulus bilang:
Aku pinjamkan dulu. Bayar kapan-kapan nggak apa-apa. Aku marah waktu itu. Aku benci dia … yang seolah hidupnya tidak pernah susah, sampai-sampai bisa bicara soal pinjaman dengan mudah. Karena itulah aku memutuskan ikut perjalanan itu. Dan … karena aku ingin sedikit menyakiti perasaannya, aku mencuri buku ini tepat di depan matanya, dan menyelipkannya ke dalam tasku.”


Namun … tepat sebelum insiden itu terjadi, Shizuka berkata kepadanya di dalam kabin,
Orang tuaku mungkin akan bercerai. Kalau itu terjadi, aku mungkin harus pindah. Aku nggak yakin bisa masuk SMA yang aku inginkan. Aku rasa ini kesempatan terakhir buat liburan kayak gini, jadi aku benar-benar ingin ikut. Sa-chan, maaf banget udah minta hal mustahil. Makasih udah mau datang.


Begitulah cara Shizuka mengungkapkan isi hatinya.


Uang itu ia kumpulkan sedikit demi sedikit.


Saat itu, Sarasa sempat berpikir untuk segera mengembalikan bukunya. Namun Shizuka pergi sebelum sempat ia bicara, sambil berkata:


Aku mau nyusul Kei-kun.


Sarasa berniat minta maaf setelah ia kembali. Tapi nyatanya, ia tak pernah melihat Shizuka lagi.


“Aku selalu menyesal … Dalam pikiranku, aku merasa … kalau saja aku kembalikan buku ini, mungkin Shizuka masih bisa diselamatkan. Aku terus-terusan menyalahkan diriku sendiri, hingga akhirnya … aku memutuskan untuk mengubur semuanya di masa lalu.”


Sarasa terisak, memeluk buku itu ke dadanya.


Keito tahu, meski secara logis buku itu tak akan menyelamatkan Shizuka, beban rasa bersalah itu tetap berat.


Sarasa tahu betul kesalahan yang ia bawa, dan kini sudah tak sanggup menahannya lagi.
Begitu pula dengan Keito. Ia sendiri menyaksikan langsung kematian Shizuka, tapi tetap merasakan sakit yang sama.


Setiap orang yang masih hidup … harus menanggung tanggung jawab masing-masing. Dan hanya diri mereka sendirilah yang tahu seberapa berat beban itu.


“Aikawa … aku juga takut padamu.”


Sarasa melanjutkan dengan nada yang tak terduga.


“Kamu takut padaku?”


“Kamu adalah orang terakhir yang bersama Shizuka. Jadi kupikir … kamu pasti dengar sesuatu darinya. Pasti kamu tahu apa yang sudah kulakukan. Makanya aku takut.”


“Aku … nggak tahu apa-apa.”


“Sepertinya memang begitu. Tapi Aikawa … kamu juga melakukan kesalahan. Semua orang pasti begitu.”


Mata Sarasa basah oleh air mata, tapi dalam sorotnya, Keito melihat bayangan masa kecil mereka.


“Sejak kamu bilang ingin mendengar kata-kata terakhir Shizuka, aku jadi semakin takut padamu. Sejujurnya … aku masih takut. Ada bagian dalam diriku yang tidak  mau tahu apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan. Tapi sekarang … kurasa aku sudah siap.”


Lalu, Sarasa menghadap ke arah Utaha.


“Terima kasih.” Ia menundukkan kepalanya sedikit.


Sebaliknya, Utaha hanya tersenyum, tanpa berkata apa pun.


Kemudian, Sarasa menyerahkan buku itu pada Keito. “Aikawa, aku serahkan ini padamu. Mungkin … Shizuka ingin kamu yang memilikinya. Seperti yang dikatakan Umegae-san tadi … meski aku, Ezaki, dan Gotanda tidak bisa melihatnya, masih ada hal yang bisa kami lakukan.”


Buku puisi kesayangan Shizuka berpindah tangan, dari Sarasa ke Keito.


“Kata-kata yang ingin dia sampaikan … pasti ada di dalam sini.”


“ … Di sini?”


“Iya. Aku yakin, dalam antologi puisi di mana Kotarō menyampaikan cinta mendalamnya seumur hidup untuk istrinya, Chieko … kita akan menemukan kata-kata yang ingin Shizuka sampaikan.”


Saat Keito menerima buku itu dan mengulurkan tangan ke arah Sarasa――


Seketika itu juga, angin kencang bertiup, seolah menguji mereka. Angin dari laut menuju daratan, dari timur ke barat, membawa aroma mengambang dari bunga plum Jepang (ume), seakan membawa serta jejak kenangan akan dirinya.


Buku itu pun terangkat ke udara.


Tepat sebelum tangan Keito menyambutnya dan tangan Sarasa melepaskannya, buku itu melayang tinggi ke langit.


Lalu, ia jatuh.


Antologi puisi itu terbuka lebar.


Seperti seekor burung kecil yang mengembangkan sayapnya.


Angin musim panas berembus sekali lagi.


Seolah membawa seekor burung putih kecil ke seberang lautan.


Kenang-kenangan yang mungkin pernah dibaca bersama Shizuka dan Sarasa itu kini terbang, ditiup angin dan menari di langit, berputar berkali-kali.


Satu per satu, halaman-halamannya mulai terlepas dari jilidnya.


“Bukunya .…”


Kini, buku yang sangat disayang Shizuka mulai tercerai-berai. Benang-benang halus yang merajutnya terurai, membuka satu per satu kata, potongan kalimat, dan kenangan.


Beberapa lembaran kertas itu menumpang angin dan terbang menuju laut.


Shizuka dimakamkan di laut. Kalau begitu, potongan-potongan kertas itu pun kembali ke sisinya.


Keito berlari.


Demi memilih satu kata di antaranya.


Demi mengetahui perasaan yang Shizuka tinggalkan.


Keito yakin—ia melihat sebuah kata,
ikan, menari di udara dari kejauhan.


“Itu dia!”


Keito sadar dan menunjuk halaman yang harus ia dapatkan.


Namun, halaman itu malah tertiup angin dan melayang ke arah yang salah.


“Junichi!”


Takumi melihat kejadian itu dan langsung mengambil batu kecil di dekatnya.


“Tidak, itu mustahil.”


“Aku tidak bisa sendirian. Junichi, aku butuh bantuanmu juga!”


Takumi melempar kerikil sambil berkata begitu. Tapi, tak mungkin kerikil bisa dengan mudah mengenai selembar kertas yang melayang ditiup angin. Batu itu membentuk parabola dan jatuh ke laut.


“Cepat! Kamu pasti bisa, Jun-nii! Lagian bahumu udah pulih kan!”


“Itu .…”


Apa maksud dari kata-kata Takumi tadi? Meski sudah mendengarnya, Junichi masih menggenggam batu itu, ragu untuk melempar. Sementara itu, Takumi terus melempar beberapa kali, tapi semuanya gagal.


“Ugh ….”


Keito tenggelam dalam keputusasaan. Andaikan saja dia bisa meraih halaman itu—meski tangannya dijulurkan, tetap saja mustahil untuk menjangkaunya.


“Tolonglah, aku mohon, Jun-nii!”


“Kumohon … Tak-kun, Jun-chan … Bukankah kalian dulu jago banget main baseball?!”


Junichi mengerutkan alisnya saat mendengar sorakan Keito dan Sarasa.


“ … Aku selalu disudutkan … karena kata-kata itu.”


Junichi berteriak.


“Jun-kun hebat ya, pasti jadi pemain baseball. Jun-kun keren, pasti sukses di baseball. Semangat ya … Awalnya aku senang. Senang banget dapet dukungan polos dari Takamori. Tapi lama-lama … itu berubah jadi kutukan.”


Junichi mengayunkan tangan kanannya sekuat tenaga.


“Aku pikir aku bisa bebas setelah Takamori meninggal … sialan!”


Dengan raungan, Junichi mengayunkan tangan kanannya seperti cambuk. Batu yang ia lempar sedikit menyentuh halaman kertas yang pudar dan melayang di langit biru.


Itu sudah cukup.


Kertas yang ingin Keito ambil berubah arah dan mulai jatuh.


“Ya!”


Untungnya, titik jatuhnya tidak sampai ke laut. Jika dia lari, Keito seharusnya bisa menangkapnya sebelum halaman itu menyentuh pasir.


Keito pun berlari.


“Aku takut. Kalau mimpiku gak terwujud, aku akan melanggar janji dengannya. Jadi aku terus menyalahkan cedera ini—biar hatiku bisa tenang.”


Junichi bergumam dengan suara penuh kesedihan. Tapi Keito tahu, dengan mengungkapkan isi hatinya, Junichi sedang melepaskan beban yang lama mengikatnya.


Keito berhasil meraih selembar.


"『
Kepada seorang wanita di pinggiran kota』,


Kini seperti angin kencang, hatiku berlari padamu,


Oh kasih,


Kini malam yang dingin menyusup ke kulit ikan biru,


Maka tidurlah dengan tenang di rumahmu yang sunyi di pinggiran kota."


Keito melantunkan puisi itu dengan suara lantang di tempat.


Angin sepoi mengalir, membawa serta isi hatinya, doanya, dan keinginannya.


Agar ia bisa melihat Shizuka.


Dengan meminjam wujud Shizuka, seorang gadis yang memelihara kata-katanya muncul di hadapan Keito.


Keito pun berseru.


Ia berlari menuju sosok samar yang ada di sana—nyata tapi hampir lenyap.


Di saat yang sama, ia juga seperti sedang menyelam menuju dasar samudra yang gelap seperti malam, tempat Shizuka beristirahat dalam damai.


Untuk sosok yang ia cintai.


“Shi-chan, aku jatuh cinta padamu.”


Kata-katanya berubah menjadi hembusan angin.


Angin ribut itu berputar, menari, dan bernyanyi.


Lembaran puisi yang tadi berada di tangannya ikut tersapu oleh angin dan meluncur kembali menuju laut.


“Hatiku telah menjadi badai, dan kini sedang menuju untuk menjemputmu.”


    *(TL/N: Puisi yang dibacakan Keito, judulnya ‘To a Woman in the Suburbs’. Adalah puisi dari antologi Chieko-shou/Portrait of Chieko/Potret Chieko. Antologi ini isinya kisah-kisah Kotaro Nakamura dengan Chieko, mulai dari hubungan asmara, pernikahan, kehancuran pribadi, dan kematian. Atau setidaknya itu yang kupahamin.)


◇◇◇


Teriakan Keito menggema hingga ke langit.


Ketika ia menyadarinya, Keito sudah menangis keras. Air matanya mengalir tiada henti, tubuhnya terguncang dalam isak.


Sejak hari ia kehilangan Shizuka, emosi kuat telah lama berkecamuk dalam dirinya—namun belum sekalipun ia meneteskan air mata.


Kini, Keito mengembalikan air matanya ke laut, tempat Shizuka bersemayam.


Ada kehadiran yang terasa seperti pelukan lembut.


Seakan ingin menghapus air mata yang jatuh dari wajahnya, Shizuka berdiri di samping Keito dan dengan lembut mengulurkan tangan kanannya.


Kata-kata Shizuka yang hilang kini telah mendapatkan kembali warnanya. Tersinari oleh cahaya matahari, menunjukkan bentuknya yang nyata.


“Shi-chan ….”


Menahan keinginan untuk segera memeluknya, Keito hanya memandangi sosoknya. Bibirnya yang pucat magenta belum terbuka. Belum sepatah kata pun terucap.


“Itu … benar-benar Shizuka…?” Mata Sarasa terbuka lebar.


Seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat. Seperti menyambut teman lama yang sangat dirindukan.


“Takamori ….”


Junichi hanya bisa bergumam. Ujung jarinya gemetar, berulang kali mencoba menggapainya—namun tak mampu.


“Benar-benar mengejutkan.”


Takumi hanya terpaku sejenak, seolah lupa pada dirinya sendiri, saat Shizuka dan Sarasa saling menatap dalam diam.


Seakan memberi waktu untuk memastikan reaksi keempat orang di sana, mulut Shizuka—yang kini kembali seperti dua tahun lalu—akhirnya mulai merangkai kata.


“[Kau tahu, aku … suka padamu, Kei-kun. Sejak kecil, aku selalu, selalu mencintaimu.]”


Kata-kata yang ingin ia sampaikan kini terdengar jelas oleh Keito dan yang lainnya.


“[Aku rasa aku mulai jatuh cinta saat ikan itu mati dan kamu menangis bersamaku. Aku … mungkin tak bisa diselamatkan, tapi tolong … tetaplah akur dan jaga satu sama lain, ya.]”


Ia melanjutkan.


Kata yang pernah tenggelam bersama keputusasaan di laut itu—saat tangan mereka gagal saling menggenggam—kini muncul kembali.


Meski ia telah menjadi kata yang hilang, ia tetap ingin menyampaikan perasaannya pada semua orang.


“ … Aku selalu ingin meminta maaf padamu. Saat kita SD dulu, aku berkata hal jahat—aku egois, pengecut, dan memalukan. Aku mengkhianatimu, yang mengatakan padaku ‘nggak apa-apa untuk menangis’.


Lalu saat kecelakaan itu, aku gagal menyelamatkanmu. Aku tak bisa terus menggenggam tanganmu. Aku telah melakukan terlalu banyak hal yang tak termaafkan, sebanyak apapun aku meminta maaf.


Rasanya lebih baik kalau aku saja yang mati lebih dulu … Kenapa kamu yang meninggal, dan aku yang diselamatkan …? Kenapa … kamu tidak membenciku .…”


Shizuka tak bisa menjawab Keito. Karena begitulah hakikat kata yang hilang.


Mereka hanya menyampaikan isi hati—bukan untuk menjawab.


Namun, dia tetap mengucapkan:


“[Aku mencintaimu, Kei-kun … akhirnya aku bisa mengatakannya.]”


Kata-kata yang terulang itu tidak memiliki sedikit pun kepalsuan. Suara jujur yang seakan kembali dari kematian itu telah memberi kelegaan pada hati Keito.


“Ya … Aku mengerti.”


Akhirnya ia bisa mengatakan itu.


Tak ada kata lain yang bisa menjawab kejujuran selain kejujuran pula.


“Aku juga … mencintaimu, Shi-chan. Sejak dulu, aku selalu mencintaimu.”


Dulu, aku pikir aku tidak pantas untuk mengatakannya. Tapi aku tidak bisa berbohong lagi. Aku tahu Shizuka tak akan pernah bisa menjawab pengakuan ini.


Senyum yang muncul dari sosok kata yang hilang itu mungkin hanya ilusi yang ia impikan. Namun, aku yakin perasaanku telah sampai. Akhirnya.


“[Jun-kun, semangat ya di baseball. Aku akan selalu mendukungmu.]”


Ia berkata pada Junichi dengan suara lembut namun penuh semangat.


“ … Takamori. Kata-kata itu seperti kutukan bagiku. Aku terbelenggu. Itulah kenapa aku lega saat berhenti dari baseball. Tapi ternyata … kamu benar-benar mendoakan kesuksesanku sampai akhir .…”


Junichi menahan tangis, berusaha mati-matian mengendalikannya.


“Hei, Junichi. Shi-chan pernah bilang padaku, ‘Kalau ingin menangis, nggak apa-apa kok’. Kata-kata bisa jadi kutukan, tapi juga bisa jadi penghibur.”


“Ya … Takamori, aku akan berusaha sedikit lebih keras.”


Setelah mengucapkan itu dengan suara gemetar, Junichi langsung terduduk—seolah seluruh energinya habis.


Lalu, ia menangis pelan seperti lolongan yang tertahan.


“[Semangat juga ya, Tak-kun. Kan kamu mau jadi pemain pro bareng Jun-kun, ya?]”


“Kamu ngomongnya kayak itu hal biasa banget ….”


Takumi mengusap hidung sambil tersenyum getir.


“Aku sih kalah jauh dari Junichi. Tapi aku nggak akan berhenti … karena aku cinta baseball.”


“[Dan … tolong jaga Sa-chan, ya. Aku tahu Tak-kun suka sama Sa-chan.]”


“ … Hah?” Takumi mendongak, terkejut.


“[Sa-chan, makasih udah dengerin semua keluh kesahku. Makasih udah jadi teman yang baik. Baru sekarang akhirnya aku bisa bilang perasaanku ke Kei-kun. Tapi ya, mungkin aku udah telat.


Aku tahu kamu sering disalahpahami, Sa-chan. Tapi kamu sangat manis ke orang yang kamu sayang. Aku serahkan bukuku padamu, Sa-chan. Tolong jaga baik-baik ya? Buku itu bisa memberi kekuatan. Aku rasa, dicintai oleh seseorang itu luar biasa.


Jadi … gak apa-apa kalau kamu gak bisa akur sama semua orang. Tapi berjanjilah untuk tetap akur dengan orang yang kamu cintai. Soal kamu milih Tak-kun atau enggak, aku serahin padamu. Tapi aku akan mendukung kalian.]”


“Kamu bodoh, Shizuka. Kamu gak tahu betapa banyaknya kamu udah menyelamatkan aku.
Terima kasih. Dan … maaf. Aku benar-benar minta maaf ….


Meskipun kamu memaafkanku, aku tidak yakin bisa memaafkan diriku sendiri. Tapi sekarang … aku merasa, suatu hari nanti, aku mungkin bisa.


… Jadi kamu memberikan buku itu padaku, ya. Tapi sekarang buku itu udah hancur …. Gak apa-apa, aku bakal beli yang baru. Anggap saja itu buku yang sama dari kamu, dan aku bakal menjaganya baik-baik. Terima kasih.


Cuma satu hal … kamu gak ngira ini akhir dari segalanya, kan?”


Dengan suara bergetar dan senyum masam, Sarasa menatapnya sambil meneteskan air mata. Baik Keito maupun Sarasa, telah lama hidup dalam rasa bersalah terhadap Shizuka. Meskipun rasa bersalah itu memudar, tapi ia tidak akan pernah benar-benar hilang.


Luka yang pernah terukir … tak akan mudah sembuh.


Kulit yang tipis bisa sobek kembali, dan bekas luka akan tampak.


Namun, selama mereka mengingat Shizuka—Shizuka pada hari ini, saat ini—maka luka itu akan mulai pulih kembali.


Shizuka masih terlihat seolah dia hidup.


Ia telah mendapatkan kembali ekspresi wajah, emosi, dan kata-katanya. Seperti kobaran api yang menyala sangat terang … sesaat sebelum akhirnya padam.


Kata-kata yang mereka berikan sebagai balasan … tak akan pernah mencapainya. Gadis yang berdiri di depan mereka bukanlah Shizuka, melainkan hanya bayangan darinya yang menyampaikan kata-kata terakhirnya.


Namun begitu, ia tetap tertawa.


Ia tetap menangis.


Kalau Shizuka benar-benar ada di sana, dia pasti menunjukkan wajah yang sama dan melakukan hal yang sama.


“[Banyak hal menyakitkan yang terjadi. Tapi juga ada begitu banyak hal menyenangkan. Lagi pula, aku masih khawatir soal orang tuaku, dan masih banyak buku yang ingin kubaca ….


Ah, aku ternyata masih tidak ingin mati.]”


Setelah Shizuka mengucapkannya dengan nada sepi, “[Kalau aku mati, tolong kalian menangislah sepuas hati. Menangislah dan terus menangis, sampai semua air mata kalian berubah jadi lautan.


Kalau kalian melakukan itu, aku yakin aku akan selalu bisa bertemu kalian semua di dasar laut.]”


"[Sampai jumpa, bye-bye.]"


Shizuka melambaikan tangan. Sosoknya tampak samar, seperti bayangan tipis yang terlihat di bawah cahaya matahari siang.


Keito berjalan tertatih menuju arah gadis yang perlahan menghilang.


Ia tidak peduli sekalipun gadis itu melangkah ke arah laut biru dalam di belakangnya.


Namun, pada akhirnya, ia berkata:


“[Aku akan menjadi ikan dan tidur di dasar laut. Tapi kamu belum boleh menyusulku ke sini, ya, Kei-kun?]”


Setelah mengucapkan kata-kata perpisahannya itu, Shizuka benar-benar menghilang.


“Shi-chan.”


Saat Keito berusaha mencari jejak terakhirnya, sebuah tangan menepuk pundaknya dan mengalihkan pandangannya.


“Kita datang lagi, ya.”


Junichi meletakkan tangannya di sana. Tangan itu besar dan sedikit hangat.


Takumi dan Sarasa saling bertatapan.


Takumi tertawa malu-malu, sementara Sarasa menunjukkan ekspresi getir, seolah baru saja menelan sesuatu yang pahit.


Dalam sekejap, mereka berdua melambaikan tangan ke arah tempat Shizuka berdiri tadi.


Saat Keito melihat ke arah Utaha, gadis itu hanya menunjukkan senyum lembut. Senyum tanpa kata, namun penuh makna—"Terima kasih sudah berjuang."


“Walaupun dia bilang begitu, aku tetap nggak bisa langsung menangis,” Sarasa menghela napas, seolah masih merasa gelisah.


“Bukankah lebih baik kita menangis dalam hati setelah pulang nanti? … Ah, Keito menangis lagi. Seperti yang diharapkan dari Keito si bayi cengeng.”


Nada menggoda dari Junichi itu terdengar lembut, penuh rasa sayang.


“Karena … aku sudah menahan semuanya selama ini.” Keito menjawab sambil mengusap air matanya.


“Aku juga akan menangis saat pulang nanti …. Tapi ini masalah juga. Aku nggak menyangka semuanya bakal terbongkar begini.”


Takumi bergumam sambil menggaruk kepalanya, tampak kebingungan.


“Jadi, itu benar?”


“Ya … begitulah. Aku memang sudah lama menyukai Irifune-senpai.”


Pengakuan cinta yang melayang begitu saja di udara—


“ … Kutolak. Aku belum bisa memikirkan soal itu sekarang.”—langsung ditolak mentah-mentah.


“Kamu bilang ‘sekarang’, jadi artinya nanti kamu akan memikirkannya?”


“Mustahil.”


“Kalau begitu, anggap saja aku masuk daftar cadangan.”


Takumi tetap kuat. Mereka berdua butuh waktu. Mungkin itulah alasan Takumi ikut dalam perjalanan ini sejak awal?


“Jun-nii, makasih udah nemenin. Sisanya biar aku yang urus. Kau sudah gak perlu ngomong apa-apa.”


“ … Beri aku waktu juga. Aku belum bisa langsung kembali ke baseball. Tapi aku akan mulai memikirkan masa depanku dan kondisi tubuhku dengan serius.”


“Ya.”


“Ngomong-ngomong,” Junichi mulai bicara. Ia tampak bersiap untuk mengucapkan sesuatu yang penting.


“Aku lapar.”


Tepat saat itu, suara sirine siang menggema di udara, menandakan waktu makan siang.


Keito membuka kotak bekal yang diberikan oleh neneknya. Saat burung camar berdatangan, ia membagi sedikit fillet ikan untuk mereka.


Setelah mereka selesai makan, tiba-tiba semua saling memandang tanpa berkata-kata.


“Sudah … selesai?”


“Belum. Mungkin ini baru permulaan …. Permulaan dari masa depan kita.”


◇◇◇


Saat mereka kembali ke Stasiun Soumiya, senja mulai menyapa.


Perjalanan tiga hari dua malam itu pun resmi berakhir. Singkat, tapi penuh makna.


“Apa yang akan kamu lakukan selama liburan musim panas, Irifune-senpai?”


“Aku harus belajar untuk ujian, tentu saja. Aku nggak bisa main-main selama sisa bulan ini, jadi jangan ajak aku nongkrong.”


“Baik. Semangat, ya.”


“Tapi kabari aku kalau kamu sudah tahu keberadaan ayahnya Shizuka.”


“Jadi kamu juga menolak ajakan dariku, Senpai?”


“ … Tentu saja.”


Sarasa menghela napas panjang, seolah lelah menghadapi semuanya.


“Aku juga harus fokus pada ujian dulu. Kalau tidak, aku nggak akan bisa memilih jalan yang kuinginkan.”


“Yah, mari belajar. Kita juga ada ujian di akhir liburan nanti.”


“ … Jangan diomongin dulu deh.”


“Bisakah kita mengulang masa lalu …? Aku nggak tahu soal itu, tapi jangan ulangi kesalahan yang sama. Mungkin masa lalu memang ada untuk itu.”


“Kamu kenapa tiba-tiba bijak gitu?”


“Bukan apa-apa. Cuma … pikiran yang muncul begitu saja. Ayo pulang.”


Sesaat sebelum mereka berpisah, Sarasa—yang hendak mampir ke toko buku—sempat bicara.


Malam pertama, Sarasa sebenarnya sempat berbincang dengan Utaha sebelum bertemu Keito. Kalau memang ingin bicara, mereka bisa melakukannya di kamar. Tapi Utaha-lah yang mengajak Sarasa yang waktu itu masih belum bisa bicara.


“Aku tetap nggak bisa bilang apa-apa saat itu. Tapi Umegae-san memberiku dorongan di akhir. Tatapannya bening, lembut, tapi juga mengintimidasi—seolah bisa melihat segalanya. Seperti memaafkan semua orang, kecuali dirinya sendiri. Aku yakin dia juga sedang berada dalam dilema besar … Aikawa, tolong bantu dia juga, ya.”


Ketika Utaha juga sedang berjalan pulang sendirian, Keito sempat berkata:


“Terima kasih banyak. Aku akhirnya tahu perasaan terakhir Shizuka, dan kami semua bisa mengucapkan salam perpisahan padanya—yang sesungguhnya. Kalau bukan karena bantuanmu, semua ini tidak akan mungkin terjadi.”


Menanggapi itu, Utaha melembutkan ekspresinya.


“Kalau begitu, anggap ini utang ya?”


Katanya sambil sedikit memiringkan kepala dengan gaya menggoda.


Keito tersenyum membalasnya—bertanya-tanya apakah ia pernah melihat ekspresi seperti itu sebelumnya dari gadis itu.


◇◇◇


Setelah berpisah dengan Aikawa-san dan yang lain, aku menghabiskan hampir satu jam berjalan kaki kembali ke rumah.


Aku kelelahan, tapi ingin terus berjalan. Seolah ingin lebih letih lagi.


Setelah membuat secangkir kopi akar dandelion, aku naik ke lantai atas. Kutarik tirai, membiarkan cahaya matahari sore masuk ke dalam ruangan. Aku duduk di kursi di tengah ruangan, dikelilingi rak-rak buku. Dengan rasa pahit di mulut, kuhembuskan napas panjang.


Aku mengingat hari ketika Aikawa-san pertama kali datang ke toko ini. Saat dia masuk dan membunyikan lonceng pintu, aku sedang berada di ruangan ini.


Karena, aku merasa seperti ada seseorang … tidak, karena ibuku memanggilku ke atas.


Tentu saja itu hanya imajinasi. Tidak ada siapa-siapa di sana. Waktu itu, aku sedang mengambil buku ini dari rak:


Potret Chieko


Tanpa sengaja, aku mengambil buku yang menarik perhatianku di ruangan kosong itu, membuka halamannya, dan menelusuri kata-katanya.


Salah satunya, Untuk seorang wanita di pinggiran kota, juga ada di dalamnya. Aku tertarik pada kata-kata penyair yang begitu mencintai satu wanita sepanjang hidupnya.


Selain itu, karena aku menjatuhkan sesuatu ke meja saat mengembalikan buku itu, aku telat menyadari kedatangan Aikawa-san. Padahal katanya, justru suara itulah yang membuat dia tetap tinggal di toko.


Betapa anehnya takdir. Sampai sekarang pun, aku masih percaya mungkin … dia-lah yang dipanggil ibuku.


Aku rasa itu bukan sekadar kebetulan.


Mungkinkah ibu ingin menunjukkan jalan padaku karena aku masih belum matang? Kalau begitu … walaupun itu hanya mimpi, tolong temui aku lagi.


Meski kata-kata ibu bisa menyakitiku, aku ingin tahu kebenarannya.


Sama seperti yang dilakukan Aikawa-san.


Saat aku berdiri, meletakkan bayang ibu untuk sementara,


Aku pun kembali meraih saku kecil berisi buku tipis dari hutan buku yang selama ini kupelihara.


Buku yang dulu ditinggalkan Shizuka-san, dijaga Sarasa, dan dibacakan Aikawa-san. Sampul dan jilidnya persis sama seperti yang ini.


"Sekarang, seperti angin besar, hatiku berlari menuju dirimu.


Laksana mata air lembut dan murni yang mengalir dari kedalaman bumi,


Membasahi tiap inci kulitmu yang bening."


Aku meninggalkan upaya membaca dengan seksama, dan mulai membacanya dengan suara keras, membiarkan puisinya merasuk apa adanya.


Aku menelusuri kepekaan para leluhur, mengikuti perasaan mereka, doa mereka, dan membacakannya.


Akhirnya, aku benar-benar mulai membacanya.


Keheningan dan gairah saling berdampingan. Sebuah pemandangan terlintas di benakku.


Lautan terbentang sepenuhnya.


Langit biru tanpa siapa pun, dan samudera biru membentang.


Ketika angin menyentuh permukaan air, gelombang putih pun muncul.


Seekor ikan kecil berenang di antara ombak.


Setelah melayang tenang sejenak, ia pun mengubah arah.


Ikan itu menyelam ke dalam, menuju dasar laut yang sunyi, lalu menghilang.


Aku yakin, hingga saat ini, ikan itu masih tertidur.


Sambil merasakan belaian angin lembut di dasar laut yang penuh air mata.


Prev    ToC    Next

Posting Komentar

Posting Komentar