OxB0k9cwmLdjse93ShCWJA620ioxDFw9UULpRrkC
Bookmark
Featured Post

Utaha-san wa Betsu no Uta o Yomi Hajimeru - Afterword

Afterword Translator: Canaria Proofreader: Canaria Salam kenal semuanya. Namaku Kashida Leo. Aku menulis kata penutup ini di sebuah kamar di ru…

Utaha-san wa Betsu no Uta o Yomi Hajimeru - Prolog 2


Prolog 2: --[Hatiku Sekarang]--

Translator: Canaria
Proofreader: Canaria





Aikawa Keito berdiri di atas geladak kapal pada malam hari.


Berbeda dengan lanskap siang yang cerah berwarna biru azur, laut malam justru memberikan kesan keputusasaan yang begitu pekat.


Begitu menatapnya, seolah-olah dirinya sedang jatuh, semakin dalam, ke dalam jurang tanpa dasar.


Padahal ia sedang dalam perjalanan menuju tempat penuh kenangan, tempat di mana lima sahabat masa kecilnya akan berkumpul untuk pertama kalinya setelah sekian lama—namun entah mengapa, sebuah ingatan yang tak menyenangkan tiba-tiba melintas, dan Keito mendongak ke langit dalam kepanikan.


Langit dipenuhi bintang yang tak terhitung jumlahnya.


Sesaat, ia lupa bahwa dirinya sedang berada di atas kapal, bahkan lupa bahwa lehernya sakit karena terlalu lama menatap langit.


Angin malam sesekali bertiup kencang, meski peringatan gelombang pasang sudah diumumkan secara resmi.


Hembusan angin itu datang mengaum dari belakang Keito, membawa serta aroma asin dari laut.


Angin musim semi itu, sekali lagi, mengantarkan kehadirannya padanya.


“Haru no Umi*… Walau lagunya bercerita tentang gelombang yang bergelombang lembut, tampaknya malam ini tidak terasa demikian.”
            *[Cana: Haru no Umi (Laut Musim Semi) adalah lagu tradisional Jepang yang terkenal.]


Sebuah suara terdengar dari belakangnya.


“Ketemu juga, Kei-kun.”


“Kau mencariku, Shi-chan?”


Sebentar lagi ia akan naik ke kelas tiga SMP, dan meskipun menyebut seorang gadis yang lebih muda darinya dengan panggilan “-chan” agak terasa canggung, namun kebiasaan lama itu tetap sulit ia lepaskan.


“Bintangnya luar biasa indah. Awalnya aku sempat khawatir soal perjalanan laut, tapi ternyata menyenangkan. Terima kasih, Kei-kun.”


Keito tidak membalasnya, ia hanya memandangi senyuman Takamori Shizuka dengan saksama――senyum yang begitu familiar namun kini terasa berbeda.


Ia tampak jauh lebih dewasa dari sebelumnya. Shizuka sebentar lagi akan menjadi siswi kelas akhir.


Wajah, mata, dan bentuk bibirnya masih sama seperti saat mereka kecil. Namun, melihat siluet wajahnya dari jarak yang begitu dekat hingga ia bisa merasakan hembusan napasnya—Keito menyadari bahwa Shizuka perlahan menjelma menjadi seorang perempuan dewasa.


Mata bening itu—yang lebih suka membaca dibanding bermain—kini sedang memantulkan cahaya bintang di langit malam. Rambutnya, yang dulu pendek saat masih kecil, kini telah tumbuh melewati bahu dan berayun liar setiap kali angin kencang berhembus.


Jari-jarinya yang ramping dan anggun menahan rambutnya agar tak beterbangan, dan sesaat melintasi mata dan hidungnya, hampir memperlihatkan garis rahang halusnya.


Ingatan tentang wajah polos dan kekanak-kanakan yang dulu ia kenal… nyaris lenyap dari benaknya. Kini, Shizuka benar-benar tampak seperti seorang perempuan dewasa.


Tempat yang tak biasa ini, waktu yang tak biasa, dan situasi yang tak biasa—apakah semua ini hanya ilusi semata?


Seorang Shizuka yang sedang menatap bintang.


Dan Keito yang sedang menatap Shizuka.


Seakan-akan masa lalu yang terasa begitu jauh… ketika mereka berlima, termasuk Shizuka, bermain bersama setiap hari hingga senja tiba.


“Aku benci kamu. Kamu cuma orang membosankan yang kerjaannya baca buku seharian.”


Mengingat kembali kata-kata itu… masih menyisakan perih di hati Keito.


Meski tak terjadi sesuatu yang besar, hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sedang tumbuh tak akan pernah bisa bertahan dalam bentuk yang sama selamanya. Cepat atau lambat, jarak akan tercipta. Itu tak terelakkan.


Ia tahu itu.


Namun, tak diragukan lagi… akulah yang menjadi pemicunya.


“Dulu, kamu juga merasa seolah bisa mendengar suara bintang, kan?”


Shizuka bertanya sambil tetap menatap langit, matanya masih terpaku pada hamparan bintang.


“Aku memang mendengarnya… banyak. Suara yang hanya bisa kita berdua dengar. Seolah bintang-bintang itu sedang berceloteh di antara mereka sendiri... Aku benar-benar bisa mendengarnya waktu itu. Entah kenapa, rasanya sekarang malah lebih mudah kuingat daripada dulu… Aneh, ya.”


“Kita ini masih anak SMP, tahu.”


“Tapi aku sebentar lagi masuk SMA.”


Keito dan Shizuka terpaut satu tahun.


Saat masih anak-anak, perbedaan itu nyaris tak terasa. Tapi setelah masuk SMP, jarak itu mulai terasa nyata. Bila mereka sudah tak lagi sekelas, kemungkinan untuk sering bertemu pun semakin kecil.


Dan ketika nanti mereka benar-benar dipisahkan—antara SMP dan SMA—jarak itu akan menjadi jurang yang lebih dalam lagi.


Perjalanan ini mungkin akan menjadi yang terakhir kalinya mereka bisa tetap disebut sebagai sahabat masa kecil.


Bukan hanya Keito dan Shizuka saja—Takumi, Junichi, dan Sarasa yang ikut bersama mereka pun, tampaknya memiliki firasat yang sama.


“Akademi Meigetsu itu sekolah khusus perempuan yang bergengsi, kan? Apa kamu bakal baik-baik saja? Memang sih, kebiasaanmu membaca membuatmu terlihat seperti gadis anggun, tapi cara bicaramu itu… seenaknya banget, jadi aku agak khawatir.”


“Oh astaga, itu memang tak bisa dihindari. Toh aku bukan putri bangsawan sejak lahir……..kurang lebih begitu?”


“Hmm, rasanya tetap ada yang janggal… Tapi ya, kita memang sudah masuk SMA, ya…”


“Itu akan menyenangkan, sih……”


Kata-kata lirih yang diucapkan Shizuka tersapu angin malam—Keito hanya sempat menangkap beberapa patah katanya saja.


“Kei-kun, kamu sendiri… sudah tahu mau ambil jurusan apa nanti?”


“Belum. Takumi mungkin bakal sekolah bareng Junichi. Sarasa… senpai itu masuk Kikusui, kan? Dia memang pintar, sih.”


“Kalau begitu, Kei-kun juga ikut, ya…… Aku tahu! Gimana kalau masuk sekolah yang sama denganku?”


“Nggak mungkin. Enggak bakal terjadi.”


“Mau nyamar jadi cewek?”


Shizuka tertawa kecil, tapi tubuhnya bergetar sesaat kemudian. Cardigan putih seperti salju yang dikenakannya di atas seragamnya tampak membalut tubuhnya rapat, melindunginya dari dinginnya malam.


“Kamu nggak apa-apa? Udara mulai dingin.”


Hari ini adalah bulan ketiga dalam masa higan—minggu ekuinoks—yang dikenal karena peralihan antara panas dan dingin. Seharusnya udara mulai menghangat, tapi karena hembusan angin yang terus datang, udara tetap saja dingin bahkan meski memakai mantel.
            *[Cana: Higan (
彼岸) itu istilah budaya Jepang untuk menyebut minggu di sekitar ekuinoks musim semi atau musim gugur, sering juga disandingkan dengan refleksi spiritual.]


“Yah, kita sedang berada di tengah lautan, jadi wajar kalau dingin.”


Rambut panjang Shizuka kembali menari diterpa angin kencang. Bibirnya yang berwarna merah muda pucat di atas kulit putihnya bergerak perlahan, menyampaikan kata-kata yang hanya Keito yang bisa dengar.


“Kalau aku menyelam dari sini……kira-kira, bisa nggak aku berubah jadi ikan?”


Shizuka, terkadang, memang suka membandingkan dirinya dengan seekor ikan.


Sesaat, Keito teringat pada seekor ikan malang yang terhalang oleh bebatuan, padahal lautan terbentang tepat di hadapannya.


Saat ia menggelengkan kepala, seolah ingin mengusir bayangan ilusi itu――


“Shi-chan, kamu dulu suka banget ya sama akuarium di taman? Aku ingat kamu bisa berdiri diam berjam-jam di depan kolam ikan ayu dan tiga duri stikleback.”


“Tubuh mungil mereka yang tembus pandang itu warnanya cantik. Kei-kun, kamu sendiri suka banget sama salamander raksasa, kan?”


“……….Kurasa begitu. Eh, udah berapa lama ya akuarium itu ditutup?”


“Wah, jadi nostalgia banget.”


Shizuka menghela napas, lalu meluruskan punggungnya seperti sedang mencoba mengintip permukaan laut—yang sebenarnya tak bisa ia lihat dari tempat mereka berdiri.


“Kira-kira ikan-ikan itu sedang tidur nggak ya? Ikan di sungai memang hebat, tapi setelah terbiasa, ikan di laut agaknya terasa lebih menarik. Laut itu lebih dalam, lebih tenang, lebih gelap, dan lebih damai. Aku ingin tidur di dasar lautan sambil bermimpi sepanjang malam. Lalu… mungkin aku akan menemuimu dalam mimpiku, Kei-kun.”


“Hei, Shi-chan… ada apa sebenarnya?”


Keito tak sanggup lagi menahan diri dan akhirnya bertanya. Kata-katanya terasa makin fana, seolah menguap sebelum sempat menggema.


“Nggak ada kok. Untuk saat ini… Oh iya, kalau aku jadi ikan yang tidur di dasar danau, apa Kei-kun mau jadi angin besar dan datang menjemputku?”


Wajah Shizuka tampak seperti sedang bermimpi—dekat tapi juga jauh, seolah bisa disentuh tapi tak pernah benar-benar bisa digapai. Namun wajah itu begitu lembut, tenang, penuh kehangatan. Dan jika seseorang menyentuh pipinya, pasti terasa selembut yang dibayangkan. Itulah ekspresi yang telah membuat Keito jatuh hati.


“Tolong jemput aku.”


Shizuka mengucapkannya sekali lagi.


Debur ombak terdengar dengan irama yang tetap, seolah bernafas.


Langit malam penuh bintang yang bersenandung diam-diam.


Seakan mendapat dorongan dari segalanya, Keito pun memantapkan hati.


Pertama, ia harus meminta maaf atas kejadian di hari itu. Karena perjalanan ini, mereka bisa sampai sejauh ini. Mereka tak punya pilihan selain berhenti sejenak dan menghadapi semuanya.


Lalu――ia ingin melangkah maju. Itulah harapan Keito.


Itulah sebabnya, saat itu Keito tak benar-benar mendengarkan permintaan Shizuka dengan saksama.


“Hei.”


Shizuka berbicara dengan wajah serius, berdiri tepat di hadapan Keito. Ia meletakkan tangannya di dada Keito, menepuk-nepuk kantong bajunya beberapa kali, seolah sedang mencari sesuatu.


Setelah menampilkan ekspresi bingung sesaat,


“Ah iya… Aku sudah kasih ke Sa-chan, ya.”


Keito mengangguk, seolah baru menyadari dan merasa yakin dengan jawabannya. Namun kemudian――


“Hei.”


Suara Shizuka terdengar lagi. Wajahnya kini kembali tenang, seolah tak ada hal aneh yang terjadi barusan.


Ketika Keito tersenyum melihat situasi yang mulai terasa aneh, Shizuka berkata:


“Setelah ini, aku akan bicara hal yang serius.”


Shizuka menyatakannya dengan tenang, namun tegas.


Keito menunggu kalimat selanjutnya, tapi yang datang justru keheningan—mengalir panjang seperti keabadian.


Waktu perlahan namun pasti bergeser.


Dan ketika waktu itu telah lewat, ia tak akan pernah kembali.


    Ketika aku benar-benar berharap,

    Ketika aku berdoa sekuat-kuatnya,

    Tak peduli seberapa dalam aku menginginkannya,

    Ataupun menyesalinya dengan penuh luka,

    Aku tak akan pernah bisa kembali ke masa itu.


Sesaat sebelum Shizuka dan Keito bisa kembali berbicara――


Bunyi gaduh lonceng darurat tiba-tiba terdengar, menembus kegelapan malam yang hening.



Prev     ToC     Next


0

Posting Komentar