OxB0k9cwmLdjse93ShCWJA620ioxDFw9UULpRrkC
Bookmark
Featured Post

Utaha-san wa Betsu no Uta o Yomi Hajimeru - Afterword

Afterword Translator: Canaria Proofreader: Canaria Salam kenal semuanya. Namaku Kashida Leo. Aku menulis kata penutup ini di sebuah kamar di ru…

Utaha-san wa Betsu no Uta o Yomi Hajimeru - Chapter 2

 

Chapter 2: --Gaung Laut Biru-

Translator: Canaria
Proofreader: Canaria



"Ayahmu sedang apa, Utaha-san?"


 Sudah berapa kali Keito mengunjungi kafe milik Utaha?


Sampai saat ini, dia jarang melihat orang lain selain Utaha di tempat ini. Satu-satunya orang yang pernah ditemuinya hanyalah seorang teman Utaha bernama Misora.


Dan soal pelanggan lainnya ... yah, hanya ada kata yang hilang yang datang ke sini. Mengingat ucapan Utaha bahwa banyak orang yang mengunjungi tempat ini memiliki keterikatan dengan kata yang hilang, mungkin wajar saja jika pengunjungnya memang sangat sedikit. Apakah Misora salah satunya?


Dari kedua orang tua Utaha, selain ibunya yang sudah meninggal, Keito juga belum pernah bertemu dengan ayahnya. Saat Keito menyinggung hal itu, Utaha hanya menutup matanya perlahan.


"Ayahku masih dalam perjalanan ... dia terus berkelana untuk mencari ibuku. Dia jarang pulang ke rumah."


"Mencari …?"


"Aku tahu kedengarannya aneh, dan wajar kalau kau merasa curiga. Tapi suatu saat nanti, aku akan menceritakan semuanya padamu."


Karena Utaha tidak melanjutkan penjelasannya, Keito pun tak bisa bertanya lebih jauh.


“Lukisan yang tersisa di sini sebagian adalah karya ayahku, yang ia sketsakan di jalan lalu dibawa ke sini untuk dirampungkan. Kurasa nanti aku bisa mengenalkanmu padanya saat ia kembali.”


Namanya adalah Ichiro. Ia menggunakan nama itu sebagai tanda tangannya. Dengan kata lain, dialah seniman lain yang turut memamerkan karyanya di [Tsuyukusa], bersama dengan Mari, ibu Utaha.


Ketika Keito bertanya soal asal-usul kafe ini, Utaha menjawab:


“Ibuku yang memulainya dulu. Ia ingin menciptakan tempat untuk memajang lukisan—lukisan yang mungkin bisa menjadi petunjuk kehadiran kata yang hilang. Lama-kelamaan, orang-orang mulai datang hanya untuk melihat karya-karya itu, dan sejak saat itu aku mulai menyajikan minuman di sini. Kopi dandelion itu juga resep peninggalan dari ibuku.


Saat ibuku masih hidup, kadang-kadang ada pelanggan yang datang hanya karena ini kafe. Tapi setelah beliau tiada, aku sempat menutup tempat ini cukup lama. Dan sejak aku membukanya kembali, jumlah pelanggan menurun drastis. Sepertinya orang-orang di sekitar mengira ini sudah jadi kedai terbengkalai.”


Nada bicaranya terdengar seperti mengejek dirinya sendiri—sebuah nada getir yang menyiratkan bahwa ini topik yang tidak ingin terlalu ia bahas.

Begitu pula soal ibunya, Mari. Utaha tak ingin membicarakannya lebih jauh. Ibu yang kini sudah tiada.


Rambut Utaha yang sedikit kekuningan, berpadu dengan warna senja dan ciri khas wajahnya, membuat Keito menebak bahwa kakek dari pihak ibunya mungkin berdarah Prancis.


Mari, ibu Utaha, adalah seorang pengirim pesan seperti putrinya. Ia sangat memengaruhi Utaha, dan itu jelas terlihat.


Ya, tentu saja. Tak mungkin seseorang bisa menjalani peran ini—menyampaikan pesan dari jiwa-jiwa yang hilang—tanpa mampu merasakan empati terhadap pihak yang tak bisa ia lihat atau ajak bicara. Apalagi jika jiwa itu adalah ibunya sendiri.


Namun di luar itu, Keito tidak tahu apa-apa. Dan Utaha sendiri tampaknya tidak berniat untuk mengungkap lebih banyak.


◇◇◇


Sejak Keito mulai bolak-balik antara sekolah dan kafe, hanya ada satu kata yang hilang yang datang selain Haruko. Ia adalah seorang anak laki-laki kecil yang pernah dipanggil Keito sekali waktu.


Sudah dua bulan berlalu sejak itu. Selama waktu tersebut, anak itu mungkin berkeliaran diam-diam, tak terlihat siapa pun.


Kematian anak kecil adalah hal yang langka. Utaha pun menyisir koran-koran lama di perpustakaan dengan penuh kesabaran, sementara Keito menggambar potret anak itu untuk memastikan identitasnya.


Ternyata ia adalah anak laki-laki berusia lima tahun yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas sekitar setahun lalu dan mengembuskan napas terakhir dua hari kemudian.


Utaha dan Keito mencocokkan kata yang hilang anak itu dengan anjing milik orang tuanya.


Sebelum Utaha melafalkan puisi, ia mengeluarkan satu set gelembung sabun. Di dalamnya ada wadah berisi cairan dan sedotan.


"Aku yakin anak itu akan senang."


Ia meletakkan ujung sedotan di mulutnya, meniupnya pelan, dan muncullah banyak bola sabun berwarna pelangi yang memenuhi udara sebelum pecah perlahan satu per satu.
Orang tuanya menatap ke langit dengan air mata yang tak tertahan.


Sementara itu, kata yang hilang dari anak kecil itu menatap gelembung sabun yang melayang di udara.


Utaha lalu menuliskan sesuatu di selembar kertas, mengeja aksaranya dengan rapi, dan mulai melafalkannya.


Sekali lagi, Keito melihat suatu pemandangan. Bola-bola prisma tujuh warna itu tertiup angin, melambung tinggi ke atap, lalu lenyap. Hembusan angin membawa aroma manis yang menyentuh dan membangkitkan rindu.


Ia telah mempersembahkan lagu Shabondama* pada anak kecil itu—sebuah lagu pengantar tidur yang terkenal.
            *(TL/N: lagu anak dari tahun 1922 yang banyak dipakai dan diajarkan di TK atau PAUD di sana. Lagunya tentang mengenak kematian seorang anak).


Anak laki-laki itu menyampaikan salam perpisahan pada kedua orang tuanya dan anjingnya, Mary. Ia mengenang betapa menyenangkannya saat mereka bermain gelembung sabun bersama.


Dan ia pun menyampaikan, bahwa jika ia bisa dilahirkan kembali, ia ingin menjadi anak mereka lagi. Setelah itu, ia pun menghilang ke udara.


Pasangan yang tampaknya berada di usia tiga puluhan itu berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada Utaha dan Keito.


“Kenapa kamu memilih lagu itu?”


“Konon, Noguchi Ujo—penyair lagu Shabondama—menulis lagu itu sebagai pengingat untuk putrinya yang meninggal di usia muda. Meskipun gelembung sabun itu pecah dan lenyap, sang anak akan kembali membuat gelembung baru dan bermain lagi.


Dengan menenangkan jiwa seperti itu, kita bisa memperluas harapan reinkarnasi. Aku ingin menyampaikan perasaan ini pada anak itu.”


“Bagus ya, untukmu,” ujar Keito sambil mengenang anak itu, yang menghilang dengan senyum di wajahnya.


“Kata mereka, mereka sering bermimpi tentang anak itu, seolah-olah sedang mengejar sesuatu yang belum selesai.”


Mereka tampak berbincang sebelum pergi. Mungkin mereka membicarakan hal itu?


“Tapi, akhirnya mereka bisa menatap ke depan karena apa yang terjadi hari ini. Katanya, mereka merasa telah diselamatkan.”


Begitulah penjelasan Utaha. Tapi, ia tidak menunjukkan ketertarikan berlebihan, sampai-sampai tampak seperti tidak peduli.


“Lalu … bagaimana orang yang ditinggalkan itu harus hidup? Apakah … satu-satunya pilihan hanyalah terus menjalani hidup …?”


Pertanyaan itu meluncur pelan dari bibir Keito.


“Banyak hal bisa sembuh seiring waktu. Aku hidup hari demi hari, seolah-olah telah melupakan Shi-chan. Tapi ada saat-saat di mana aku tiba-tiba mengingatnya kembali. Saat seperti itu, aku jadi takut … rasanya seperti luka lama yang sudah mengering tapi terkoyak kembali. Kadang aku merasa aneh … karena aku masih hidup.


Apakah perasaan seperti ini akan hilang setelah aku bertemu dengan kata yang hilang milik Shi-chan?”


Ataukah, kata-kata Shizuka itu justru akan menjadi dorongan terakhir yang memaksanya menghadapi semuanya?


“Aku tidak tahu.”


Utaha menggeleng pelan.


“Kata yang hilang
tak membawa keselamatan ataupun kutukan. Yang mereka sampaikan hanyalah perasaan yang murni dan tulus. Apakah itu akan dianggap sebagai mantra penyelamat atau tidak, jawabannya tergantung pada si penerima.


Aku rasa … itu tergantung dirimu sendiri—bagaimana kau akan menghadapi perasaan dan kata-kata itu ketika kau berhadapan dengan masa lalumu. Sampai saat itu tiba, apa yang telah kau pikirkan? Apa yang kau rencanakan? Apa yang telah kau lakukan? Semuanya … tergantung padamu, Aikawa-san. Kita masih punya waktu. Untukmu … dan juga untukku.”


Saat mengucapkan itu, Utaha menunduk, seolah menyadari bahwa ia telah bicara terlalu banyak.


◇◇◇


“Aku juga akan pergi keluar sebentar hari ini.”


Hari Minggu kedua di bulan Juli. Tak ada tanda-tanda musim hujan, namun langit diselimuti awan tebal dan suram. Tak aneh jika hujan turun sewaktu-waktu.


Setelah makan siang di rumah, Keito memanggil ibunya.


“Akhir-akhir ini kamu selalu pulang malam setiap hari, dan bahkan di hari liburmu kamu tetap pergi. Sebenarnya kamu lagi ngapain sih?”


“Aku cuma pergi ke rumah teman.”


“Teman cewek?”


“Bukan ….”


Itu bukanlah kebohongan. Utaha memang sudah lebih tua dari sekadar cewek. Keito belum pernah sekalipun menanyakan berapa usianya, atau apa yang sedang ia lakukan sekarang. Mungkin ia seorang mahasiswi, atau orang dewasa yang sudah bekerja. Tapi Utaha terasa seperti sosok yang tidak nyata. Sulit membayangkan ia sedang belajar di sekolah atau bekerja di kantor.


“Ya sudah, bagus sih kalau kamu punya kegiatan dan teman untuk bersenang-senang, Ibu senang. Tapi Ibu juga kangen sama Emi, jadi sesekali istirahatlah di rumah, ya?”


“Ngerti. Emi lagi ngapain?”


Begitu adik perempuannya disebut, Keito sedikit kikuk menjawabnya.


“Sepertinya dia lagi baca buku di kamarnya.”


“Nanti aku mampir ke kamarnya waktu pulang. Aku akan pulang sebelum makan malam.”


“Hati-hati ya. Kayaknya bakal hujan.”


Dengan ucapan ibunya yang mengiringi, Keito mengayuh sepedanya, menyeberangi sungai, lalu masuk ke dalam kafe [Tsuyukusa].


Di sana, ia mendekati Utaha yang sedang membawa tas besar—berbeda dari biasanya. Sepertinya ia sudah bersiap untuk pergi sejak tadi.


“Aikawa-san, aku sudah menunggumu. Bisa temani aku sebentar?”


“Ke mana?”


tanya Keito, sedikit heran dengan permintaan mendadak itu saat ia baru saja datang.


“Rabu depan adalah hari peringatan kematian ibuku. Jadi aku ingin mengunjungi makamnya hari ini.”


“Yakin aku boleh ikut?”


“Iya. Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu juga.”


“Oke.”


Ibunya, Mari—seseorang yang juga bisa melihat kata yang hilang dan merupakan seorang pengirim pesan seperti Utaha. Jika hari ini ia bisa mendengar kisah tentang Mari, maka Keito tak punya alasan untuk menolaknya.


◇◇◇


Mereka naik bus menuju makam keluarga Umegae. Begitu mereka meninggalkan pusat kota dan menuju pinggiran, rumah-rumah penduduk mulai jarang terlihat, digantikan oleh ladang-ladang tanaman yang terbentang luas.


Di sudut area pemakaman, terdapat sebuah kuil kecil. Barisan makam yang berjajar rapi terasa seperti pemandangan yang aneh namun sakral. Mereka tak bisa menahan diri untuk memperhatikan—ada makam yang baru, yang tua, yang indah, dan yang mulai lapuk. Di bawah semuanya, para almarhum tertidur dengan tenang.


Apakah ayah Utaha, yang masih dalam perjalanan untuk “mencari” istrinya yang sudah wafat, sedang berada di bawah langit yang sama dengan mereka?


“Ibuku meninggal tahun lalu, bulan Juli,”


Utaha tiba-tiba berbisik saat ia berdiri di depan batu nisan, membersihkannya dengan sikat kecil yang sudah dibasahi air. Ucapannya terdengar seperti gumaman bagi Keito, seakan sengaja diucapkan pelan agar terdengar seperti monolog.


“Tahun lalu, ya …”


Ketika Keito mencabuti rumput liar di sekitar makam dan membalas dengan pelan,


“Ibuku bunuh diri.”


Itu juga terdengar seperti gumaman. Antara kata bunuh diri dan waktu Keito memprosesnya dalam pikirannya, ada jeda yang terasa menggantung.


Apakah ia tidak benar-benar mendengar itu tadi?


“Waktu aku pulang ke rumah, aku menemukan ibuku menggantung diri.”


“Urgh――”


Keito mengerang pelan, tak tahu harus mengatakan apa.


“Aku bukan bermaksud membuatmu merasa tidak nyaman. Tapi aku ingin kamu tahu.”


Membersihkan area makam kecil itu tidak memakan waktu lama.


Mereka menuangkan air ke dalam mangkuk kecil di depan makam, meletakkan bunga segar ke dalam vas, lalu menyalakan lilin dan batang dupa.


Aroma dupa yang khas menggelitik hidung mereka. Setelah mengucap doa dalam diam, semuanya pun selesai.


“Kalau tidak keberatan, mau ikut berdoa bersamaku?”


“Tentu.”


Utaha mengeluarkan tasbih, menekapkannya di antara kedua telapak tangannya, lalu memejamkan mata. Siluet wajah Utaha yang menunduk pelan terlihat sangat anggun. Keito mengikuti dengan menangkupkan tangan juga.


Keheningan mengisi udara di sekitar.


Tak ada satu pun orang lain di area pemakaman selain mereka berdua.


Saat Festival Obon tiba di bulan Agustus, mungkin tempat ini akan ramai dikunjungi orang yang membawa bunga dan doa untuk mendiang keluarga mereka.


“Di mana makam Shizuka berada?” —pertanyaan itu melintas dalam kepala Keito. Pertanyaan yang bahkan belum pernah terpikirkan sebelumnya. Ia tak tahu di mana orang tua Shizuka sekarang, dan sangat sedikit yang bisa ia lakukan untuk menyelidikinya.


Apa Shizuka benar-benar sudah meninggal? Ia mendengar bahwa jasadnya masih belum ditemukan. Kalau begitu, mungkinkah ia masih hidup, di suatu tempat?


Mungkinkah sosok yang dilihat ibu Utaha dulu adalah Shizuka yang masih hidup? Mungkin ia hanya kehilangan ingatannya dan sedang berkeliaran tanpa arah.


Tidak mungkin. Itu terlalu mustahil.


Namun meski begitu, Keito terus bertanya dalam hatinya—berulang kali—tanpa pernah mendapatkan jawaban.


Saat memikirkan tentang kematian, ada rasa nyeri tumpul yang menusuk kelopak matanya. Ketika ia memejamkan mata, air mata mengambang tanpa permisi.


“Aikawa-san, terima kasih banyak.”


Keito baru tersadar ketika Utaha memanggilnya.


Dari kejauhan, terdengar suara nyaring kanakana—serangga musim panas yang melagukan nyanyian sore hari. Tidak seperti aburazemi yang lebih besar dan keras, suara mereka terdengar lebih pelan dan melankolis.


“Aku akan menceritakan sedikit lagi tentang ibuku.”


Katanya bahwa menjelang akhir hidupnya, ibu Utaha—Mari—bertingkah semakin aneh.


Ia sering melamun, bicara sendiri, dan kadang menangis. Kemudian, di suatu hari yang sangat panas di bulan Juli—meski seharusnya masih musim hujan—ibunya meninggalkan dunia ini.


Ia pergi meninggalkan keluarga, lukisan-lukisan, nama bangunan [Tsuyukusa], dan kopi dandelion yang diwariskan pada Utaha.


“Aku masih belum tahu alasan kenapa ibuku mengakhiri hidupnya. Tapi … aku dengar dari ayahku, hal seperti ini kadang terjadi pada seorang pengirim pesan. Katanya, ibu dari ibuku—nenekku—juga bisa melihat kata yang hilang. Dan pada akhirnya, kasus kematiannya pun tidak pernah jelas apakah kecelakaan atau bunuh diri.


Mungkin aku juga akan mengikuti jejak itu suatu hari nanti. Maka dari itu, Aikawa-san, meski aku selalu memintamu untuk membantuku, aku takut aku telah menyeretmu terlalu jauh dalam semua ini. Aku tahu, kamu bukan seseorang yang pernah mengalami hal serupa.


Kalau setelah mendengar semuanya ini kamu memutuskan untuk berhenti membantuku mulai besok… aku tidak akan menghentikanmu. Tidak adil rasanya jika aku terus menerima bantuanmu tanpa memberitahumu tentang hal ini sejak awal.”


“Aku akan tetap membantu.”


Keito menjawab tegas, tanpa ragu sedikit pun.


“Setidaknya … sampai aku bisa bertemu dengan Shizuka. Aku akan tetap datang. Bahkan kalau kamu melarang pun, aku akan tetap datang.”


“Baiklah. Shizuka-san memang sangat berarti bagimu, ya?”


“Iya. Aku … menyukainya.”


Ia tidak ingin berbohong di depan Utaha.


Meskipun ia sendiri tak tahu persis seperti apa bentuk rasa suka itu. Tapi Keito sudah memikirkan Shizuka sejak sebelum kecelakaan itu terjadi. Mungkin itu yang disebut cinta.


“Tapi … aku tidak punya hak untuk itu. Aku pernah melakukan sesuatu yang tak bisa dimaafkan.”


Saat ia kelas lima SD—


Keito sejak kecil memang mudah menangis. Ia sering menangis jika dibully teman-temannya. Dan ia mungkin punya hubungan yang cukup dekat dengan Shizuka juga. Suatu hari, ketika mereka hendak pulang bersama, beberapa anak laki-laki mengejek Keito, dan ia menyerah. Seandainya saat itu ia punya keberanian, mungkin ia bisa bilang bahwa ia membenci Takamori.


『Aku benci kamu. Kamu cuma baca buku terus, ngebosenin banget.』


『Maaf, kamu benar. Jadi mulai sekarang, kita nggak usah pulang bareng lagi. Aku juga nggak akan ngobrol sama kamu lagi.』


Wajah Shizuka saat itu benar-benar terlihat sedih.


Keito langsung menyesal setelah mengatakan hal itu. Ia ingin segera menarik kembali ucapannya dan menjelaskan bahwa bukan itu maksudnya—namun suasana di sekeliling mereka tidak memberinya kesempatan.


Pada akhirnya, Shizuka yang waktu itu duduk di kelas enam pun lulus lebih dulu karena beda satu tahun ajaran dengan Keito. Sejak saat itu, mereka tidak pernah bertemu lagi.


“Aku telah mengkhianati Shizuka. Aku mengatakan hal sekejam itu ke gadis sebaik dia. Jadi, mungkin semua ini demi diriku sendiri. Aku ingin bertemu Shi-chan karena aku ingin diselamatkan. Aku ingin dimaafkan. Mungkin itu alasannya.”


Bisa jadi nanti ia akan mendengar dari Shizuka tentang rasa sakit hatinya pada Keito—tentang kejadian hari itu saat mereka kelas lima. Dan juga tentang hari di mana insiden itu terjadi.


Meski begitu, Keito tetap ingin mendengar suara Shizuka. Itulah yang benar-benar ia rasakan saat ini.


◇◇◇


“Embun yang menetes di ujung,


Atau butiran di akar:


Untuk dunia kita ini,


Tempat kita mati dan pergi,


Apakah mereka jadi teladan? ”*
            *(TL/N: Aku juga kurang mudeng sama puisi ini, wkwk. Pokoknya ini dari antologi puisi Shin Kokin Wakashu buku ke-8 dari Yoshimine no Munesada yang juga dikenal sebagai Sojou Henjou.)


Setelah mendengar pengakuan Keito, Utaha sedikit membuka mulutnya sambil menatap ujung dedaunan yang tumbuh di samping batu nisan.


“Itu adalah tanka karya salah satu dari enam penyair abadi, Sojo Henjo. Tanka-nya dalam Ogura Hyakunin Isshu yang berbunyi:


"Wahai angin surga, tutuplah jalur awan ini! Biarkan wujud para gadis ini bertahan di sini walau hanya sejenak!"


Itu cukup terkenal. Aku masih mengingat banyak tanka yang bernuansa erotis dan tak pantas untuk seorang Bhikkhu*, tapi di sisi lain, aku juga bisa melafalkan banyak tanka tentang kefanaan dan ketidakpastian dunia, seperti yang satu ini.”
            *(TL/N: Bhikkhu atau Sangha adalah kata dari bahasa sanskerta yang artinya ‘perkumpulan’, ‘penyatuan’, dsb. Dalam konteks ini, kata Bhikkhu digunakan untuk merepresentasikan Bhikkhu dalam agama Buddha, yang arti intinya ‘pendeta’.)


Utaha melanjutkan sebelum Keito sempat bertanya, “Lalu maksudnya apa?”


“[Tsuyukusa] dinamai dari gambar bunga Asiatic dayflower yang digambar oleh ibuku. Arti bunga itu, aku pernah memberitahumu sebelumnya. Tapi … apakah memang benar hanya itu saja maknanya?”


Pertanyaan itu terdengar seperti gumaman pribadi.


“Ibuku meninggalkan banyak hal. Tapi satu-satunya hal yang tak ia wariskan padaku adalah niat sejatinya. Melanjutkan apa yang ibu lakukan, adalah satu-satunya hal yang bisa kubayangkan. Kurasa hal yang sama juga berlaku untukmu, Aikawa-san.”


Meski masih siang, kata-kata dan ekspresi Utaha terdengar seperti akan larut dan lenyap kapan saja.


Ilusi itu hanya berlangsung sekejap, lalu ia membalikkan badan tanpa menunggu jawaban dari Keito.


Lalu—


Seorang wanita menyapa, “Halo, Utaha-chan.”


“Misora-san.”


Keito mengenali wanita itu juga. Ia adalah teman Utaha yang pernah ia temui di [Tsuyukusa]. Saat itu ia mengenakan setelan kerja dan sedang dalam perjalanan pulang.


Mungkin karena hari ini ia berkunjung ke pemakaman, pakaiannya terlihat sederhana dan rapi.


“Kalian berdua tampak sedang bicara serius di depan makam, jadi aku nggak mau ganggu. Kalau tidak salah, aku pernah ketemu anak ini, ya?”


“Namaku Aikawa Keito.”


“Aku Oda Misora. Jangan-jangan, kamu pacarnya Utaha-chan?”


“Bukan.”


“Sudah kuduga.”


Misora langsung mengangguk, seolah menggoda Keito.


“Aikawa-san sedang membantuku.”


“Ah, begitu rupanya.”

Sepertinya ia juga paham soal peran sebagai pengirim pesan hanya dari kata “bantu” yang diucapkan Utaha.


“Apakah Oda-san juga seorang pengirim pesan?”


“Hmm? Ah, tidak, aku bukan. Aku adalah orang yang diselamatkan oleh Utaha-chan.”


“Misora-san adalah orang pertama yang menerima kata yang hilang dariku.”


“Itu terjadi sekitar tiga bulan yang lalu. Waktu itu aku benar-benar terkejut.”


“Mungkin kau sedang mengunjungi makam Sasami?”


“Benar. Hari ini kebetulan adalah hari ulang tahunnya. Karena waktu itu aku sibuk mencari kerja dan tidak sempat datang saat peringatan kematiannya di bulan Maret, jadi hari ini semacam penebusan dosa.”


“Jadi makam Sasami juga ada di sini?”


“’jadi’? Maksudmu kau juga punya seseorang yang dekat dikubur di sini, Utaha-chan?”


“Ya. Ibuku dimakamkan di sini.”


“Begitu … jadi itu alasan Keito-kun datang bersamamu.”


“Karena ketika aku memikirkan masa depan, aku ingin tahu lebih banyak tentang banyak hal.”


“Begitu ya …. Ngomong-ngomong, kalian ada waktu setelah ini? Karena kita sudah bertemu, bagaimana kalau kita mengobrol sebentar? Keito-kun, ayo ikut juga.”


“Oke, aku tidak keberatan.”


“Tak masalah.”


“Tapi, sebelum itu, boleh aku mampir dulu ke makam Sasami?”


“Tentu. Aku yakin anak itu juga akan senang.”


Misora menjawab permintaan Utaha, dan Keito mengikuti mereka sampai berhenti di depan sebuah makam yang bertuliskan nama Sasami. Berdasarkan percakapan sebelumnya, Sasami kemungkinan adalah kata yang hilang yang pernah disampaikan Utaha pada Misora.


Beberapa bunga telah diletakkan di batu nisan keluarga Rokujo, namun semuanya sudah layu. Tidak terlihat seperti bunga yang baru diletakkan.


“Aku datang dengan tangan kosong. Masih ada waktu sebelum bulan peringatan kematiannya. Biasanya orang tuaku yang membersihkan makam ini tiap bulan. Aku nggak tega membuang bunganya, tahu.”


Keito memejamkan mata dan mengucap doa.


Hari ini, ia telah menawarkan bantuannya pada beberapa orang asing. Namun meski asing, semuanya bersikap serius saat menghadapi kematian.


Karena Misora datang dengan mobil, mereka menerima tawaran tumpangannya dengan senang hati. Misora bilang mobil itu murah dan bekas, tapi AC-nya cukup membuat interior terasa nyaman.


Di dalam mobil, mereka mendengarkan cerita hidup Misora.


Oda Misora. Usianya 23 tahun. Tahun ini adalah tahun pertamanya bekerja di dunia profesional. Setiap hari ia menempuh perjalanan antarkota ke kota besar terdekat, Kota Narumi.


“Sementara ini aku kerja di bagian editorial majalah, walaupun masih bawah-bawah banget. Cuma ngurusin hal-hal kecil.”


Berbicara dengannya, Keito segera tahu kalau Misora adalah tipe orang yang ramah, dengan kepribadian terbuka yang mudah akrab dengan siapa pun. Percakapan pun mengalir lancar tanpa hambatan.


Rasanya ia sangat dekat dengan Utaha, tapi sebenarnya mereka baru saling kenal beberapa bulan saja.


“Keito-kun, kamu sudah dengar cerita tentang Sasami?”


“Belum, aku belum dengar.”


“Kalau begitu, biar aku ceritakan.”


“Apakah benar aku boleh tahu ceritanya? Kalau Misora-san tidak keberatan, tolong ceritakan padaku.”


Keito ingin tahu lebih banyak tentang kata yang hilang yang pernah ditangani Utaha. Namun karena tak ingin menggali kehidupan pribadi Misora demi keinginannya sendiri, ia sangat berterima kasih saat wanita itu sendiri yang menawarkan.


◇◇◇


Mereka tiba di toko Utaha ketika hari mulai menjelang senja, dan saat itu hujan pun mulai turun. Ketika ia mengingat Emi yang sedang menunggu di rumah, Keito tahu ia tak bisa berlama-lama. Tapi jika ia tidak mendengarkan cerita Misora sekarang, entah kapan lagi kesempatan itu datang.


Sambil meminta maaf dalam hati pada adiknya, Keito duduk di kursi biasa bersama Misora.


Tidak ada siapa pun di dalam bangunan itu. Ia sempat mengintip ke belakang untuk memastikan, tetapi kata yang hilang milik Shizuka juga tak terlihat di dekat lukisannya.


“Ini segelas jus buah kabosu*. Rasanya menyegarkan.”
            *(TL/N: Jeruk nipisnya orang Jepang.)


Baki yang dibawa Utaha berisi jus berwarna hijau bening. Tampaknya jus itu telah diencerkan. Es mengambang di dalam gelas kaca yang tampak dingin, menghasilkan suara clink saat menyentuh dinding gelas.


Saat Keito meminum jus itu bersama potongan buah kecilnya, rasa manis dan asam yang seimbang menyebar dalam mulutnya, menciptakan sensasi segar yang menyenangkan.


“Enak banget! Rumahmu selalu punya minuman-minuman aneh, ya, Utaha-chan.”


“Aku belajar dengan meniru ibuku. Masih banyak hal lain yang menyehatkan juga. Bagaimana kalau nanti coba segelas green juice*?”
            *(TL/N: Mengacu pada jus yang dibuat dari sayuran hijau. Biasanya pakai sayur kale.)


“Katanya sih pahit dan susah diminum, tapi ada juga yang rasanya enak dan menyegarkan.”


“…..Lain kali aja deh.”


Kalau cuacanya makin panas, mungkin rasanya bakal lebih bisa dinikmati.


“Oh ya, soal aku dan Sasami.”


Begitu suasana menjadi tenang, Misora mulai bercerita.


“Menembus langit, mengguncang dedaunan hijau,


Dan laut dalam duka,


Samudra biru pun menggema.”


Misora mengungkapkan perasaannya lewat puisi itu, dengan suara yang jernih dan bulat.


“Kamu nggak kenal puisi itu, ya?”


“Enggak.”


Namun firasat Keito mengatakan bahwa itu adalah lagu duka—karena laut sering membawa kenangan yang menyedihkan.


“Kamu ingat, kan, Utaha-chan?”


“Tentu saja, karena akulah yang mempersembahkan puisi itu untuk Sasami-san.”


“Itu puisi karya Wakayama Bokusui.”


“Kalau Bokusui, bukannya dia juga yang menulis:


'Apakah burung putih tidak merasa sepi di hatinya?


Langit biru,


Laut biru,


Tak satupun mewarnainya,


Ia mengambang di antaranya'? ”


Wakayama Bokusui adalah penyair dari era Meiji hingga Taisho, dikenal karena puisi-puisinya tentang kecintaan terhadap perjalanan dan alkohol.


Puisi yang disebut Keito juga tertulis di buku pelajaran. Hanya dengan membacanya, ia bisa membayangkan langit biru dan laut yang terbentang tak berujung, serta seekor angsa putih yang kesepian mengambang di antaranya—membawa rasa sepi, dan juga kekaguman.


“Hebat juga kamu sebagai anak SMA tahu sejauh itu. Penafsiranmu juga keren. Kamu suka sastra, Keito-kun?”


“Aku punya teman yang pinter soal beginian. Aku cuma iseng aja nginget. Yang tadi malah aku nggak tahu sama sekali.”


“Puisi itu ada di buku kumpulan puisi 『Suara Lautan』, satu kumpulan dengan 『Burung Putih』. Seperti pengantarnya: 『Aku mencintai suara lautan』, Bokusui memang mencintai laut.”


Saat Misora menjelaskan seperti sedang mengajar,


“Menembus langit, mengguncang dedaunan hijau,


Dan laut dalam duka,


Samudra biru pun menggema.”


Ia melafalkannya sekali lagi.


“Tak ada puisi lain yang bisa menggambarkan masa mudaku bersama Sasami sebaik itu. Lalu pada hari itu—itulah lagu yang paling cocok untuk Sasami, yang kembali menjadi gelembung lautan. Kamu ingat, Keito-kun? Insiden kapal terbakar dua tahun lalu.”


Begitu mendengar kata-kata Misora, Keito merasa seolah jantungnya berhenti berdetak. Ia menoleh ke arah Utaha tanpa berkata apa-apa, berusaha menahan keterkejutannya. Wajah Utaha tetap tak berubah, tapi matanya tertunduk sedikit. Apakah dia sudah tahu? Yah, tentu saja.


Ia pernah mengatakan bahwa kata yang hilang dari insiden itu pernah datang ke tempat ini. Ternyata, itu adalah Sasami.


Misora melanjutkan ceritanya, tanpa menyadari guncangan yang Keito rasakan.


“Aku berteman dengan Rokujo Sasami sejak SMA. Berbeda denganku yang mudah bergaul, dia pendiam dan susah menyampaikan isi hatinya. Saat aku hampir dibully, dia yang menyelamatkanku. Sejak itu, kami sering bicara.


Dia lebih pintar dariku. Karena dia, aku mulai suka membaca buku, dan akhirnya aku jadi editor majalah.”


Misora menatap jauh ke depan, seakan sedang merindukan sahabatnya.


“Sasami mencintai laut. Dia mengagumi samudra … atau mungkin lebih tepat kalau dibilang, dia larut dalam air. Dia gadis yang bisa seharian menatap cakrawala, memperhatikan kapal kecil, mendengarkan suara ombak, dan sesekali menatap langit. Keito, kamu punya kesamaan dengan Sasami. Dia mirip dengan Utaha.


Waktu luang kami selalu dihabiskan ke laut. Pernah, aku tanya kenapa dia nggak pernah bosan. Dia bilang:


『Laut mengagumi langit. Tapi jaraknya terlalu jauh. Itu sebabnya langit menangis. Aku ke sini untuk mendengarkan suara mistpouffer*.』
            *(TL/N: mistpouffer itu suara alam yang gak bisa dijelasin secara keseluruhan, kayak suara ledakan sonik yang mirip tembakan meriam di kejauhan yang entah bagaimana malah terdengar seperti keluar dari kabut di atas danau atau sungai besar. Bingung? Sama, aku juga.)


Namun aku menolak cara pandangnya. Menurutku, seperti laut mengagumi langit, langit juga mengagumi laut. Mistpouffer adalah seruan dari laut agar langit menggema. Langit biru dan laut biru selalu berdampingan. Cakrawala menyatu, seolah bergandengan tangan.


Menjawabku, Sasami berkata:


『Mungkin kamu benar. Haha, makasih ya, Misora. Aku ingin jadi temanmu selamanya. Dan kalau aku mati duluan, aku ingin abuku dihanyutkan ke laut.』


Lalu dia tampak sedih, dengan air mata mengalir di pipinya. Aku nggak tahu harus apa, tapi aku ingat menggenggam tangannya perlahan.”


Tak lama setelah itu, mereka masuk universitas. Meski berbeda kampus, mereka masih sering bertemu. Sampai akhirnya, dua tahun lalu terjadi kecelakaan. Mereka berencana pergi liburan—melintasi laut yang dicintai Sasami. Tapi Misora mendadak ada urusan dan tidak bisa ikut.


“Aku tidak seharusnya menyuruh dia pergi sendirian … Aku masih menyesal sampai sekarang. Sasami … ingin aku ikut.”


Sasami akhirnya pergi sendiri.


Lalu kapal yang ia tumpangi (sama seperti kapal Keito dan Shizuka) mengalami kecelakaan. Api melanda, dan dua puluh lima orang dinyatakan tewas atau hilang. Cuaca cerah tanpa bulan, lambatnya pemadaman awal, dan buruknya prosedur evakuasi memperburuk situasi.


Dari dua puluh lima orang itu, ada Shizuka dan Sasami. Mungkin mereka sempat saling melewati di kapal itu.


“Setelah kehilangan Sasami, aku ingin bekerja di dunia buku. Meski masih awal, aku menikmatinya sekarang.”


“Kau orang yang sangat optimis, Oda-san … padahal kau kehilangan orang tercinta.”


“Kamu nggak suka?”


Misora tersenyum.


“Mungkin karena aku bisa memahami perasaan Sasami. Bahkan kalau aku nggak pernah mendengar langsung kata-katanya, aku tahu dia nggak ingin aku berhenti. Tapi Utaha-chan lah yang memberiku kesempatan itu.


Aku sering bermimpi menyelamatkan Sasami. Mimpi di mana tubuhnya yang seperti ikan es tenggelam ke dasar laut. Meski aku berusaha meraihnya, aku tak pernah bisa menjangkau. Dan ketika bangun, aku basah oleh keringat. Belakangan ini, mimpi itu sudah tidak datang lagi .…”


Keito juga memikirkan sesuatu. Ia tak sanggup menatap Misora, jadi matanya berpaling ke Utaha. Tapi wajah gadis itu juga dipenuhi rasa sakit.


Namun—ekspresi itu segera menghilang.


“Sejak aku kembali ke [Tsuyukusa], pelanggan pertamaku—dengan kata lain kata yang hilang pertamaku—adalah Sasami-san. Lukisannya juga terpajang di sini.”

Memang benar bahwa Mari juga menggambar para korban dari kecelakaan itu selain Shizuka. Ia mengatakan bahwa itu adalah semacam penuntun bagi kata yang hilang.


Kemungkinan besar, kata yang hilang milik Sasami juga sempat singgah di [Tsuyukusa]. Jika ada hasil nyata, maka itu berarti masih ada harapan.


“Apa yang disampaikan oleh kata yang hilang milik Sasami padamu?”


“Bisakah kau tidak menanyakannya? Itu adalah rahasia antara aku dan Sasami. Hubungan kami akan selalu bergema seperti langit dan laut, persis seperti yang ditulis Bokusui. Itulah yang dia katakan padaku.


Keito-kun, penulis dongeng terkenal, Andersen pernah berkata: 『Air mata adalah laut terkecil di dunia』. Karena itu, Sasami dan aku sangat menyukai kisah yang sama. Sampai hari ini, setiap kali aku mengingatnya, laut di dalam hatiku perlahan-lahan meluap oleh air mata.”


Suara Misora mengingatkannya pada sesuatu yang pernah dikatakan Shizuka:


Kamu tahu nggak, kalau air mata yang keluar saat kita sedih itu punya komponen yang sama dengan air laut? Mungkin mata kita itu terhubung ke lautan. Jadi nggak apa-apa untuk terus menangis … karena air matamu nggak akan pernah habis.


Cerita yang menyertai kata-kata itu adalah kisah antara Misora dan Sasami—seperti halnya Keito dan Shizuka.


Ia tak perlu mendengarkan lebih jauh. Namun, ada kata yang hilang dari para korban dalam kecelakaan itu yang telah berhasil disampaikan dengan damai kepada orang-orang yang memintanya.


Saat ini, hanya mengetahui kenyataan itu saja sudah cukup.


Sebelum pulang, Keito menghampiri sebuah lukisan Sasami yang terpajang di dalam bangunan. Ia sudah melihatnya berkali-kali sebelumnya, tapi baru kali ini ia menatapnya dengan pemahaman yang lebih mendalam.


Katanya, Sasami meninggal ketika masih SMA, namun dalam lukisan itu ia tampak jauh lebih dewasa. Keito merasa bahwa poni yang dipotong rapi sejajar dengan alis menunjukkan kepribadian Sasami yang tenang. Wajahnya yang kaku namun terlihat menahan kesedihan—apakah itu ekspresi dari kata yang hilang, atau saat ia masih hidup?


Sinar Misora dan bayangan Sasami—mungkin memang kontras yang cocok.


“Bagaimana? Cantik, kan?”


Misora tersenyum bangga seolah berkata: "Lihatlah sahabatku."


Keito meletakkan tangan di dadanya, mempersembahkan rasa hormat pada Sasami—seseorang yang tak pernah ia temui, dan tak akan pernah bisa ia temui.


Ketika ia keluar, hujan masih turun. Sepertinya akan terus hujan sampai malam.


“Kalau begitu, aku pamit dulu ya. Sampai ketemu lagi, Utaha-chan, Keito-kun.”


Misora melambaikan tangan dari jendela mobil, suaranya riang seperti biasa.


Sulit dipercaya bahwa gadis seceria itu memiliki masa lalu yang dipenuhi kehilangan. Sisanya? Ia tak tahu.


“Kalau begitu, aku juga pamit.”


Payungnya ada di dalam tas, tapi entah kenapa, Keito ingin kehujanan saat pulang.


Kenapa ya? Mungkin, dengan begitu, ia bisa merasa lebih dekat dengan laut?


◇◇◇


Malam harinya, ia bermimpi lagi.


Ia memikirkan dasar laut yang gelap gulita, tempat cahaya pun tak bisa menembus. Di sana, ada sebuah akuarium kecil di Taman Soumiya—taman yang seharusnya sudah dibongkar sejak lama.


Di dalamnya, seorang gadis tengah berjalan ke arahnya. Dengan intuisi, ia tahu bahwa sosok yang muncul dari kegelapan itu adalah Shizuka.


Tak ada siapa-siapa lagi. Bangunannya terasa sempit, lalu tiba-tiba terasa sangat luas.
Shizuka berhenti di depan salah satu akuarium contoh dan menatap ke dalamnya. Saat Keito terpaku dan tak bisa berkata-kata,


“Aku bertanya-tanya … apakah aku sedang berenang di sini.” Shizuka berbisik tanpa menoleh.


“Keito-kun, bisakah kamu segera datang? Aku selalu menunggumu.”


Apakah dia menyadari bahwa Keito ada di belakangnya?


Shizuka adalah sebuah kata yang kesepian. Itulah keinginan yang tersembunyi dalam hati Keito sendiri.


Sosok Shizuka dari belakang, yang berdiri seperti bayang semu dalam mimpi, tampak lebih kecil dan lebih rapuh dari yang pernah dia ingat.

 

Prev    Toc    Next

0

Posting Komentar